Jaman saya gadis dulu mungkin sama seperti gadis-gadis lainnya. Jadi
gila kalau membayangkan bisa pacaran sama pangeran-pangeran yang ciumannya maut
macam kisah Putri Salju, bisa dansa dan nyimpen sepatu kayak kisahnya
Cinderela, atau malah si Beast yang kalau kita cium jadi ganteng. Standart
saja, sih, sebenarnya. Muda, ganteng, kaya, jadi rebutan... yang T-O-P B-G-T
kata ponakan saya. Maka jadilah saya gadis yang hanyut dalam imajinasi.
Susah banget menemukan pangeran yang seperti itu. Parahnya lagi,
referensi bacaan saya nggak mengubah saya jadi pragmatis. Bahwa pacaran dengan
siapa saja bisa terlihat keren. Secara teman-teman hang out saya lagi pada hobi
baca majalah remaja gaul. Remaja yang terlihat keren kalau sudah punya pacar.
Jadilah saya jomblo. Ngantri jadi pacarnya pangeran....
Gilanya, saya sempat kepikir gimana caranya bisa kenalan sama pangeran
William, anaknya Lady Diana yang dulu kelihatan ganteng dan imut banget, yang
seringkali nongol di majalah yang sampai SMP setia menemani saya, majalah Bobo.
Beneran! Saya sempat terpesona sama lesung pipitnya. Tapi saya sadar, meski
dunia itu bulat, dan kita bisa jalan kaki untuk memutarinya, tetap saja ada
bumi dan langit. Saya ada di bumi, William ada di langit.
Sesekali pernah sih penasaran sama orang. Cowok, pastinya. Cuma
penasaran saja. Nggak ada deg-deg-an, tuh. Nggak pake muka merah. Berarti, ini
bukan cinta. Kata teman saya, tanda-tanda cinta itu nggak sama kayak orang mau lahiran. Orang lahiran sakit
di mana-mana, orang jatuh cinta
senang di mana-mana. Meskipun cuma dijajanin es cendol segelas.
Pernah sekali waktu kelas
tiga SMP saya tertarik sama seseorang. Pake deg-degan mesti nggak pake muka
merah. Saya sempat bikin puisi segala. Sebentar saja, tak sampai lama saya
malah sadar, dia bukanlah sang pangeran. Rasa deg-degan saya tidak bersambut. Mudah saja saya melupakannya. Saya
langsung kabur, kembali ke dunia imajinasi saya, mengejar sang pangeran. Untung
saya tak sempat mengutarakan isi hati atau malah memberikan puisi karena
ternyata saya salah mendiagnosis kondisi jantung saya akibat suara deg-deg yang
berisik. Saya kira cinta, tapi
ternyata kelaparan.
Suatu saat di SMU saya bertemu dengan seseorang. Di suatu sore setelah
latihan vokal dengan teman-teman sekelas untuk persembahan penyambutan murid
baru (saat itu saya baru mau masuk SMU), saya langsung menuju lapangan basket
yang rame dengan anak-anak. Saya melihat kakak kelas saya yang lagi main
sendirian di bawah ring. Saya yang kebetulan anak klub basket sejak SMP
langsung masuk dan merebut bola yang dia dribble. Eh, nggak tahunya dia
berhenti main. Dengan sebuah senyuman, dia bilang: main sama temen-temen aja
ya, saya udahan. Memang, anak-anak yang tadinya duduk-duduk di pinggir lapangan
untuk istirahat beranjak masuk ke lapangan. Saya menyapa mereka sebentar, yang
kebetulan teman satu klub basket, dan berlalu pulang. Saya jadi tak berminat lagi.
Sebenarnya kejadian dengan kakak kelas itu sudah ter-delete jika
saja tidak terjadi takdir pertemuan berikutnya. Seorang teman sekelas mengajak
saya masuk ekstrakurikuler KIR (Karya Ilmiah Remaja) dan Remas (Remaja Masjid).
Ampun sodara-sodara! Teman saya ini nggak kira-kira kalau ngajak orang. KIR?
Remas? Saya tidak pernah tahu sejenis jajanan mana itu. Saya sudah terpikir
untuk masuk ekstrakurikuler basket dan kebetulan kemarin ditawarin jadi anggota
cheerleader. Tapi, beneran, demi menghormati hubungan bilateral, saya
rela ngikut dia ke perkumpulan anak-anak masjid, anak-anak 'dunia lain' di mata
saya.
Setelah duduk melingkar di masjid (saya kebagian lingkaran belakang
sendiri, barangkali ada yang pengen tahu), seseorang mengabsen nama-nama yang
sudah daftar kemarin. Tapi o, o! Siapa yang ngabsen itu? Otak saya langsung
masuk ke recycle bin dan melihat daftar file yang terhapus. Jadilah ingatan
tentang bola basket di lapangan ter-restore kembali. Maka begitu kakak
kelas itu bertanya, "Siapa yang belum saya panggil?", tangan saya
langsung terangkat! Beneran, saya jadi penasaran... Ini salah satu kisah
penasaran saya. Saya sampai rela gabung sama kelompok orang-orang aneh bin
ajaib ini. Saya jadi ingat orang ini pernah menolak main basket sama saya. Hari selanjutnya
saya bergabung dengan tiga kegiatan sekaligus. Basket, Cheerleader, dan
Remas.
