Minggu, 11 Oktober 2015

Facebook vs Segelas Teh


@wallpapersafari


Suatu hari di sebuah grup ibu-ibu di sebuah jejaring sosial yang saya ikuti, saya tertegun membaca sebuah status yang diposting oleh seorang member. Kurang lebih isinya adalah aktifitas apa yang sering diprotes oleh suami. Tertarik, saya langsung membaca komentar-komentar terhadap status itu. Beberapa dari komentar itu membuat saya tertawa sekaligus menyimpan sebuah tanya yang lantas membuat saya merenung.

Apa yang membuat saya merenung? Ternyata ini soal sentimen ibu rumah tangga. Saya berpikir, ibu-ibu yang sudah bercapek-capek seharian di rumah dengan rutinitas yang monoton itu kok ya sempat-sempatnya diprotes suami? Apa gerangan hal-hal yang mampu dilihat sebagai sebuah "dosa" bagi suami? Kok tega ....

Saya langsung membuat daftar di otak saya sembari terus membaca komentar-komentar yang panjang itu. Lha, benar, sama saja sama saya. Suami tidak suka kalau istri "melupakannya" dengan aktifitas apapun. Rangking nomor satu diraih oleh jejaring sosial yang begitu berhasil menyita perhatian para ibu rumah tangga saat suami pulang. Terlebih saat sepanjang hari suami ada di rumah. Ini sama persis dengan keluhan ibu saya beberapa waktu yang lalu #oops Yang mengeluh malah ibu saya.

Seorang suami, menurut pendapat ibu-ibu di grup tersebut, adalah sosok yang tidak suka diabaikan. Saya tentu sepakat. Jangankan suami, wong saya sendiri sangat tidak suka dibaikan. Apalagi dalam bayangan saya, pas pulang kerja, pas capek-capeknya, pas tentunya pengen segera disambut oleh istri yang begitu cantik di depan pintu dengan senyuman surga. Ini ajaran turun-temurun dari mbah-mbah saya. Bahkan, mertua saya tidak hanya mengajarkan untuk menyiapkan minuman saat suami pulang kerja. Beliau juga mengajarkan pada saya untuk selalu meyiapkan minuman saat suami saya telah berangkat kerja. Sepanjang hari. Lha, yang minum siapa? Tidak ada, kata beliau. Beliau merasa, jika ada minuman di atas meja, menandakan bahwa seolah-olah bapak selalu ada. Jadi, dengan melihat teh di meja itu ibu mertua saya merasa tenang. Terlepas setuju atau tidak dengan ibu mertua, saya tentunya sangat mengapresiasi perhatian beliau yang begitu besar kepada bapak mertua saya.

Jangankan membikinkan teh di meja untuk dilihat sepanjang hari, begitu membuka pintu rumah dan mencium tangan suami, biasanya saya langsung mak lhesss, bablas kembali ke laptop yang tengah menyala, terhubung dengan sebuah jejaring sosial. Atau, kalau belum menyediakan teh, sehabis cium tangan itulah saya langsung melesat ke dapur membuatkan teh. Saya lebih suka membuatkan teh yang masih hangat, bukan teh yang sudah dibuat tadi dan menjadi dingin saat diminum. Habis itu segera duduk manis kembali di depan laptop. Waduh, salah siapa?

Ini bukan masalah salah dan benar. Soal bablas menyambung koneksi di jejaring sosial dan sudah jarang lagi menemani suami makan sambil melihat berita malam itu bergerak seiring padatnya aktifitas saya. Pekerja dengan invisible payment (baca: dibayar dengan pahala) semacam saya dengan dua balita yang tanpa asisten rumah tangga ini membuat saya tidak memiliki "me-time". Saya harus nyolong-nyolong waktu jika ingin "refreshing", termasuk mengaktifkan internet saat suami saya sudah waktunya pulang. FYI, suami saya biasanya pulang di atas jam sembilan malam. Lho? Memangnya, ibu mertua saya yang ibu rumah tangga tulen dan berputra tujuh orang itu punya "me-time"? Faktanya, semua pekerjaan rumah dan soal mengurus suami lancar semua, lho!

