Bicara soal motivator pria yang bisa “membelai” perasaan
perempuan. Dalam pandangan saya, sebut saja yang popular tuh Mas Fahd, Pak
Mario Teguh, dan yang relijius adalah Ustd Cahyadi. Pertanyaannya: apakah para
motivator pria itu sebenarnya tulus membersamai wanita atau malah menjadikan
wanita target (obyek) pasar?
Honestly, saya pribadi kadang melihat para
motivator itu too much. Duh, segininya ya wanita butuh perhatian? Butuh
kata-kata manis? Itu mungkin karena saya cukup memiliki kebebasan untuk
mengeksplore kekuatan dan kelemahan diri saya sendiri. Saya wanita dewasa yang
bebas dan mandiri secara pikiran. Lalu, saya merenung kemudian: mengapa ini
bisa terjadi? Ada apa dengan teman-teman wanita saya? Ini indikasi apa?
Saya ingat sebuah nasehat usang perkawinan dari seorang
ibu kepada anak gadisnya yang hendak menikah. Kira-kira bunyinya begini: jagalah
makan dan tidur suamimu. Bagi pengantin baru, mungkin semua kata terdengar
indah. Bahkan perasaan kita (wanita) yang paling jujur adalah: jangan nasehati
saya, karena apapun, apapun yang akan membuat suami saya bahagia, saya akan
melakukannya. Tanpa diminta. Because I love him. I love him!
Saya kadang mbrebes mili, tidak hanya karena diri
saya sendiri tapi juga keadaan wanita-wanita lainnya. Hati yang tulus itu
kadang udah bertumpuk-tumpuk dengan debu-debu pernikahan yang sayangnya, jarang
disapu. Bahkan sebelum berpikir tentang tidur suami, tak jarang kita sendiri
tidak memiliki waktu yang berkualitas untuk tidur saat anak-anak sudah ikut
meramaikan rumah.
Dalam budaya patriarki yang belum egaliter ini, perempuan
lebih rentan daripada laki-laki. Faktanya, setidaknya kisah-kisah dan segala
cerita yang mampir di saya, wanita banyak merindukan "belaian" karena
ketidakberdayaan akibat budaya. Budaya yang bahkan tak jarang membuat wanita
bangga berada dalam dominasi laki-laki. Contoh paling ringan: seorang wanita menilai
wanita lain tidak cekatan jika tidak melayani suami (ambilin makan, lepasin
kaus kaki, dll.) Tak jarang seorang dua orang bertanya pada saya: kok kamu
membiarkan suamimu, bahkan menyuruh suamimu nyebokin anak di tempat umum? Kalau
di rumah sih nggak papa, itu juga kalau kamu capek banget.
Saya tersenyum dong. Begitukah? Apakah suami saya lantas
hilang wibawanya? Saya memiliki kewajiban terhadap suami, demikian suami juga
memiliki kewajiban kepada saya. Kewajiban kepada anak-anak? Kewajiban kami
berdua. Maaf saja, nyebokin anak bukan kewajiban saya, tapi kami berdua.
Semangat kami menikah adalah hidup untuk Allah. Lupakan budaya. Dunia ini
hanyalah satu fase yang kami lalui bersama menuju Allah, ada budaya atau tidak.
Saya dan suami hanya harus memenej rumah tangga ini. Dan tugas itu jelas sudah
dikendalikan oleh suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Saya nurut. Saya
nurut bukan begitu saja.Bukan karena saya bersedia diobyekkan suami. Tapi
justru saya nurut karena itu hasil pikiran saya sebagai pribadi yang utuh.
Subyek yang utuh. Saya MEMUTUSKAN (kata kerja) untuk nurut suami. Itu proses
internal saya atas keimanan saya sama Allah. Beriman kepada Allah saja saya
juga menggunakan kata kerja aktif kok. Saya MEMUTUSKAN beriman.
Jadi, saya tidak merasa bersalah kalau kami lagi jalan
berdua ke mall atau pas lagi gathering informal (nyantai) dengan
keluarga atau teman, saya dengan manjanya minta suami nyebokin anak. Yang sewot
mah biarin aja, lha wong itu sama sekali ngga memengaruhi kasih sayang suami
xixixixixi Bahkan suami bisa juga galak bilang: gantian Adek! Hahahahaha feel
free. Lalu dengan manyun saya nyebokin juga. Yang aneh itu kalau lagi ada
acara formal dan suami saya sibuk, saya tega meminta beliau nyebokin. Duh. Jatuhnya
saya akan malu pada diri sendiri: kamu ngapain aja?
