Jika saya mengatakan bahwa
profesi saya adalah ibu rumah tangga, Anda tidak perlu protes. Ketegasan saya
ini bukan karena aura narsis atau sifat otoriter saya sedang kambuh. Dengan
segala rendah hati saya terpaksa mengatakannya. Hehehe.
Mungkin orang akan berpikir bahwa saya bisa
berkata begitu karena saya dulu kuliah di psikologi dan mengambil kekhususan
bidang industri dan organisasi sehingga saya tahu betul arti kata
"profesi" dan "profesional". Mmm ..., tidak. Saya bahkan sudah
tidak ingat persis definisi "profesi" yang saya pelajari ketika
kuliah dulu. Lalu? Waktu saya googling di wikipedia yang katanya "ensiklopedia
bebas" alias "kamus sejuta umat", saya menemukan bahwa tidak ada
yang salah dengan kalimat yang saya nyatakan tadi: ibu rumah tangga bisa
disebut sebagai profesi. Sebuah profesi, tentu saja, layak dicita-citakan dan
diperjuangkan.
Pertanyaannya kemudian, apakah
ratusan, ribuan orang di luar sana akan berpikiran sama dengan saya, bahwa
menjadi ibu rumah tangga adalah sesuatu yang layak disebut sebagai cita-cita apalagi
"cita-cita yang prestisius" sehingga layak diperjuangkan? Jangan-jangan
ini adalah bentuk eskapisme ketidakmampuan saya bersaing di dunia kerja? Please,
deh, saya akui bahwa dunia karier memang menggoda. Tak hanya soal kebebasan dan
ruang yang luas saja yang membuat seorang wanita karier tak perlu pusing
memikirkan "me-time". Bahkan, iming-iming kekuatan personal
yang membuat seorang wanita karier mampu memiliki nilai bargaining dalam
berbagai hal yang bersifat publik membuatnya terlihat lebih powerful, lebih
kinclong, lebih wangi!
Wangi Pierre Cardin, pada sebagiannya, bukan wangi bumbu dapur. FYI, saya ibu
rumah tangga yang juga rutin terjun ke dapur.
Sepertinya sah-sah saja saya
mengatakan bahwa ibu rumah tangga adalah layak disebut profesi sehingga ia
layak diperjuangkan. Sebuah profesi, menurut Wikipedia, adalah pekerjaan yang
membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus.
Karakter pekerjaan ibu rumah tangga waktu saya otak-atik kok ya sesuai juga
dengan karakteristik suatu profesi. Ini ilmunya orang Jawa: othak-athik gathuk, ning yo
mathuk....
Cocok betul pikiran saya dengan teori karakteristik profesi waktu saya
cocok-cocokkan.
Karakteristik profesi itu
memiliki ketrampilan yang berdasar pada teoritis dan memiliki jenjang
pendidikan yang lama dan semakin meninggi. Mulai dari merawat kehamilan sampai
momong anak, mulai dari cara menata rumah dan mencuci baju. Pernahkah membayangkan
bahwa pekerjaan rumah tangga tak melulu soal benda hidup (baca: suami, anak,
mertua, tetangga, kerabat, dll.) namun juga pekerjaan dengan "klien"
benda mati (setumpuk cucian, debu, piring kotor, dll.) yang harus diurusi
dengan keahlian khusus? Apakah semua orang bisa mencuci dan menyetrika baju? Please,
ya, ini bukan soal tenaga, ini soal bagaimana memahami serat baju dan
komposisinya agar tak salah perlakuan ketika mencuci dan menyeterikanya. See?
Berapa banyak teori yang telah kita baca untuk semua itu? Berapa kali kita
melakukan self upgrading demi kemajuan urusan domestik serta anggota keluarga kita?
Memang, profesi ibu rumah
tangga belum bisa secara formal dipatok jenjang pendidikannya. Namun, jenjang
itu ada, lho. Bisa dirasakan dengan uji kompetensi. Caranya? Lihatlah hasil
didikan dan hasil sentuhan tangan dan pikiran para ibu rumah tangga.
Profesi ibu rumah tangga juga
memiliki otonomi kerja dan juga kode etik meski tidak dikeluarkan secara formal
oleh sebuah asosiasi profesional. Rasanya, tidak penting seorang ibu rumah
tangga bergabung dalam sebuah asosiasi jika hanya ingin merumuskan sebuah kode
etik yang bisa diakui bersama. Mana ada seorang ibu yang berlepas diri dari
kode etik dalam berhubungan dengan suami, dalam mendidik dan membesarkan anak,
dalam bersosialisasi dengan masyarakat? Panduannya tidak hanya soal moral saja,
tapi juga agama. Namun, tentu saja, tidak berkurang kebaikannya ketika para ibu
rumah tangga ini membentuk sebuah asosiasi profesional agar pijakannya semakin
kuat.