Well, otak sumpek saya yang langsung bereaksi mendengar teori perbandingan itu lantas berargumen, ini kan jaman saya? Bukan jamannya ibu mertua? At least, ibu mertua saya belum begitu sadar soal aktualisasi diri, soal modernisasi dimana wanita sudah ikut terlibat aktif di dalamnya termasuk soal menikmati fitur-fitur yang serba modern. Mertua saya tidak hidup di jaman dan lingkungan yang begitu individual atau berada di tengah-tengah masyarakat yang sebagiannya sibuk, sebagiannya paranoid, sebagiannya unik. Semua berlomba dengan waktu sehingga tidak bisa menghasilkan sebuah komunitas yang bisa guyub rukun setiap hari di dunia offline. Semua dengan urusannya masing-masing. Lalu, siapa teman yang bisa menghibur diri jika bukan jejaring sosial dan semacamnya? Online itu asyik, Beib!

Apalagi, perlu saya "curigai" bahwa ibu mertua saya yang orang Jawa asli itu tentunya masih sangat lekat dengan filosofi Jawa yang wanita itu seharusnya wani ditata (berani untuk diatur sesuai tempatnya). Nah, soal tata-menata ini, jaman saya sudah tidak dapat disejajarkan dengan jaman mertua saya. Soal dimana wanita harus ditempatkan saja menjadi kontorversi sepanjang jaman. Iya, to? Di jaman saya, wanita lebih memikirkan substansi penciptaan dirinya. Tidak sekedar harus ditata-tata, tapi barangkali wanita juga merasa sebagai subyek penuh yang punya suara di hadapan suami. Seiring sejalan, suami-suami sekarang sudah mulai tahu apa yang menjadi beban dalam penyandang "predikat" wanita. Maka, suami-suami modern mulai mendengarkan apa kata wanita. Nah, kalau dua orang saling berbicara dan mendengarkan itu kan bisa menghasilkan diskusi yang sehat alih-alih mengutamakan kepentingan pribadi dibalik kata-kata manis "tanggungjawab sebagai istri yang baik"? Nah, ibu mertua saya sudah keliru dan sayalah yang benar.

Ternyata, pikiran sumpek saya soal prasangka menyelingkuhi suami dengan jejaring sosial ini makin menjadi-jadi saja saat ibu kandung saya berkunjung dan mendapati saat jam-jam suami pulang saya masih tekun di depan laptop. Beliau menanyakan apakah saya sudah menyiapkan minuman dan memanaskan sayur? Bedanya, di depan ibu mertua saya "sendiko dawuh" kalau ditanya apakah suami sudah dibikinkan minum alias saya langsung ngacir ke dapur walau otak saya langsung berdiskusi monolog yang isinya geje banget. Dengan ibu kandung, saya masih bisa menjawab, "Bentar, Ma. Nanggung."

Ibu saya langsung terheran-heran dan "murka" sambil bergumam kok bisa-bisanya suami pulang kerja, capek, istrinya malah sibuk dengan jejaring sosial? Saya tidak heran, meski ibu saya bukan ibu rumah tangga alias wanita yang berkarier di luar, beliau selalu tidak lupa membikinkan kopi saat ayah pulang dan menemani mengobrol. Lha, ini kan pelajaran dari mbah-mbah saya juga, to?