Suatu hari di sekolahan, di waktu sore, ketika saya main basket di
lapangan bersama anak-anak tim basket, saya melihat kakak kelas saya itu sedang
mengajar mengaji. Dia duduk di teras masjid, yang kebetulan berhadapan langsung
dengan lapangan basket, bercerita tentang nabi-nabi (suaranya keras banget,
bo!). Selalu begitu. Saat saya main basket, dia mengajar mengaji. Apalagi
ketika suatu saat saya sedang latihan cheerleader di aula sekolah yang
tertutup, saya melihat dia masih setia mengajari anak-anak kecil sekitar
sekolahan untuk mengaji. Usut punya usut, ternyata dia mengajar ngaji setiap
hari! Lama kelamaan saya merasa tidak enak hati. Bagaimana pun juga saya ini kan anak
masjid. Anak masjid kok cheerleader-an?
*hayyah*
Saya pun memilih berhenti jadi anggota cheerleader yang baru
saja saya ikuti beberapa latihannya. Padahal, itu cita-cita saya, secara yang
namanya cheerleader sudah terkenal sebagai tempat berkumpulnya orang-orang
cantik. Umur saya butuh pengakuan, nih, ceritanya. Walaupun pada kenyataannya
saya cuma jadi ganjel doang karena badan saya yang besar tegap cuma dijadiin panjatan
sama teman-teman.
Begitulah... Hari-hari berlalu. Dari rasa penasaran kepada sosoknya,
saya mencari informasi mengenai kegiatan dia. Karena saya tahu dia rajin beribadah, saya pun
mulai mengikuti pengajian-pengajian. Dari situlah sebenarnya kesadaran saya
berkembang. Saya menjadi lebih relijius. Alhamdulillah tak lama berselang, saya
memutuskan untuk menutup aurat saya.
Nah! Justru di saat itulah saya merasa ada yang aneh dengan diri saya.
Setiap bertemu, seperti ada bunyi yang tidak biasa di jantung saya. Leher saya
juga seperti ada masalah, jadi nggak bisa tegak jika berpapasan dengan si kakak
kelas. Padahal kemarin pas lihat dia tanding basket persahabatan di sekolah,
leher ini masih baik-baik saja. Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta? Apa
karena proses metamorfosis saya berkaitan dengannya? Saya belum punya jawaban.
Apalagi pada saat itu bagi saya pacaran tidaklah berguna. Masih ingat, kan,
tentang pangeran saya?
Pada akhirnya saya harus memasuki jenjang universitas. Pikiran tentang
si kakak kelas sudah menghilang entah kemana. Saya asyik kembali dengan dunia
saya yang baru. Cinta? Masih terpikir. Siapa yang tidak ingin jatuh cinta? Tapi
saya tahu, akan indah pada waktunya. Memang, saya masih berpegang teguh pada
sosok si pangeran. Tapi karena pandangan saya tentang cinta lebih rasional
karena umur, sosok pangeran bagi saya bukanlah lagi pangeran yang melulu
ganteng, kaya, terpandang, dan ter... ter... lainnya.
Dalam sebuah buku yang saya
baca, disebutkan tokoh bernama Alvin Toffler yang menulis buku The Third Wave sebuah Future Shock, mengupas tentang sejarah
peradaban manusia dalam tiga arus gelombang besar. Kembali pada substansi yang
ingin saya khayalkan...
Barangkali kisah Cinderela
terjadi pada peradaban gelombang satu, ketika secara struktur sosial dipisahkan
oleh sistem kelompok masyarakat atau sistem kelas. Cinderela alias putri abu
ini jelas masuk golongan kelas bawah. Sang pangeran? Tentu saja kelas atas. Sungguh
beruntung si putri abu ini dipersunting seorang pangeran yang notabene
bangsawan kelas atas. Masyarakat elite! Jadilah kedudukan seorang
Cinderela yang miskin menjadi seorang yang berkedudukan tinggi. Kata orang: keberuntungan.
Kalau kata saya: anugerah dari langit.
Lalu siapakah yang ada pada
peradaban gelombang kedua? Pemilik modal. Kita? Nah, kita kabarnya sedang hidup
dalam gelombang ketiga. Dikatakan ada indikasi bahwa keputusan dimiliki oleh
pemilik pengetahuan. Strukturnya adalah melebar ke samping dalam bentuk
interaktif. Sub sistem sosialnya terwujud dalam masyarakat pekerja ilmu
pengetahuan dan informasi. Intinya barangkali, status sosial tertinggi adalah
orang-orang yang menguasai ilmu
pengetahuan. Itulah kalangan elit masa gelombang ketiga. *buset jadi belibet gini*
Kalau ilustrasinya seperti itu,
langsung terlintas dalam otak saya bahwa pangeran masa kini adalah seorang
pemilik ilmu pengetahuan. Bukan pangeran yang gemar mengajak berdansa atau
pangeran yang suka mengadakan sayembara untuk mencari istri. So, pasti tahu,
dong, siapa yang bakal bisa merontokkan hati saya?
Yap! Saya berdebar-debar. Seseorang dari ITS? ITB? Oxford? Cambridge? Harvard?
*halah* Atau darimana...? Kaki
siapa yang akan digerakkan Tuhan untuk menghampiri saya? Seromantis apakah
kisah cinta yang akan saya kenang?
lanjut 2 (Membedakan Cinta dan Emosi)
lanjut 2 (Membedakan Cinta dan Emosi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar