Jumat, 16 Oktober 2015

Maaf, Pangeran Saya Tidak Berkuda! (1)

Jaman saya gadis dulu mungkin sama seperti gadis-gadis lainnya. Jadi gila kalau membayangkan bisa pacaran sama pangeran-pangeran yang ciumannya maut macam kisah Putri Salju, bisa dansa dan nyimpen sepatu kayak kisahnya Cinderela, atau malah si Beast yang kalau kita cium jadi ganteng. Standart saja, sih, sebenarnya. Muda, ganteng, kaya, jadi rebutan... yang T-O-P B-G-T kata ponakan saya. Maka jadilah saya gadis yang hanyut dalam imajinasi.

Never
by Katikut 
http://katikut.deviantart.com/

Susah banget menemukan pangeran yang seperti itu. Parahnya lagi, referensi bacaan saya nggak mengubah saya jadi pragmatis. Bahwa pacaran dengan siapa saja bisa terlihat keren. Secara teman-teman hang out saya lagi pada hobi baca majalah remaja gaul. Remaja yang terlihat keren kalau sudah punya pacar. Jadilah saya jomblo. Ngantri jadi pacarnya pangeran....

Gilanya, saya sempat kepikir gimana caranya bisa kenalan sama pangeran William, anaknya Lady Diana yang dulu kelihatan ganteng dan imut banget, yang seringkali nongol di majalah yang sampai SMP setia menemani saya, majalah Bobo. Beneran! Saya sempat terpesona sama lesung pipitnya. Tapi saya sadar, meski dunia itu bulat, dan kita bisa jalan kaki untuk memutarinya, tetap saja ada bumi dan langit. Saya ada di bumi, William ada di langit.

Sesekali pernah sih penasaran sama orang. Cowok, pastinya. Cuma penasaran saja. Nggak ada deg-deg-an, tuh. Nggak pake muka merah. Berarti, ini bukan cinta. Kata teman saya, tanda-tanda cinta itu nggak sama  kayak orang mau lahiran. Orang lahiran sakit di mana-mana, orang jatuh cinta senang di mana-mana. Meskipun cuma dijajanin es cendol segelas.

Pernah sekali waktu kelas tiga SMP saya tertarik sama seseorang. Pake deg-degan mesti nggak pake muka merah. Saya sempat bikin puisi segala. Sebentar saja, tak sampai lama saya malah sadar, dia bukanlah sang pangeran. Rasa deg-degan saya tidak bersambut. Mudah saja saya melupakannya. Saya langsung kabur, kembali ke dunia imajinasi saya, mengejar sang pangeran. Untung saya tak sempat mengutarakan isi hati atau malah memberikan puisi karena ternyata saya salah mendiagnosis kondisi jantung saya akibat suara deg-deg yang berisik. Saya kira cinta, tapi ternyata kelaparan.

Suatu saat di SMU saya bertemu dengan seseorang. Di suatu sore setelah latihan vokal dengan teman-teman sekelas untuk persembahan penyambutan murid baru (saat itu saya baru mau masuk SMU), saya langsung menuju lapangan basket yang rame dengan anak-anak. Saya melihat kakak kelas saya yang lagi main sendirian di bawah ring. Saya yang kebetulan anak klub basket sejak SMP langsung masuk dan merebut bola yang dia dribble. Eh, nggak tahunya dia berhenti main. Dengan sebuah senyuman, dia bilang: main sama temen-temen aja ya, saya udahan. Memang, anak-anak yang tadinya duduk-duduk di pinggir lapangan untuk istirahat beranjak masuk ke lapangan. Saya menyapa mereka sebentar, yang kebetulan teman satu klub basket, dan berlalu pulang. Saya jadi tak berminat lagi.

Sebenarnya kejadian dengan kakak kelas itu sudah ter-delete jika saja tidak terjadi takdir pertemuan berikutnya. Seorang teman sekelas mengajak saya masuk ekstrakurikuler KIR (Karya Ilmiah Remaja) dan Remas (Remaja Masjid). Ampun sodara-sodara! Teman saya ini nggak kira-kira kalau ngajak orang. KIR? Remas? Saya tidak pernah tahu sejenis jajanan mana itu. Saya sudah terpikir untuk masuk ekstrakurikuler basket dan kebetulan kemarin ditawarin jadi anggota cheerleader. Tapi, beneran, demi menghormati hubungan bilateral, saya rela ngikut dia ke perkumpulan anak-anak masjid, anak-anak 'dunia lain' di mata saya.

Setelah duduk melingkar di masjid (saya kebagian lingkaran belakang sendiri, barangkali ada yang pengen tahu), seseorang mengabsen nama-nama yang sudah daftar kemarin. Tapi o, o! Siapa yang ngabsen itu? Otak saya langsung masuk ke recycle bin dan melihat daftar file yang terhapus. Jadilah ingatan tentang bola basket di lapangan ter-restore kembali. Maka begitu kakak kelas itu bertanya, "Siapa yang belum saya panggil?", tangan saya langsung terangkat! Beneran, saya jadi penasaran... Ini salah satu kisah penasaran saya. Saya sampai rela gabung sama kelompok orang-orang aneh bin ajaib ini. Saya jadi ingat orang ini pernah menolak main basket sama saya. Hari selanjutnya saya bergabung dengan tiga kegiatan sekaligus. Basket, Cheerleader, dan Remas.

Suatu hari di sekolahan, di waktu sore, ketika saya main basket di lapangan bersama anak-anak tim basket, saya melihat kakak kelas saya itu sedang mengajar mengaji. Dia duduk di teras masjid, yang kebetulan berhadapan langsung dengan lapangan basket, bercerita tentang nabi-nabi (suaranya keras banget, bo!). Selalu begitu. Saat saya main basket, dia mengajar mengaji. Apalagi ketika suatu saat saya sedang latihan cheerleader di aula sekolah yang tertutup, saya melihat dia masih setia mengajari anak-anak kecil sekitar sekolahan untuk mengaji. Usut punya usut, ternyata dia mengajar ngaji setiap hari! Lama kelamaan saya merasa tidak enak hati. Bagaimana pun juga saya ini kan anak masjid. Anak masjid kok cheerleader-an? *hayyah*

Saya pun memilih berhenti jadi anggota cheerleader yang baru saja saya ikuti beberapa latihannya. Padahal, itu cita-cita saya, secara yang namanya cheerleader sudah terkenal sebagai tempat berkumpulnya orang-orang cantik. Umur saya butuh pengakuan, nih, ceritanya. Walaupun pada kenyataannya saya cuma jadi ganjel doang karena badan saya yang besar tegap cuma dijadiin panjatan sama teman-teman.

Begitulah... Hari-hari berlalu. Dari rasa penasaran kepada sosoknya, saya mencari informasi mengenai kegiatan dia. Karena saya tahu dia rajin beribadah, saya pun mulai mengikuti pengajian-pengajian. Dari situlah sebenarnya kesadaran saya berkembang. Saya menjadi lebih relijius. Alhamdulillah tak lama berselang, saya memutuskan untuk menutup aurat saya.

Nah! Justru di saat itulah saya merasa ada yang aneh dengan diri saya. Setiap bertemu, seperti ada bunyi yang tidak biasa di jantung saya. Leher saya juga seperti ada masalah, jadi nggak bisa tegak jika berpapasan dengan si kakak kelas. Padahal kemarin pas lihat dia tanding basket persahabatan di sekolah, leher ini masih baik-baik saja. Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta? Apa karena proses metamorfosis saya berkaitan dengannya? Saya belum punya jawaban. Apalagi pada saat itu bagi saya pacaran tidaklah berguna. Masih ingat, kan, tentang pangeran saya?

Pada akhirnya saya harus memasuki jenjang universitas. Pikiran tentang si kakak kelas sudah menghilang entah kemana. Saya asyik kembali dengan dunia saya yang baru. Cinta? Masih terpikir. Siapa yang tidak ingin jatuh cinta? Tapi saya tahu, akan indah pada waktunya. Memang, saya masih berpegang teguh pada sosok si pangeran. Tapi karena pandangan saya tentang cinta lebih rasional karena umur, sosok pangeran bagi saya bukanlah lagi pangeran yang melulu ganteng, kaya, terpandang, dan ter... ter... lainnya.

Dalam sebuah buku yang saya baca, disebutkan tokoh bernama Alvin Toffler yang menulis buku The Third Wave sebuah Future Shock, mengupas tentang sejarah peradaban manusia dalam tiga arus gelombang besar. Kembali pada substansi yang ingin saya khayalkan...

Barangkali kisah Cinderela terjadi pada peradaban gelombang satu, ketika secara struktur sosial dipisahkan oleh sistem kelompok masyarakat atau sistem kelas. Cinderela alias putri abu ini jelas masuk golongan kelas bawah. Sang pangeran? Tentu saja kelas atas. Sungguh beruntung si putri abu ini dipersunting seorang pangeran yang notabene bangsawan kelas atas. Masyarakat elite! Jadilah kedudukan seorang Cinderela yang miskin menjadi seorang yang berkedudukan tinggi. Kata orang: keberuntungan. Kalau kata saya: anugerah dari langit.

Lalu siapakah yang ada pada peradaban gelombang kedua? Pemilik modal. Kita? Nah, kita kabarnya sedang hidup dalam gelombang ketiga. Dikatakan ada indikasi bahwa keputusan dimiliki oleh pemilik pengetahuan. Strukturnya adalah melebar ke samping dalam bentuk interaktif. Sub sistem sosialnya terwujud dalam masyarakat pekerja ilmu pengetahuan dan informasi. Intinya barangkali, status sosial tertinggi adalah orang-orang  yang menguasai ilmu pengetahuan. Itulah kalangan elit masa gelombang ketiga. *buset jadi belibet gini*

Kalau ilustrasinya seperti itu, langsung terlintas dalam otak saya bahwa pangeran masa kini adalah seorang pemilik ilmu pengetahuan. Bukan pangeran yang gemar mengajak berdansa atau pangeran yang suka mengadakan sayembara untuk mencari istri. So, pasti tahu, dong, siapa yang bakal bisa merontokkan hati saya?

Yap! Saya berdebar-debar. Seseorang dari ITS? ITB? Oxford? Cambridge? Harvard? *halah* Atau darimana...? Kaki siapa yang akan digerakkan Tuhan untuk menghampiri saya? Seromantis apakah kisah cinta yang akan saya kenang? 

lanjut 2 (Membedakan Cinta dan Emosi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Supporting KEB

Supporting KEB
Kumpulan Emak Blogger

Histats

Histats.com © 2005-2014 Privacy Policy - Terms Of Use - Check/do opt-out - Powered By Histats