Sabtu, 17 Oktober 2015

Yakin Benar?

Sebetulnya, sebagai muslimah, sampai saat ini saya meyakini bahwa manusia yang siap dengan nano-nanonya dunia serta pandangan akan kebenaran di dalamnya akan lebih bisa tenang dan berpikir lebih logis. Dulu saat masih kuliah, saya menghadapi berbagai dinamika perang pemikiran di antara mahasiswa. Bergabung dengan LDK tidak menjadikan saya bisa menjawab semua gejolak jiwa *tsaaah* Yang masih saya ingat adalah idealisme keagamaan dan target kerja serta romantisme relasi tanpa pacaran yang membuat siapa saja bisa tertawa mendengar seorang akhwat yang tercebur got saat ghodul bashor dan si ikhwan yang segan menolong karena tidak mau menyentuhnya. Entah itu mitos atau apaan sih ? XD

Di titik lainnya, saya ngeri melihat kumpulan mahasiswa pecinta ini itu yang terlampau bebas bergaul dan begitu bangga dengan kemudaannya. Dia pikir otaknya demikian canggih bisa membuat mahasiswi klepek-klepek dengan gayanya beretorika. Lalu perempuan-perempuan itu tersenyum-senyum dan tak sadar jatuh dalam dominasi maskulin.

Jadi, di mata saya semua capture itu meragukan. Perilaku manusia itu sendiri selalu meragukan sehingga saya memilih asyik sendiri mencari kebenaran yang ingin saya tuju. Saya merasa, kebenaran hanya bisa didekati dengan hati dan pikiran saya sendiri. Perilaku manusia lainnya, salah-salah akan membuat saya terdistraksi.


http://www.printmag.com/featured/words-and-work-of-stephen-doyle/ 

Secara umum saya katakan, bahwa saya mempunyai pandangan tentang kebenaran yang bersifat personal dan kebenaran yang bersifat absolut. Adapun kebenaran personal ini sifatnya adalah relatif yang secara otomatis dapat saya katakan sebagai kebenaran relatif. Sedang kebenaran obsolut ini sifatnya adalah mutlak yang secara otomatis saya katakan kebenaran mutlak.

Bagaimana kebenaran personal itu hadir dan menjadi sebuah keyakinan?

Bayangkan:

  • Orang berjalan di depan sebuah benda (obyek) yang tidak ia kenali.
  • Kemudian muncul ide-ide dalam pikiran orang itu tentang eksistensi obyek tersebut.
  • Orang itu kemungkinan akan mengatakan.. “bisa jadi itu rumah.”... “bisa jadi itu masjid.”.... “ah, mungkin itu warung”...
  • Kemudian orang itu memperhatikan sekali lagi dan lantas berteriak dengan lantang “O! Itu masjid!”
  • Maka kalimat “O!...” itu adalah keputusan. Dan dari sinilah lahir kebenaran.
  • Keputusan “O! Itu masjid!” adalah kepastian menurut orang itu. Jadi kebenaran di sini sifatnya personal.
  • Lahir dari sudut pandang pribadi dari hasil internalisasi nilai internal (intuisi) dan eksternal (pengalaman)


http://life-lenses.com/2012/07/03/value-is-defined-by-the-user-a-la-dave-ulrich/

Seseorang yang telah membuat keputusan dan meyakini kebenaran Allah SWT., maka ia mesti mengikutinya secara kaffah dan itu adalah hak personal. Allah baginya adalah kebenaran absolut, tidak relatif lagi. Mutlak! Tapi itu yang berbicara adalah tetap orang itu tadi, bukan orang lain.  Orang lain memiliki kebenaran mereka sendiri. Secara otomatis dia tidak memiliki hak untuk memaksakan kebenarannya pada orang lain. Itu adalah pendapatnya pribadi.

Saya tidak akan mempersoalkan perbincangan personal. Atau juga saya tidak ingin memperdebatkan adanya kehadiran Tuhan Personal dan Tuhan Absolut serta siapa menyembah siapa. Lalu jika ada yang bertanya, siapakah Tuhan personal? Ya, tentu saja segala sesuatu yang diper-Tuhan-kan oleh Manusia -sebagai person-. Hartapun bisa dijadikan sebagai Tuhan Personal. Kekuasaanpun bisa dijadikan sebagai Tuhan Personal.

Namun saya katakan tugas sebagai seorang muslim -yang mempercayai Kebenaran Mutlak itu adalah Allah, tentu saja harus mengikuti aturanNya! Dengan kesadaran! Bukan paksaan. Apalagi  ikut-ikutan. Maka segala keyakinan tentang kebenaran Hukum-hukum Tuhan (Al-Qur’an, Asunnah) syurga,  neraka pun menjadi mutlak! Karena agama ini adalah agama wahyu. Agama langit. Maka dapat dikatakan seseorang tidak akan memaksakan kebenaran personal-nya, namun kalaupun ia menyeru dan mengajak manusia lain untuk berada di jalan Allah, menyeru pada amalan yang ma’ruf nahi munkar serta menegakkan kalimat Tauhid di muka bumi, bukan berarti orang itu sedang memaksakan kebenaran versi pribadinya, melainkan itu sesuatu yang memang diperintahkan oleh Allah (dengan pesanNya dalam surat An-Nahl:125). Ada caranya, tidak garang begitu saja.

Jika ada yang menolak hukum-hukum Allah dan menganggap agama ini sebagai ‘organisme’ yang bisa tumbuh dan berkembang (berubah-ubah), maka jika hal itu bertentangan dengan apa yang telah diwahyukan, maka secara otomatis ia akan menolak pemikiran tersebut dan melawannya yang jelas-jelas berbeda dengan kebenaran menurutnya. Salahkah jika seseorang ingin mempertahankan keyakinan dan kebenarannya? Saya kira tidak! Cuma intermezo saja ya..., seorang penjual kecap aja pasti akan mempertahankan keyakinannya bahwa kecapnyalah yang paling enak :D Jujur saja, yang adu otot, baik kebenaran kolektif mayoritas maupun minoritas, ngga bakal keliatan keren. Apalagi jika mencoba saling bela di antara relatifisme. Duh. Apalagi hanya karena isu minoritas lalu harus menghembuskan isu humanisme. Duh.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Supporting KEB

Supporting KEB
Kumpulan Emak Blogger

Histats

Histats.com © 2005-2014 Privacy Policy - Terms Of Use - Check/do opt-out - Powered By Histats