Oke, saya
mendapat curhat lagi. Seorang muslimah yang berusaha selalu taat suami.
Mengaji. Berusaha mengikut sunnah. Muda. Dan … suaminya mencintai wanita lain.
Mewacanakan poligami. Tidak bisa kehilangan istri dan anak (pertama) yang masih
batita tapi juga jujur mengakui ingin menghalalkan hubungannya dengan si “dia”.
Google
Come on, Pak!
Anda ingin membuat istri Anda merasa shalihat jika meridhoi pernikahan kedua
Anda? Atau mendudukkan dia dalam kebimbangan antara gemuruh di dada dan apa
kata agama?
Karena mengaji,
otomatis seorang istri mampu menundukkan diri dalam syariat Allah. Mengakui
bahwa poligami halal. Sudah, begitu saja? Tidak terbayangkah di usianya yang
muda dia hidup dalam dunia yang begitu kompleks, berharap bimbingan dan nasehat
untuk mampu belajar menjadi istri dan ibu yang baik, yang shalihat. Mematutkan
diri dengan banyak ilmu dan adaptasi yang tiada habis. Tidak melulu menyergap
suami dengan todongan uang belanja, kehidupan yang lebih, suami yang selalu
ada, apalah apalah …. Dan suami harus menyeret pikirannya dalam kegalauan
tingkat galaksi: mempertanyakan dirinya sendiri apakah ia akan berdosa jika
menolak kemauan Anda? Apakah ia kurang shalihat jika tidak ridho dengan
poligami yang ingin dilakukan suaminya?
Poligami halal.
That is it! Saya pun melegalkannya. Allah saja bilang boleh, saya mah apalah.
Alhamdulillah saya dan suami akan berusaha menetapi apa yang sudah Allah gariskan.
Namun ada kekhawatiran di benak saya, bahwa di luar sana, orang-orang mungkin
masih ada yang mencampuradukkan tafsir budaya, tafsir patriarki, tafsir apalah
apalah … daripada memfokuskan diri untuk menjadi seorang suami yang benar-benar
mampu menjadi pemimpin yang baik, yang bisa melindungi keluarga dari api
neraka. Lho, menjadikan diri seorang qowwam yang baik dengan menambah istri kan
sesuatu yang berbeda? Iya, beda. Anda nambah satu beban dalam hidup Anda dan
mendapati istri pertama Anda begitu terpuruk? Lho, istri ikhlas dimadu akan
mendapatkan surga. Ya kalau ikhlas, Pak, kalau nggak? Lho, istri
shalihat seharusnya taat sama Allah dan Rasulullah. Ya ampuuun, Pak.
Mengapa fokusmu adalah istrimu? Kenapa bukan, “Lho, kamu belum mampu membuat
istri bahagia sudah mau nambah”? Lho, bahagia itu kan relatif. Aduh,
kalau sudah jawab terus dan ngotot gini ya saya give up deh. Memangnya
istri haruslah diperlakukan seperti robot syariah? Hati dan pikirannya mesti
disetting layaknya chirp gitu? Default-nya mesti begini begitu?
Apakah wanita adalah obyek syariah? Dan
harusnya merasa bangga akan keobyekannya demi predikat “shalihat” yang subyektif?
Google
“Padahal, aku
yakin maunya Allah ngga begitu, Mas”. Curhat saya pada suami pagi ini sebelum
berangkat ke kantor. Suami tertawa lebar. “Tegakkan hukum Allah, abaikan
pelakunya. Nilailah orangnya, tapi jangan perdebatkan hukumnya.”
Saya nurut.
Sepakat sama suami. Dan percayalah, suami saya juga penganut asas poligami
xixixixixixi Menurut saya, selagi istri Anda masih bergejolak dan tidak bisa
tenang dalam hidupnya, Anda belum bisa memahamkan syariat secara benar. Anda
belum bisa jadi pendidik dan pelindung yang baik yang membuat istri Anda bisa
percaya dan yakin dengan Anda. Pikiran dan psikologis. Diri Anda. Sekali lagi, DIRI ANDA. Jangan lagi
mengarahkan telunjuk Anda pada istri Anda yang terus belajar menjadi istri dan
ibu yang baik, yang barangkali dia juga belajar sendirian! Anda entah sibuk di
mana. Atau Anda akan bilang bahwa poligami pun sah tanpa ijin istri pertama? Tanpa ribet mikirin jiwa manusia lainnya? I am giving up on you! Tidak malukah Anda berhadapan dengan Allah untuk mempertanggungjawabkan
diri Anda sendiri? Berhadapan dengan Allah yang menciptakan wanita?
Lalu saya
teringat lagi dengan teman saya itu. “Apakah kamu masih mencintai suamimu?” Jawabnya,
“Sejak saat itu, perlahan rasa cinta mulai terkikis.” Saya pengen jawab, “Fine.
Kamu ajukan khulu’, balikin mahar. Atau gimana caranyalah agar kamu bisa
hapuskan pernikahanmu.” Kenapa? Karena saya pikir, di usia yang masih muda, dia
layak mendapat yang terbaik yang membuatnya mampu fokus untuk mengembangkan
diri, mengembangkan dunianya yang luas ini. Yang tidak hanya seputar surga dan
neraka sempit. Kawannya sibuk membangun rumah tangga sakinah ma waddah wa
rahmah, dia disibukkan dengan menata hati? Kemungkinan yang terjadi adalah: dia tidak lagi bisa taat pada suami karena hatinya yang sakit atau dia leburkan diri dalam kesedihan.
Tapi kalimat itu
tidak keluar dari mulut saya. Saya cuma terdiam. Sambil saya senyum saya
bilang, “Saya ngga boleh komen banyak dulu kalau soal ini. Nanti
malah akan bikin hatimu gundah. Coba ngaduuu yang panjang sama Allah. Ngaduuu
yang banyak sama suami. Renungi dulu dalam-dalam. Saya bantu doa
yaaa. Mudah-mudahan segera diberi petunjuk dan kedamaian.”
Lalu senyap.
Serem amat mak bahasannya... poligami halal tp sy nggak sanggup....=D
BalasHapusLah Islam memang agama yg selalu berpihak pada lelaki kok :) walaupun katanya, disitulah keadilannya, hehe.
BalasHapus