Ditegur begitu, saya langsung curhat bahwa tak beda dengan suami, saya juga merasakan capek meski oleh sebab yang berbeda. Saya ingin menghilangkan jenuh dengan cara bersosialisai a la saya. Siapa yang bisa menghibur hati di kala sedih dan pilu (halah), memikirkan capeknya tenaga dan pikiran dengan hasil yang tidak pernah kelihatan? Ajaibnya, ibu saya yang sudah sepuh itu menimpali dengan kata-kata yang menohok bahwa soal capek dan soal melayani suami adalah hal yang berbeda. Berbeda bagaimana? Otak saya ngeyel. Wong suami saya tahu kalau saya bisa capek dengan pekerjaan rumah yang segambreng. Artinya, suami tidak menuntut saya harus menghentikan semua aktifitas saya dan segera menyiapkan teh hangat dan makanan sebelum beliau pulang. Suami saya tidak keberatan kalau teh baru dibikin saat beliau sudah ada di rumah. Sayur disiapkan saat beliau sudah mulai meminum tehnya.... Tapi, jadi terburu-buru. Suami harus menunggu. Nggak enak dilihat, kata ibu saya lagi. Tur, apa bener suami saya itu benar-benar legowo dengan sikap saya itu? Apa saya tidak lagi peka dengan guratan prihatin dari wajah suami saya yang agak tersamar itu? Wah, ibu saya menyerang habis-habisan. Ditambah beliau menutup serangannya itu dengan kalimat: apa nggak malu kamu sama suamimu?

Soal "malu" ini saya langsung ingat tulisan saya sendiri. Dulu, saya pernah membaca sedikit tentang apa yang diramalkan oleh Prabu Jayabaya, yakni tentang sebuah ramalan bahwa suatu saat akan tiba masanya wong wadon ilang wirange. Ketepatan redaksionalnya saya lupa, namun kira-kira begitu. Wanita kehilangan rasa malunya. Dulu, karena mengagumi pemikiran ini dan aplikasinya di jaman modern, saya pernah menulis sebuah novel yang berbicara soal wanita ini. Saya mengaitkannya dengan konsep yang lebih "masa kini" dengan substansi yang sama. Apa itu? Female modesty. Yakni, sebuah karakter perempuan yang khas. Tentu saja, karakter itu mencakup hal-hal kewanitaan seperti kelembutan, sikap keibuan, kehormatan wanita, dan lain-lainnya. Saya teringat ucapan seorang pemerhati perempuan, Ratna Megawangi, yang mengatakan bahwa menghargai institusi keluarga dengan nilai-nilai female modesty ini adalah penting. Nah, asumsi saya, kalau sampai ada yang merasa penting mengangkat sebuah nilai female modesty, pastilah ada gejala wong wadon ilang wirange dalam masyarakat kita sehingga tidak ada kecanggungan lagi untuk meninggalkan nilai-nilai kewanitaan. Sukakah saya? Tidak.

Dulu, saya selalu berpikir ideal tentang sebuah institusi keluarga dimana saya adalah pusat dari segala perhatian. Maksudnya, kalau suami sakit pasti, "Dek,", anak-anak sakit pasti, "Bunda,". Kalau saya sedih atau gundah, suami dan anak-anak saya meriung saya dan menghibur saya. Saya menghormati suami dan suami menghargai saya. Dalam othak-athik bahasa Jawa yang lain kan perempuan berarti seseorang yang di-empu-kan. Dihormati, dihargai.

Saya lantas berpikir lagi, kalau sebuah keluarga ideal itu seperti yang saya gambarkan di atas, artinya, saya sendiri juga menghargai sebuah institusi keluarga yang sejak lama saya idam-idamkan, bahkan sudah saya putuskan bahwa saya akan menjaga keluarga saya dari dalam, apakah masih relevan cita-cita saya itu dengan sikap saya yang membiarkan suami menunggu saya membuat teh dan membiarkannya sendirian menikmati segelas teh hangat sementara saya asyik dengan jejaring sosial sebagai penghibur diri? Dalam hati, saya langsung membenarkan ibu saya bahwa soal capek dan soal meyalani suami adalah hal yang sangat berbeda. Bukan sebab akibat. Toh, setiap keputusan yang saya ambil pasti mendatangkan rasa capek. Saya memilih kerja di luar juga ada capeknya. Saya memilih menjadi ibu rumah tangga juga ada capeknya. Ada nggak, sih, di dunia ini orang bebas capek? Hello? *eh tiba-tiba Adele nongol

