Dalam
realita dunia ini kadang kita (baca: muslim) begitu egois untuk mau
menyempatkan diri sekedar menyadari dan memahami eksistensi orang lain di
sekitar kita. Implikasinya jelas tergambar bahwa dalam tatanan relasional, kita
sering mengalami cacat-cacat kecil --bahkan besar -- di sana-sini. Parahnya,
derajat kesamaan (equality) kerap –secara sadar atau tidak– terabaikan sehingga kemauan untuk hidup secara sosial
menjadi terhalang dengan adanya perbedaan-perbedaan yang tidak mendasar.
by PVP visages by Poppy Van Praagh
Dalam surat Adz-Dzariyat: 56 Allah berfirman: “Dan tidaklah Aku menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepadaKu.” Umat manusia
sebagaimana ditegaskan dalam ayat diatas diciptakan oleh Allah di dunia ini
tidak lain hanyalah untuk mengabdi, menyembah dan beribadah kepada Allah semata. Untuk itu perlu
digarisbawahi bahwa dalam ayat itu pengabdian (ibadah) kepada Allah SWT tidak terjebak dalam aturan baku spiritual-individual
belaka, seperti sholat, dzikir, puasa, dll. Lebih jauh lagi bahwa ibadah kepada
Allah merupakan kesatuan integral dari hubungan transendental antara manusia dengan Tuhannya (mahdhoh) dan ibadah yang penekanannya
terletak pada hal muamalah/sosial (ghoiru
mahdhoh).
Salah satu wacana ideal tentang menghargai eksistensi orang lain dalam berbagi dunia ini (exixtence in a shared world) terdapat pula dalam salah satu aliran psikologi, yakni eksistensialism. Boss Medard dan Binswanger sepakat mengatakan bawah ‘ada’ dengan orang lain (being with others) merupakan pola tingkah laku relationship yang penting untuk disadari. Dalam prinsip ‘mengada dalam dunia’ (being in the world), antara manusia dan lingkungan bukanlah dua hal yang terpisah.
Merenungi lingkup yang lebih spesifik, Islam, seseorang belumlah tepat disebut sebagai ‘muslim’ jika masih membatasi diri dalam kesalehan individual semata dengan mengabaikan aspek-aspek kehidupan sosial. Ada sebuah hadits riwayat Bukhori yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa lepaskan dari seorang muslim satu kesusahan daripada kesusahan-kesusahan dunia, niscaya Allah lepaskan dia daripada satu kesusahan daripada kesusahan-kesusahan akhirat. Dan barangsiapa memberi kelonggaran kepada seorang yang susah, niscaya Allah memberi kelonggaran baginya di dunia dan akhirat. Dan barangsiapa menutup seorang muslim (dari aibnya) niscaya Allah tutup dia di dunia dan akhirat. Dan Allah menolong seseorang selama ia menolong saudaranya.” (Bukhori dalam shahihnya).
Bersandar pada penjelasan-penjelasan singkat di atas, dapat kita pahami bahwa hubungan antar personal merupakan hal yang sangat signifikan. Hendaknya umat Islam tidak terjebak pada keindahan liturgi semata dengan mengabaikan tatanan aplikatif. Sebagai seorang muslim kita harus proaktif dalam menggalakkan sense of solidarity, peduli terhadap sesama, dan menyadari bahwa kita semua adalah saudara. Jika diibaratkan satu tubuh, maka akan menjadi sakitlah keseluruhannya apabila salah satu bagiannya ada yang sakit. Sungguh disayangkan, jika sesama muslim mampu merasa unggul dari satu golongan atas golongan lainnya.
Sudah selayaknya kita menyadari hakekat ‘satu tubuh’ ini, bukan sekedar merenungi. Kita harus senantiasa mewujudkannya, apalagi di saat banyak musibah dan penderitaan melanda saudara-saudara kita. Di saat saudara-saudara kita membutuhkan uluran tangan kita. Dengan demikian, maka kita telah berusaha melakukan penghambaan yang mutlak seperti yang biasa kita ikrarkan dalam setiap sholat-sholat kita. “Sesungguhnya sholatku, pengorbananku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam”. Wallahu a’lam bish showwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar