Senin, 26 Oktober 2015

Nyathu


Malam itu tidak ada yang lebih asyik daripada masak mie a la Bunda Nana a.k.a saya sendiri saat perut butuh hidangan hiburan. Jadi, maka jadilah. Bawang putih yang dikeprek dan ditumis dengan irisan bawang bombay. Lengkap dengan tambahan bakso, sosis, saus tiram, plus saus Pad Thai impor yang menyertakan label halal keluaran otoritas negara asal. Rasanya? Mak nyusss. Tentu, "mak nyusss" ini miturut kadar subyektifitas saya, dan setidaknya, kata anggota keluarga dan asisten rumah tangga saya kemudian. Entahlah, mungkin mereka tidak ingin membuat hati saya terluka.

Saat sebuah piring saya penuhi selepas masakan saya matang dan siap menyantapnya di depan laptop, tiba-tiba asisten saya berteriak panik, "Kok nggak nyathu buat Bapak?"

Heh? Nyathu? Kuping saya langsung alert. Nada-nadanya seperti diucapkan untuk "mendakwa"saya. Maklumlah, asisten saya ini berusia jauh lebih tua dari saya yang terkadang suka memprotes kebar-baran saya sebagai anak muda.

Saya langsung mengamati tingkah polah bibi yang langsung melesat pergi setelah bertanya dengan bahasa anehnya. Sebenarnya mungkin sayanya yang aneh. Bibi saya adalah orang Jawa seperti saya. Tapi entahlah, apa karena bahasa di Jawa Timur (asal saya) memiliki banyak perbedaan dengan bahasa Jawa di Pekalongan-Jawa Tengah (asal si bibi). Yang jelas, dan yang pasti saya tahu, saya ternyata adalah generasi yang suka keceplosan bilang diskon daripada korting, proposal daripada usulan, dinner daripada makan malam.... Nah, untuk urusan peduli dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar saja saya harus lebih bijak lagi, apalagi Bahasa Jawa yang sangat kaya itu.

Maka, mata saya masih penasaran menangkap bayangan bibi yang dengan gesit mengambil piring, bablas ke dapur, yang kemudian kembali ke ruang tengah dengan sepiring penuh mie yang segera diletakkan di atas meja. Ditutup rapat. Berjajar dengan segelas teh panas milik suami saya.

"Mestinya, sebelum makan, suami itu diambilkan dulu. Dicathu. Baru yang lain makan,"


http://www.lawyerloveslunch.com/2013/04/garlic-noodle-bowls-and-great-paint.html


 Saya cengengesan. Iseng, saya bertanya, "Kenapa harus begitu?"

"Lho, suami itu kan yang mencari duit. Jangan diberi sisa."

Elho, sesederhana itu? Lha, saya yang sampai pecicilan ngurusi anak-anak dan tetek bengeknya rumah tangga itu hanya dianggap "warga kelas dua" yang berhak makan setelah jatah "warga kelas satu" terpenuhi? Dan, itu hanya karena yang pecicilan di rumah itu nggak pernah akan mendatangkan uang?

Wah! Dosa besar dalam pandangan feminisme itu. Bisa ditimpuk dan di-uyel-uyel banyak perempuan si bibi ini.

Saya menawar, "Lha, tidak harus begitu, toh? Lagipula, saya tidak nyisani. Saya ambil di piring saya sendiri. Habis ini tentu akan saya ambilkan sepiring lagi buat suami saya."

"Tidak bisa begitu. Suami harus didahulukan." Ngotot.

Saya lantas berpidato dalam hati. Ketahuilah, bibi, jaman sekarang bahkan, memutuskan "berdiam" diri di rumah dan meredam keinginan untuk berkarier sendiri sudahlah amat berat rasanya. Perang batin dan perang perasaan. Toh, di saat akhirnya saya memilih dengan penuh kesadaran untuk menjadi stay at home mom tidak lantas membuat mata saya menyala merah penuh permusuhan terhadap pilihan orang lain baik menjadi wanita karier atau part timer atau apalah namanya saking banyaknya istilah. Maka, saya sudah sangat lama meninggalkan perdebatan antara pentingnya berkarier yang otomatis menghasilkan pendapatan sendiri dengan pentingnya "hanya" menjadi stay at home mom. Saya tidak merasa harus menjadikan keduanya sebagai simbol mata uang yang saling berpunggungan. Toh, jika saya ikut-ikutan mengamalkan archimedean point itu maka saya akan segera melesat ke angkasa dan mendapati kenyataan bahwa mata uang itu sudah menjadi begitu kecil, sudah tidak kelihatan lagi mana punggung yang satu dan lainnya. Semakin tinggi saya mengangkasa bahkan uang itu sudah tak terlihat lagi.... Alih-alih membicarakan mata uang yang sebesar kumanpun tidak, saya mungkin sudah tertarik dengan hal-hal yang lebih besar lagi.