Jadi atas fenomena ini, motivator pria yang mengerti
perasaan wanita tentu diminati. Para pria yang memperhatikan detail perasaan
wanita (istri). Para motivator yang entah tulus membagi sapu, malu-malu nawarin
sapu, atau sudah jualan sapu. Terus terang saya berusaha untuk tidak fokus pada
nilai komersilnya. Sebab jika semua “belaian” itu bukan merupakan cermin
perasaan perempuan, dibranding dengan cara apapun ya tidak akan selaku itu.
Jadi kayak feminism, dibranding kayak apapun bagi wanita pada umumnya ya ngga
laris meskipun isinya perjuangan kesetaraan karena bukan itu yang ada dalam
hati perempuan pada umumnya. Wanita itu kadang nggak selalu rumit, justru
sering lebih sederhana. Mereka ditarikin kursinya saat mau duduk di restoran
saja sudah senang. Perempuan memang suka "dibelai". Makhluk yang
lembut. Nah karena suami-suami mungkin merasa terlalu maskulin untuk
melakukannya, ya akhirnya cuma bisa terhibur dengan para motivator itu.
Terhibur, bukan mencari hiburan.
Relationship: Motivator Pria dan Sapu (Bagian 2)
| ARTIKEL LAIN:
Poligami Nasi Padang
Stay at Home Mom Galau Bekerja? (Bagian 1)
Stay at Home Mom Galau Bekerja? (Bagian 2)
Pamer Kemesraan di Medsos
kita sebagai wanita memang tangguh ya mb..huaaa
BalasHapusSetuju! ^^ *awww*
Hapusmakasih udah mampir :D
Kalo saya sih, para motivator ya buat motivasi aja yg selayang pandang, sepintas dengar. Kadang terlalu sempurna, cuma ya namanya juga motivasi harus tinggi sehingga memotivasi.
BalasHapusKalo urusan anak juga kerjaan rumah, kadang sy Dan suami juga kerjasama. Doi jaga anak, sementara sy beberes. Atau doi yg nyapu ngepel sementara saya nen in anak.
Suami sy jg ga sungkan sih mandiin, nyebokin, apalagi bersihin kotoran si anak, juga gendong2 pake kain kalo ke mol. Huahahaha.
Senangnya saya, jg bisa santai. Hihihi
Ya kalo pembagiannya tugas gitu sih sebenernya menurut saya tergantung kesepakatan kedua pihak. Ada yg sepaket unt menyerahkan sepenuhnya ke baby sitter atau ada yg berbagi. Ya mungkin masing2 punya pertimbangan sendiri.
Siaaap. Sepakat dan setujuh!!! :D Salam kenal, Bun. Makasih sudah mampir.
HapusSaya itu sering di pandang aneh, kalau makan di luar yang nyuapin anak itu suami. Ah, mereka nggak tahu aja, padahal itu salah satu cara suami "membelai" istri. Diajak makan di luar, makan dengan tenang tanpa interupsi walaupun bareng anak-anak :)
BalasHapusHihhii...
BalasHapusKadang saya juga malu kalo suami tiba- tiba nawarin mau ngebawain tas (pastinya model tas wanita). Kalo ga rame saya kasihin, tapi kalo rame saya yang gengsi (takut suami diledekin "pandangan" orang hehehe. Padahal mau banget LOL). Ternyata itu bentuk "belaian"nya ya^^
Kalo aku ngeliat para motivator itu memang atas dasar karakter mereka sih. Ga too much selama itu memang keinginan mereka sendiri untuk - istilahnya - memuliakan istrinya. Terlepas dari apakah kenyataannya seperti yang ditampilkannya, who knows :D tapi biar gimana, banyak orang masih terpengaruh motivasi mereka. Well bagus bagus aja sih menurutku. Yang salah kan kalo udh iri dan tidak mensyukuri suami sendiri hihi
BalasHapus