(Membedakan Cinta dan Emosi)
"Saya
bukan siapa-siapa. Keluarga saya biasa saja. Saya tidak bisa menjanjikan
apa-apa... Tapi insyaAllah saya berniat membangun keluarga yang baik."
Tegas dia
berbicara. Yakin dia berpenampilan. Mantap ia menyusun kalimat di depan sesepuh
keluarga saya. Keluarga saya yang sebagian ada di dalam ikut mengintip kami
pelan-pelan. Setengah tertawa mungkin melihat proses perkenalan kami.
"Masihkah
mau menerima saya?"
O, o...
Senyum saya yang tipis tertutup kepala saya yang menunduk. Ya. Seorang
laki-laki datang pada saya. Bukan dari ITB bukan Harvard. Bukan pangeran seperti yang saya
bayangkan. Tidak menawarkan pacaran, tapi pernikahan. Muka saya sungguh terasa
panas karena menahan sesuatu yang ingin meledak di dada. Ya, suara deg-deg itu
menghantam kuat seperti mau keluar. Saking panasnya muka saya, warnanya mungkin
sudah terlihat sangatlah merah. Saya tak kuasa memandang wajahnya. Hei, apa
yang terjadi? Laki-laki ini bukan pangeran impian saya! Tapi laki-laki ini, sholeh,
berpendidikan, berkarakter. Apalagi? Saya memang belum merasa jatuh cinta...
Sudah saya katakan, bukan? Laki-laki ini bukan pangeran impian saya! Tapi
kenapa ada reaksi fisiologis seperti ini? Maka ketika kalimat itu keluar dari
lisannya, "Boleh kok melihat wajah saya. Kan biar tidak ada penyesalan di
kemudian hari." *ya ampyun* Laki-laki ini ternyata punya bakat narsis! Kali ini saya tersenyum
geli, tapi muka tetap saja tak berani melawan kenarsisan sang lelaki.
Singkat
kata, saya dan keluarga menerima pinangannya. Laki-laki itu pun pulang bersama
keluarganya, meninggalkan suara detak yang tak biasa di dada saya. Tubuh
seperti melayang tiap detiknya. Begitu ringan. Sepanjang waktu bulan sabit
berpindah ke bibir saya. Baru pertama kali ini saya merasakannya. Inikah yang
disebut cinta? Saya tak pernah punya pacar. Meski tidak sedikit yang menawarkan
cinta, saya sungguh tak pernah punya pacar. Keluarga menggoda, menyerang tiada
tara....
"Nyari
istri apa nyari pengurus oraganisasi? Kok yang ditanyain visi misi?"
"Nyari
guru ngaji 'kali. Yang ditanyain kok hapalan Qurannya!"
Whatever... Anjing menggonggong, emang kafilah mau dengerin?
Selanjutnya
hari-hari saya penuh bunga dan pelangi berwarna-warni (ini ungkapan yang
kliseeeee banget. Tapi saya lagi nggak punya ide untuk menggambarkan perasaan
yang lebih berwarna dari ini). Ternyata perasaan ini sudah membius otak dan
memberi efek narkoba! Saya bisa ringan melayang...
Maka pada
malam pernikahan kami, ketika saya sibuk diluluri, teman-teman yang ngikut
berkumpul di dalam kamar mulai membentuk formasi berjajar kepala secara
vertikal, mengintip calon suami dari balik pintu kamar sambil cekikikan. Tak
jarang mereka melempar kata dan senyum usilnya pada saya. India banget, deh,
pokoknya. Tapi berhubung saya sudah terlanjur fly, rasanya keusilan
mereka menambah pasokan bunga di hati saya.
Pun ketika
kemudian saya berjajar di pelaminan. Saya tidak bisa duduk dengan tenang. Ada
rasa yang seperti ingin meloncat-loncat dibuatnya. Kata sebuah buku yang saya
baca, tubuh saya telah memproduksi zat feromon, zat pembawa sensasi. Sifat dari
senyawa ini tidak kasat mata, mudah menguap, tidak dapat diukur, tetapi ada dan
dapat dirasakan oleh manusia. *udah woiii udah* Ia biasa dikeluarkan oleh tubuh
saat sedang berkeringat yang biasanya tertahan dalam pakaian yang kita gunakan.
Sinyal kimia ini berada di udara dan tidak bisa dideteksi melalui bau-bauan namun
keberadaannya bisa dirasakan oleh vomeronasalorgan (VMO) di dalam indra penciuman
yang kemudian dijangkau oleh bagian otak bernama hipotalamus. Di sinilah
terjadi perubahan hormon yang menghasilkan respons perilaku dan fisiologis. *fiuuuh* Maka dalam
hitungan detik, akan ada respon dari otak yang akan mengubah detak jantung,
pernafasan, temperatur tubuh, peningkatan kerja hormon testoteron atau hormon
esterogen dan kelenjar keringat. Jadi tahu, kan, kenapa jantung saya bunyinya
lain, pipi saya panasnya lain, dan keringat saya baunya... masih bau yang sama,
bisa wangi kalau pakai parfum!