Kenapa mesti begitu ribut yang bahkan perempuan yang dibela-bela itu malah memiliki caranya sendiri untuk menjadi seorang wanita yang berbahagia dan ia menikmatinya? Saya sungguh lebih senang memandang wanita sebagai dirinya sendiri, yang bahagia dengan hidupnya, dengan caranya sendiri. Termasuk dengan wanita bahagia versi bibi. Kalau ia bahagia dengan caranya itu, kenapa saya yang harus bergejolak? Setiap wanita tentu memiliki kebebasan untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya tanpa saling memojokkan satu sama lain.

Sudah dari asalnya wanita itu tumbuh secara nature dan nurture. Setahu saya, wanita itu memang produk alamiah dan produk budaya, bukan? Maka, kesadaran untuk nyathu itu tentu sebuah warisan budaya. Alasan melakukan nyathu, yang dimaknai oleh bibi sebagai penghormatan atas orang yang telah berjasa mencari uang, itu juga tentu adalah sebuah semangat dari hasil warisan budaya.

Sebagai wanita Jawa, saya tidak berkeberatan melestarikan budaya nyathu yang sebenarnya sudah diajarkan oleh ibu saya yang juga wanita karier itu. Namun, saya pribadi telah mengganti semangat nyathu yang dipakai si bibi dengan semangat saya sendiri. Yakni, saya nyathu karena this is the way I love him. Saya mendahulukan dan mengutamakan sepiring makanan buat suami saya karena saya menghormati belahan hati saya. Dan, saya ingin budaya ini yang kelak diwarisi putri saya.

Ah, sayang, bibi baru seminggu bekerja di rumah saya dan baru kali ini melihat saya memasak. Diam-diam, saya nyathu juga, lho, Bi.... Hanya, kali ini saya kelupaan.

10 komentar:

  1. hehehe...baru tahu saya istilah nyathu..
    salam kenal mak^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal balik, Mak ^^ Makasih ya udah mampir ^^

      Hapus
  2. sepertinya budaya "nyathu" itu juga diterapkan di rumah saya :)
    dulu, waktu papa masih hidup, kami baru boleh makan setelah makanan untuk papa sudah tersaji di atas meja..

    salam kenal mbak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal kembali, Mbak ^^ Makasih sudah mampir. Salam buat mamanya :D

      Hapus
  3. ini mah emak gue banget,San
    menyisihkan makanan untuk bapak, saat pertama matang meski kemudian bapakku akan membaginya ke anak-anak jika ternyata jatahnya terlihat lebih istimewa ketimbang buat anak-anak
    tapi kita dulu..takuut loh nyentuh jatah bapak di almari, krn ibu tegas soal NYATHU itu
    tapi sekarang..suamiku justru seringnya makan makanan aku dan anak2 yg ga habis hahaha, miasa aja sih buat kami

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahahaha lintas generasi kita mah. suami justru kadang sengaja nungguin makanan anak-anak yang diperkirakan ngga bakal habis kalau lagi jalan bareng.

      Hapus
  4. Sepakat sama Mba Santy, saya lebih setuju jika alasannya karena ungkapan cinta kita sama suami, saya pun demikian Mba Santy, nyathu juga...tapi suami saya suka menolak. Saya ngotot dia juga ngotot, jadinya kayak adegan Bastian sama Bintang di sitkom "Tetangga Masa Gitu" / NetTV :D

    BalasHapus
  5. Suka banget ma bshasanya, mirip mirip tutur bshasa pengamat gaya hidup ni hihihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. M6ngkin terpengaruh gaya Umar Kayam hahahaha saya pengagum beliau

      Hapus
  6. Oh namanya nyathu toh. Dulu piring atau gelas babeh sangat sakral. Gak boleh di pakai anak2nya sama emak, katanya nanti anak2 ngelawan babeh. Dulu juga emang emak selalu misahin piring buat babeh entah karena tradisi nyathu ini entah karena khawatir suaminya gak kebagian lauk karena keganasan 4 orang anaknya hihi

    BalasHapus

Pengikut

Supporting KEB

Supporting KEB
Kumpulan Emak Blogger

Histats

Histats.com © 2005-2014 Privacy Policy - Terms Of Use - Check/do opt-out - Powered By Histats