Senin, 19 Oktober 2015

Wanita Obyek Syariah (?)


Oke, saya mendapat curhat lagi. Seorang muslimah yang berusaha selalu taat suami. Mengaji. Berusaha mengikut sunnah. Muda. Dan … suaminya mencintai wanita lain. Mewacanakan poligami. Tidak bisa kehilangan istri dan anak (pertama) yang masih batita tapi juga jujur mengakui ingin menghalalkan hubungannya dengan si “dia”.

 Google

Come on, Pak! Anda ingin membuat istri Anda merasa shalihat jika meridhoi pernikahan kedua Anda? Atau mendudukkan dia dalam kebimbangan antara gemuruh di dada dan apa kata agama? 

Karena mengaji, otomatis seorang istri mampu menundukkan diri dalam syariat Allah. Mengakui bahwa poligami halal. Sudah, begitu saja? Tidak terbayangkah di usianya yang muda dia hidup dalam dunia yang begitu kompleks, berharap bimbingan dan nasehat untuk mampu belajar menjadi istri dan ibu yang baik, yang shalihat. Mematutkan diri dengan banyak ilmu dan adaptasi yang tiada habis. Tidak melulu menyergap suami dengan todongan uang belanja, kehidupan yang lebih, suami yang selalu ada, apalah apalah …. Dan suami harus menyeret pikirannya dalam kegalauan tingkat galaksi: mempertanyakan dirinya sendiri apakah ia akan berdosa jika menolak kemauan Anda? Apakah ia kurang shalihat jika tidak ridho dengan poligami yang ingin dilakukan suaminya?

Poligami halal. That is it! Saya pun melegalkannya. Allah saja bilang boleh, saya mah apalah. Alhamdulillah saya dan suami akan berusaha menetapi apa yang sudah Allah gariskan. Namun ada kekhawatiran di benak saya, bahwa di luar sana, orang-orang mungkin masih ada yang mencampuradukkan tafsir budaya, tafsir patriarki, tafsir apalah apalah … daripada memfokuskan diri untuk menjadi seorang suami yang benar-benar mampu menjadi pemimpin yang baik, yang bisa melindungi keluarga dari api neraka. Lho, menjadikan diri seorang qowwam yang baik dengan menambah istri kan sesuatu yang berbeda? Iya, beda. Anda nambah satu beban dalam hidup Anda dan mendapati istri pertama Anda begitu terpuruk? Lho, istri ikhlas dimadu akan mendapatkan surga. Ya kalau ikhlas, Pak, kalau nggak? Lho, istri shalihat seharusnya taat sama Allah dan Rasulullah. Ya ampuuun, Pak. Mengapa fokusmu adalah istrimu? Kenapa bukan, “Lho, kamu belum mampu membuat istri bahagia sudah mau nambah”? Lho, bahagia itu kan relatif. Aduh, kalau sudah jawab terus dan ngotot gini ya saya give up deh. Memangnya istri haruslah diperlakukan seperti robot syariah? Hati dan pikirannya mesti disetting layaknya chirp gitu? Default-nya mesti begini begitu?

Apakah wanita adalah obyek syariah? Dan harusnya merasa bangga akan keobyekannya demi predikat “shalihat” yang subyektif? 


Google


“Padahal, aku yakin maunya Allah ngga begitu, Mas”. Curhat saya pada suami pagi ini sebelum berangkat ke kantor. Suami tertawa lebar. “Tegakkan hukum Allah, abaikan pelakunya. Nilailah orangnya, tapi jangan perdebatkan hukumnya.”

Saya nurut. Sepakat sama suami. Dan percayalah, suami saya juga penganut asas poligami xixixixixixi Menurut saya, selagi istri Anda masih bergejolak dan tidak bisa tenang dalam hidupnya, Anda belum bisa memahamkan syariat secara benar. Anda belum bisa jadi pendidik dan pelindung yang baik yang membuat istri Anda bisa percaya dan yakin dengan Anda. Pikiran dan psikologis. Diri Anda. Sekali lagi, DIRI ANDA. Jangan lagi mengarahkan telunjuk Anda pada istri Anda yang terus belajar menjadi istri dan ibu yang baik, yang barangkali dia juga belajar sendirian! Anda entah sibuk di mana. Atau Anda akan bilang bahwa poligami pun sah tanpa ijin istri pertama? Tanpa ribet mikirin jiwa manusia lainnya? I am giving up on you! Tidak malukah Anda berhadapan dengan Allah untuk mempertanggungjawabkan diri Anda sendiri? Berhadapan dengan Allah yang menciptakan wanita?

Lalu saya teringat lagi dengan teman saya itu. “Apakah kamu masih mencintai suamimu?” Jawabnya, “Sejak saat itu, perlahan rasa cinta mulai terkikis.” Saya pengen jawab, “Fine. Kamu ajukan khulu’, balikin mahar. Atau gimana caranyalah agar kamu bisa hapuskan pernikahanmu.” Kenapa? Karena saya pikir, di usia yang masih muda, dia layak mendapat yang terbaik yang membuatnya mampu fokus untuk mengembangkan diri, mengembangkan dunianya yang luas ini. Yang tidak hanya seputar surga dan neraka sempit. Kawannya sibuk membangun rumah tangga sakinah ma waddah wa rahmah, dia disibukkan dengan menata hati? Kemungkinan yang terjadi adalah: dia tidak lagi bisa taat pada suami karena hatinya yang sakit atau dia leburkan diri dalam kesedihan.

Tapi kalimat itu tidak keluar dari mulut saya. Saya cuma terdiam. Sambil saya senyum saya bilang, “Saya ngga boleh komen banyak dulu kalau soal ini. Nanti malah akan bikin hatimu gundah. Coba ngaduuu yang panjang sama Allah. Ngaduuu yang banyak sama suami. Renungi dulu dalam-dalam. Saya bantu doa yaaa. Mudah-mudahan segera diberi petunjuk dan kedamaian.”

Lalu senyap.

2 komentar:

  1. Serem amat mak bahasannya... poligami halal tp sy nggak sanggup....=D

    BalasHapus
  2. Lah Islam memang agama yg selalu berpihak pada lelaki kok :) walaupun katanya, disitulah keadilannya, hehe.

    BalasHapus

Pengikut

Supporting KEB

Supporting KEB
Kumpulan Emak Blogger

Histats

Histats.com © 2005-2014 Privacy Policy - Terms Of Use - Check/do opt-out - Powered By Histats