Berhubung
senyawa aneh ini dapat menimbulkan rasa ketertarikan antara dua orang berlainan
jenis ketika dua orang berdekatan dan bertatapan mata, maka di pelaminan itu
saya duduknya mepet sama pegangan kursi. Agak jauhan, bo! Takut saya jadi aneh
ketika feromon laki-laki itu tercium oleh VMO saya yang kepekaannya ribuan kali
lebih besar daripada indera penciuman. Beneran, saya takut loncat-loncat
kegirangan sebagai akibat reaksi fisiologis. Apa akibat darah cheerleader ya? *coret*
Inikah
cinta?
Awal pernikahan kami lalui dengan masa perkenalan. Kami tidak saling
mengenal sebelum kami menikah. Di masa ini, saya kembali berkenalan dengan
sebuah hormon. Oksitosin namanya. Ia bisa menginduksi
perasaan cinta, rasa percaya, dan kemurahan hati. Sentuhan sederhana dan
ringan, seperti usapan, tepukan di pundak, atau pelukan, sudah cukup untuk
membuat otak memproduksi hormon ini dan mengirimkannya ke sistem tubuh. Jika
ini terjadi, tingkat hormon stres pun akan berkurang, menurunkan tekanan darah,
dan memberikan rasa kedekatan. Maka saya pun mengerti, kenapa ketika suami saya
yang bahkan hanya menggenggam tangan saya, bisa membuat saya merasa begitu
tenang...
Inikah cinta?
Ini memang cinta. O Tuhan! *tepuk jidat* Tapi
bukan pada pangeran? Hari gini??? Pangeran? Ayo, dong, realistis napa. Tapi saya pernah mengalami rasa deg-deg-an begini ketika
dulu itu? Pikiran saya menawar. Oke, deg-deg-an... Tapi perasaan nyaman dan
tenang itu? Perasaan yang ringan sepanjang waktu? Perasaan yang tidak ingin
berpisah sedetikpun? Yang dulu itu tidak selengkap dan sepanjang ini otakmu
mengingat! Nurani saya berisik. Cinta monyet? Cinta sejati? Siapa yang iseng
melabeli perasaan ini?
Kamu jatuh cinta! Itu teriakan nuraniku berkali-kali. Dia
juga pangeran! Lulusan Libya yang pinter nulis dan luas ilmunya. Pangeran yang
berpengetahuan pada gelombang ke empat! Pengetahuan agama. Kelak orang akan
kelelahan dan mencari hal-hal yang berbau relijiusitas dan spiritualitas xixixixixixi Ah, ngawurnya saya menambah-nambah
teori Toffler!
Tak mau salah mendeteksi perasaan, saya buka ingatan saya
tentang teori cinta jaman saya duduk di bangku kuliah psikologi dulu. Suara
deg-deg di jantung saya kala duduk di kelas SMP dan SMU itu hanya reaksi
emosional atas barang bagus saja, sifatnya temporer. Maksudnya? Saya pernah
deg-deg-an. Pada saat saya duduk di bangku SMP, SMU, atau saat laki-laki itu
melamar saya. Deg-deg-an yang sama! Malu yang sama! Tapi kenapa saya belum
merasa saya jatuh cinta pada saat itu? Itulah yang saya bilang hanya reaksi.
Bahkan bunyi deg-deg-an pada saat SMP dan SMU itu tak mengganggu hingga sekarang. Terpikirkan pun tidak.
Sedangkan saya merasa feel saya dapat dari laki-laki
yang telah menjadi suami saya ini. Saya menerimanya dulu karena dorongan
ketertarikan secara intuitif. Perasaan saya yang bicara begitu. Ketika
bersamanya emosi cinta saya terpelihara. Tidak meluap-luap atau menghancurkan
seolah-olah saya akan melakukan apa saja demi dia. Segala macam senyawa kimia
cinta terproduksi secara kontinyu setelah pada pandangan pertama seolah saya
tak dapat mengontrolnya.
Ya saya jatuh cinta! Jatuh cinta yang tenang. Untuk pertama
kalinya dalam hidup saya. Setelah harus berpikir lama, membaca-baca beberapa
teori, merasa seperti orang idiot dan infantil, saya menyadari bahwa saya
sedang jatuh cinta. Demikian ribetnya. Tapi saya memang jatuh cinta. Pada
pangeran yang tak mengajak saya terbang dengan karpetnya... atau pangeran yang
lulusan ITB.
Dialah ayah dari anak-anak saya. Pangeran yang tidak
menunggang kuda.
à end
Tidak ada komentar:
Posting Komentar