So, ini soal alokasi waktu saja. Saya langsung menanyai kejujuran hati nurani. Apa iya, dalam sehari tidak ada waktu sama sekali untuk aktif di jejaring sosial? Kalaupun, toh, benar-benar tidak ada waktu, apa tidak bisa meluangkan waktu untuk mempersiapkan menyambut suami pulang lalu setelah itu kita berjejaring sosial lagi. Tidak sampai itungan jam, kok. Lagipula, kalau sampai ngobrol dengan suami tidak membuat saya merasa senang, malah bosan, itu sungguh aneh bin ajaib! Berarti, ada yang salah dalam hubungan saya dengan suami. Ngakunya sayang, cinta, tapi tidak kerasan berlama-lama dengan suami? Hati saya langsung menepis pertanyaan kacau itu. Saya dan suami tidak ada apa-apa, lho.... Masih sayang dan cinta, kok! Berarti, otak saya yang harus ditanyai. Jangan-jangan ini masalah ketagihan, jejaring sosial addict? Oh no! Saya terbahak-bahak. O, o! Kamu ketahuan .... Facebookan lagi ....

So, ibu mertua dan ibu kandung saya yang biar kuno sekali itu ternyata benar. Saat suami pulang dan menuju meja makan sudah ada segelas teh hangat, beliau langsung meminumnya dan mengajak saya ngobrol. Menanyakan menu makan malam dan aktifitas saya dan anak-anak seharian. Lain kalau beliau harus menunggu saya membuatkan teh. Beliau langsung mengeluarkan bukunya atau menyalakan tivi dan asyik menonton berita. Waktu kami ngobrol hanya menjelang tidur. Tentu, waktu yang sebentar itu tidak bisa membahas segala hal yang sepanjang hari tadi membebani pikiran saya.

Tapi, namanya beda jaman, otak sok modern saya masih saja menawar. Yang kuno-kuno itu tentu tidak semuanya bisa saya pakai, kan? Lha, saya malah takut kalau harus menyediakan teh sepanjang hari. Perasaan saya bukannya tenang, merasa suami saya ada, tapi malah merasa was-was kalau-kalau gelas teh itu pecah dimain-mainkan sama anak-anak saya dan saya malah ribut sendiri dengan keharusan menjaga gelas teh itu. Secara psikologis, setiap nengok ke gelas itu saya malah teringat suami terus dan khawatir terjadi apa-apa.

Tanpa mengurangi segala hormat saya pada nilai-nilai yang diajarkan oleh kedua ibu saya itu, saya selalu menganggap bahwa melayani suami itu penting secara substansi. Termasuk, bagi saya, hal-hal yang remeh seperti menyediakan segelas teh hangat saat berangkat dan pulang kerja. Tentu saja, substansi ini penerapannya berbeda, miturut kesenangan masing-masing keluarga.

Suami saya memang tidak pernah menegur saya soal "perhatian" ini. Tapi, melihat beliau makan sendirian sambil menonton berita malam, sesekali melirik-lirik saya yang sedang asyik dengan jejaring sosial itu apa bukan protes namanya? Ah, mungkin harus saya tanyakan pada ibu-ibu lewat status saya.


| ARTIKEL LAIN

1 komentar:

  1. alhamdulillah suami sabaaaar banget klo sy lg online termasuk facebookan krn mostly buat menunjang ngeblog sih bukan curcol gak jelas *pembelaan*

    BalasHapus

Pengikut

Supporting KEB

Supporting KEB
Kumpulan Emak Blogger

Histats

Histats.com © 2005-2014 Privacy Policy - Terms Of Use - Check/do opt-out - Powered By Histats