Sebetulnya, sebagai muslimah, sampai saat ini saya meyakini bahwa
manusia yang siap dengan nano-nanonya dunia serta pandangan akan kebenaran di
dalamnya akan lebih bisa tenang dan berpikir lebih logis. Dulu saat masih
kuliah, saya menghadapi berbagai dinamika perang pemikiran di antara mahasiswa.
Bergabung dengan LDK tidak menjadikan saya bisa menjawab semua gejolak jiwa
*tsaaah* Yang masih saya ingat adalah idealisme keagamaan dan target kerja
serta romantisme relasi tanpa pacaran yang membuat siapa saja bisa tertawa
mendengar seorang akhwat yang tercebur got saat ghodul bashor dan si ikhwan
yang segan menolong karena tidak mau menyentuhnya. Entah itu mitos atau apaan
sih ? XD
Di titik lainnya, saya ngeri melihat kumpulan mahasiswa pecinta ini itu
yang terlampau bebas bergaul dan begitu bangga dengan kemudaannya. Dia pikir
otaknya demikian canggih bisa membuat mahasiswi klepek-klepek dengan gayanya
beretorika. Lalu perempuan-perempuan itu tersenyum-senyum dan tak sadar jatuh
dalam dominasi maskulin.
Jadi, di mata saya semua capture itu meragukan. Perilaku manusia itu
sendiri selalu meragukan sehingga saya memilih asyik sendiri mencari kebenaran
yang ingin saya tuju. Saya merasa, kebenaran hanya bisa didekati dengan hati
dan pikiran saya sendiri. Perilaku manusia lainnya, salah-salah akan membuat
saya terdistraksi.
http://www.printmag.com/featured/words-and-work-of-stephen-doyle/
Secara
umum saya katakan, bahwa saya mempunyai pandangan tentang kebenaran yang bersifat personal
dan kebenaran yang bersifat absolut. Adapun kebenaran personal ini
sifatnya adalah relatif yang secara otomatis dapat saya katakan sebagai kebenaran relatif. Sedang kebenaran
obsolut ini sifatnya adalah mutlak yang secara otomatis saya katakan kebenaran mutlak.
Bagaimana kebenaran personal itu hadir dan menjadi sebuah keyakinan?
Bayangkan:
- Orang berjalan di depan sebuah benda (obyek) yang tidak ia kenali.
- Kemudian muncul ide-ide dalam pikiran orang itu tentang eksistensi obyek tersebut.
- Orang itu kemungkinan akan mengatakan.. “bisa jadi itu rumah.”... “bisa jadi itu masjid.”.... “ah, mungkin itu warung”...
- Kemudian orang itu memperhatikan sekali lagi dan lantas berteriak dengan lantang “O! Itu masjid!”
- Maka kalimat “O!...” itu adalah keputusan. Dan dari sinilah lahir kebenaran.
- Keputusan “O! Itu masjid!” adalah kepastian menurut orang itu. Jadi kebenaran di sini sifatnya personal.
- Lahir dari sudut pandang pribadi dari hasil internalisasi nilai internal (intuisi) dan eksternal (pengalaman)
http://life-lenses.com/2012/07/03/value-is-defined-by-the-user-a-la-dave-ulrich/
Seseorang yang telah membuat keputusan dan meyakini
kebenaran Allah SWT., maka ia mesti mengikutinya secara kaffah dan itu adalah hak personal. Allah baginya adalah
kebenaran absolut, tidak relatif lagi. Mutlak!
Tapi itu yang berbicara adalah tetap orang itu tadi, bukan orang lain. Orang lain memiliki kebenaran mereka sendiri.
Secara otomatis dia tidak memiliki hak untuk memaksakan kebenarannya pada orang
lain. Itu adalah pendapatnya pribadi.
Saya
tidak akan mempersoalkan perbincangan personal. Atau juga saya tidak ingin
memperdebatkan adanya kehadiran Tuhan
Personal dan Tuhan Absolut serta
siapa menyembah siapa. Lalu jika ada yang bertanya, siapakah Tuhan personal?
Ya, tentu saja segala sesuatu yang
diper-Tuhan-kan oleh Manusia -sebagai person-. Hartapun bisa dijadikan
sebagai Tuhan Personal. Kekuasaanpun bisa dijadikan sebagai Tuhan Personal.
Namun
saya katakan tugas sebagai seorang muslim -yang mempercayai Kebenaran Mutlak
itu adalah Allah, tentu saja harus mengikuti aturanNya! Dengan kesadaran! Bukan paksaan.
Apalagi ikut-ikutan. Maka segala
keyakinan tentang kebenaran Hukum-hukum
Tuhan (Al-Qur’an, Asunnah) syurga,
neraka pun menjadi mutlak! Karena agama ini adalah agama wahyu. Agama
langit. Maka dapat dikatakan seseorang tidak akan memaksakan kebenaran
personal-nya, namun kalaupun ia menyeru dan mengajak manusia lain untuk berada
di jalan Allah, menyeru pada amalan yang ma’ruf nahi munkar serta menegakkan
kalimat Tauhid di muka bumi, bukan berarti orang itu sedang memaksakan
kebenaran versi pribadinya, melainkan itu sesuatu yang memang diperintahkan
oleh Allah (dengan pesanNya dalam surat An-Nahl:125). Ada caranya, tidak garang
begitu saja.
Jika ada
yang menolak hukum-hukum Allah dan menganggap agama ini sebagai ‘organisme’
yang bisa tumbuh dan berkembang (berubah-ubah), maka jika hal itu bertentangan
dengan apa yang telah diwahyukan, maka secara otomatis ia akan menolak
pemikiran tersebut dan melawannya yang jelas-jelas berbeda dengan kebenaran
menurutnya. Salahkah jika seseorang ingin mempertahankan keyakinan dan
kebenarannya? Saya kira tidak! Cuma intermezo saja ya..., seorang penjual kecap
aja pasti akan mempertahankan keyakinannya bahwa kecapnyalah yang paling enak
:D Jujur saja, yang adu otot, baik kebenaran kolektif mayoritas maupun
minoritas, ngga bakal keliatan keren. Apalagi jika mencoba saling bela di antara relatifisme. Duh. Apalagi
hanya karena isu minoritas lalu harus menghembuskan isu humanisme. Duh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar