Seberapa penting untuk melihat film ke bioskop? Baiklah.
Saya seorang ibu rumah tangga yang juga penulis apa saja. Saya suka bahasa-bahasa
gombal yang cenderung maskulin di film-film komedi romantis *ups* dan tentu
saja, suka jika suami menggamit lengan saya untuk sesekali menonton di bioskop.
Sesekali. Beberapa saudara, kerabat, teman ngeteh, atau teman medsos di
lingkaran hidup saya ternyata suka juga melewatkan waktu untuk menikmati
tayangan film di bioskop. Sesekali. Bahkan ada yang hampir tiap minggu jalan
untuk menonton … sama pacar, mantan pacar, pacarnya mantan, apalah apalah. Artinya,
sebenarnya bioskop masih penting kok :D
sumber: http://www.nyunyu.com/
Masalahnya, mereka menonton film apa? Lokal, luar negeri?
Hmmm. Kebanyakan luar negeri. Lingkaran pertemanan saya adalah ibu-ibu muda dan
juga beberapa bapak muda yang cukup concern dengan dunia parenting
dan masih begitu peduli dengan pengembangan diri. Mereka sangat menghargai
nilai-nilai kemanusiaan, pendidikan, nilai manfaat, hingga nilai-nilai ekonomi
XD Buat apa nonton film di bioskop kalau bisa nonton filmnya di TV? Satu. Buat
apa nonton film yang karakter pemainnya kurang kuat, pengambilan dan kualitas
gambarnya “nggak banget”? Dua. Buat apa nonton film horor, humor ga jelas, dan
film-film cengeng? Tiga. Saya lebih suka baca buku dan saya harus siap kecewa
jika cerita dalam sebuah buku harus diangkat di layar lebar. Saya sering
kehilangan ruh dan detail yang penting. Empat. Saya lebih suka sensasi menonton
film luar negeri daripada film lokal di bioskop. Film Indonesia masih mengikuti selera pasar, kurang riset, kurang serius, kurang fenomenal. Lima.
Kebanyakan teman saya lebih suka menonton
film-film dengan tema humanisme, action, teknologi, konspirasi, dll.
Film yang paling banyak disebut adalah Habibie-Ainun dan Laskar Pelangi. Ada
juga yang menonton Leher Angsa, The Raid, 99 Cahaya di Langit Eropa, Supernova,
Merry Riana, dll.
Saya sendiri melihat bahwa sebenarnya penonton, siapapun itu
–termasuk yang di luar lingkaran pertemanan saya-, tentu memiliki selera
sendiri. Dan sebuah karya -apapun itu- akan memiliki takdirnya sendiri untuk
menjadi sukses atau tidak. Dengan usaha promosi yang sama, bisa saja takdirnya
menjadi berbeda. Bahkan usaha promosi yang hebat bisa saja dikalahkan oleh film
yang tidak memerlukan banyak promosi cerdas, tidak memerlukan diskusi meja
bundar atau kotak atau cuma lesehan di selembar tikar, merumuskan ini-itu.
Takdir karena keadaan yang disebabkan oleh tingkat pendidikan, tingkat
sosial-budaya, apalah apalah.
Pembuat film yang idealis tentu menyadari soal takdir ini.
Mereka rela berjuang mendapatkan ledakan. Namun terkadang menurut saya yang
awam di dunia perfilman, strategi perjuangan mereka terkadang kurang maksimal.
Contohnya film Bombe. Saya baru tahu kalau ada film berjudul Bombe tahun lalu setelah
ada teman yang mengabarkan bahwa ia telah me-review sekuelnya, Dumba-Dumba,
yang akan dijadwalkan untuk tahun 2016, sekitar bulan Maret.
Dua film tersebut menampilkan budaya lokal (Makassar) yang
membawa pesan secara nasional, bahkan kemanusiaan: bahaya permusuhan. Jika film
Bombe didominasi oleh interaksi anak-anak dimana film ini memang memiliki tokoh
anak-anak, pada sekuelnya akan memunculkan hubungan ibu dan anak. Saya berpikir
jika pembuat film ini telah memahami bahwa film mereka memiliki isu yang sangat
seksi di dunia parenting -bahaya permusuhan- yang merupakan bagian dari pendidikan
karakter. Tentu jika isu ini mendapat perhatian dari tokoh “penting” dalam parenting,
yakni ayah dan ibu, saya membayangkan jika perjalanan promosi akan menjadi
lebih lancar: menghubungi seleb emak-emak di Facebook yang follower-nya
ribuan, emak-emak blogger, emak-emak sosmed lainnya. Emak-emak yang
secara polos dan alami suaranya didengar. Oh, jangan lupa juga para seleb
motivator pria idola :D
Perkiraan-perkiraan strategis seperti itu saya yakin juga
sudah menjadi pertimbangan di film-film Indonesia lainnya. Jadi, para sineas tidak
harus pesimis dengan pekerjaannya. Jangan ragu untuk terus berproduksi dengan
sungguh-sungguh sesuai dengan idealisme: dari awal hingga akhir. Beberapa
penonton sudah menunggu karya yang cantik dan berkualitas, baik film serius
maupun yang sekedar hiburan. Agar kami-kami ini mendapat sensasi yang “ehem”
saat menonton film Indonesia di bioskop :D
Jadi, film Indonesia masih laku? Semuanya tergantung pada
Anda, kan?
baru tahu ada film yang judulnya "BOMBE" mbak :)
BalasHapuswaduh, samaan kita, Mbak xixixixixixi
Hapus