Yang paling menarik,
karakteristik dari sebuah profesi juga meliputi adanya pengakuan status dan
imbalan yang tinggi. Nah, ini adalah ilmu tertinggi yang harus segera ditempuh
agar lulus menjadi seorang ibu rumah tangga yang profesional. Kenapa? Sebab,
urusan ini telah masuk dalam dimensi metafisik, yakni keikhlasan. Konon,
pekerjaan ibu rumah tangga itu nggak pernah kelihatan hasilnya, jadi bagaimana
mungkin ujug-ujug bisa mendapatkan pengakuan status? Tulisan saya ini,
ya notabene hanya othak-athik gathuk, yang secara ilmiah belum tentu
diakui kebenarannya, tentunya dalam rangka pengakuan status itu, bukan? Jauh
sebelum saya kelihatan seperti memaksa agar profesi ini diakui, saya sudah
ikhlas dengan segala konsekuensi profesi ibu rumah tangga. Profesi mulia yang
pertanggungjawabannya menyentuh aspek dunia dan akhirat. Namun, sebuah
keikhlasan tidak bisa membendung sebuah wacana, bukan?
Saya tidak pernah merasa bahwa
profesi ibu rumah tangga yang lebih bersifat domestik ini adalah sebuah pilihan
yang harus dibenturkan dengan sebuah pilihan profesi yang bersifat publik
sehingga saya ingin sekali profesi ini disejajarkan dengan profesi lainnya. Sesungguhnya,
saya sudah lama memilih keluar dari benturan itu dan memilih untuk berpikir
positif bagi kepentingan diri saya pribadi. Bagi saya, dunia publik dan
domestik adalah sama baiknya selama kita memilihnya dengan penuh kesadaran dan
tanggungjawab. Soal pilihan hidup ini tentu sangat berhubungan dengan prioritas
hidup seseorang. Namun, rasa saling menghargai sebuah pilihan itu yang ingin
saya raih. Toh, menjadi ibu rumah tangga sama berjuangnnya dengan pilihan
menjadi wanita bekerja. Sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan.
Mungkin ada yang heran, mengapa
saya sebut menjadi ibu rumah tangga itu butuh perjuangan? O, please,
tidak mudah menjaga pikiran dan persepsi kita tentang profesi ibu rumah tangga
di tengah kompleksitas modernisme dan kapitalisme. Saya merasa, untuk survive
di sebuah komunitas manusia modern seolah tidak cukup dengan filosofi sandang,
pangan, dan papan semata. Perlu refreshing, Mom. Perlu entertaint.
Perlu eksis, bo! Hallow? Duit darimana?
Dalam pandangan saya, kapitalisme
membuat persaingan kerja makin berat. Gaji makin kompetitif. Hari gini, istri
nggak kerja? Oke, pertanyaan itu sungguh retoris. Anda sedang berhadapan dengan
perjuangan seorang ibu rumah tangga secara psikologis. Ajaibnya, semua perjuangan
itu, baik secara fisik dan psikis, "digaji" dengan konsep invisible
payment. Kok invisible? Tentu. Bukankah pahala tidak pernah
kelihatan? Ini yang saya sebut dengan ikhlas tingkat tinggi. Alhamdulillah
saya mendapat mertua yang begitu mengerti dan menyayangi saya. Ada, lho, mertua
yang merasa seorang menantu yang hanya menjadi ibu rumah tangga itu adalah
wanita yang beruntung menikah dengan putranya yang sukses. Artinya apa? Artinya
peran seorang istri tidak mendapat perhatian. Bukankah sukses suami karena
sukses istri juga? Ini benar-benar soal keikhlasan melakukan pekerjaan yang
tidak pernah kelihatan hasilnya.
Tak hanya dalam pandangan sedikit
mertua yang bisa saja keliru, soal ilmu ikhlas ini juga masih harus diuji
dengan ribuan kepala yang bersepakat bahwa pekerjaan invisible payment
ini adalah "wajar bagi kaum wanita". Suami pulang kerja dan melihat
situasi rumah yang aman dan terkendali adalah hal yang sudah semestinya. Itu
hanya mekanisme rutin yang melibatkan kaum wanita! Beban psikologis tentang
adanya stereotip salah kaprah inilah yang mengiringi kecapekan fisik kita
mengerjakan semua pekerjaan rumah, menjaga anak-anak, dan lain-lainnya. Tak
heran, beberapa wanita menyukai bekerja di luar karena meskipun capek,
imbalannya jelas dan membawa kebaikan secara finansial.
Puncak dari seluruh perjuangan
itu adalah melawan rasa jenuh dan bosan! See? Butuh kecerdasan intelektual
dan emosi yang luar biasa untuk menjadi seorang rumah tangga, bukan? Maka, pada
akhirnya saya harus menyadari bahwa profesi ibu rumah tangga memang layak
diperjuangkan dan dicita-citakan. Penting menjalaninya layaknya seorang
profesional jika ibu rumah tangga menginginkan pilihannya ini memiliki efek
yang maksimal. Bukan sekedar terpaksa, sekedar tuntutan, sekedar daripada
menjadi lajang pengangguran.
Kita memilih profesi ini tentu
dengan segala pertimbangan yang terbaik. Jangan sampai sekedar terpaksanya kita
menjadi ibu rumah tangga menjadi kita tidak lebih baik daripada ibu yang aktif
bekerja di luar. Sebab, tidak semua ibu yang bekerja di luar itu semata-mata
melalaikan kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu. Barangkali, bekerja
adalah solusi lain dari kehidupan perkawinannya yang tidak bisa kita hakimi.
Maka, sekali lagi, semua pilihan pastilah berdasarkan prioritas dalam hidup
kita, dan tentu saja, selalu mendatangkan konsekuensi baik dan buruknya.
So, jadi ibu rumah tangga? Harus
profesional!
wiih mantap profesional euy
BalasHapusiyes, Mbak xixixixixixi Makasih udah mampir
Hapus