Minggu, 08 November 2015

Batik Sebagai Warisan Budaya Tak Benda



Di sebuah kesempatan, saya bersama teman-teman mengunjungi museum tekstil di daerah Tanah Abang, Jakarta Pusat. Asyiknya, pemimpin rombongan kami telah menyiapkan beberapa acara yang diantaranya adalah presentasi dari pakar batik Indonesia serta pelajaran praktek membatik. Awww, senangnya hati saya. Saat pemimpin rombongan bilang kami akan bertemu dengan salah satu pendiri dan kurator museum batik di Pekalongan, saya langsung mengimajinasikan sesosok perempuan Jawa bergelung tekuk polos dengan memakai jarit dan kebaya bersahaja, ciri khas eyang putri jaman dulu.

Saat tiba di museum tekstil, saya menatap sosok perempuan sepuh yang menyambut kami bersama (mungkin) pihak manajemen museum. Sosok itu berambut putih penuh yang digelung menyamping dengan hiasan sebuah bunga kamboja layaknya centerpoint. Ia mengenakan blouse putih sederhana yang trendy dipadu lilitan jarit bermotif mega mendung, motif batik pesisiran Cirebon. Bersahaja tapi good looking. Namanya Ibu Asmoro Damais.

Meski Asmoro itu adalah nama yang Jawa sekali, nyatanya Damais itu adalah nama Perancis. Saya tidak bertemu dengan eyang putri yang sepuh, yang halus, yang cantik dengan hidung kecilnya yang khas Indonesia. Saya bertemu dengan oma cantik yang masih gesit, yang sudah sepuh, yang jago dalam berbagai bahasa, yang hidungnya panjang dan tinggi. Artinya apa? Lagi-lagi saya bertemu bule untuk urusan "memperhatikan budaya bangsa sendiri"!

Tentu, tidak ada yang aneh dengan bule yang mencintai tanah Indonesia, peduli dengan warisan budaya bangsa. Yang sungguh aneh menurut saya adalah orang Indonesia (seperti saya ini) yang bengong dan manggut-manggut saja diterangkan oleh bule tentang budayanya sendiri. She is so inspiring!


Ibu Asmoro Damais (60 tahun lebih) telah mengoleksi batik sejak beliau berumur duapuluhan tahun. Beliau memperkenalkan dan memperlihatkan beberapa koleksi batiknya kepada kami untuk dipelajari serat kainnya, aneka sogan, maupun motif batiknya. Sebagian pekerjaannya pun senada dengan Miss Jinjing. Kalau Miss Jinjing diminta orang untuk melihat koleksi barang-barang branded-nya lalu diminta memilih dan memilah koleksi tas, sepatu, dll. berdasarkan merek, warna, padu padan yang pas, dan juga mana yang sudah harus "dikeluarkan" dari koleksi atau mana yang masih bisa "dirombak" ulang, Ibu Asmoro ini biasa diminta para kolektor batik untuk memilih dan memilah macam batik, jenisnya, motifnya, kualitasnya, kekunoannya, dsb. Beliau juga aktif dalam forum-forum batik dan tekstil di mancanegara, lho!

Di antara obrolan singkat dengan sahabat maestro batik, Iwan Tirta, ini, saya mencatat beberapa hal. Di antaranya adalah soal hak paten batik. Apakah kita telah mendapatkan hak paten dari UNESCO agar tidak bisa diklaim oleh negara lain?

Jawabannya adalah TIDAK. Beliau adalah salah satu tim penggagas pengajuan batik ke UNESCO. Orang kebanyakan sungguh keliru jika merasa batik Indonesia sudah dipatenkan di UNESCO sebab sebuah warisan budaya itu tidak bisa dipatenkan. Mereka hanya mengakui batik sebagai warisan dunia tak benda pada Oktober 2009 dan ikut memfasilitasi pelestariannya jika diperlukan. Tentu saja hal ini sangat diapresiasi oleh anak bangsa dintaranya bisa dibaca di sini.

Sebagian masyarakat agaknya keliru memahami dua hal: bahwa batik bisa dipatenkan dan negara lain, Malaysia misalnya, sudah mengaku-aku batik sebagai warisan budaya mereka. Malaysia memang memiliki batik. Batik itu budaya universal.

"Teknik membatik telah dikenal sejak ribuan tahun yang silam. Tidak ada keterangan sejarah yang cukup jelas tentang asal usul batik. Ada yang menduga teknik ini berasal dari bangsa Sumeria, kemudian dikembangkan di Jawa setelah dibawa oleh para pedagang India. Saat ini batik bisa ditemukan di banyak negara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, India, Sri Lanka, dan Iran. Selain di Asia, batik juga sangat populer di beberapa negara di benua Afrika. Walaupun demikian, batik yang sangat terkenal di dunia adalah batik yang berasal dari Indonesia, terutama dari Jawa," kisah Asmoro Damais. Batik Indonesia sebagai a living art dan kebanggaan bangsa bisa dilihat di sini.

Tentu saja, batik Malaysia itu khas. Batik Malaysia lebih sederhana dan tidak detail. Malaysia juga mempekerjakan orang-orang Indonesia untuk membatik. Tidak bisa disalahkan juga para pembatik yang memilih hijrah ke Malaysia. Bayangkan saja, di Indonesia mereka tidak bisa makan. Selain memiliki nilai filosofi, tentu saja batik memiliki nilai ekonomis. Dari dinamisasi nilai ekonomi itulah para pembatik bisa bertahan hidup. Demikian, masih diceritakan oleh Ibu Asmoro.

Lihat kita sendiri, sejak kapan menyukai batik sehingga batik bisa begitu eksis karena disukai dimana-mana dan mampu menjadi mode yang familiar? Bongkarlah koleksi batik kita dan lihatlah keaslian dan kualitasnya. Jarang kita temui orang banyak berminat dengan batik tulis yang harganya kisaran 1-5jt perkainnya atau bahkan lebih dengan kualitas yang tidak lagi diragukan yang pembuatannya bisa berbulan-bulan bahkan tahun. Atau batik cap yang harganya juga hampir sama. Dengan kualitas bahan yang lumayan dan motif tertentu, batik harga sedang bisa kita koleksi dengan kisaran harga 200 ribu-1 juta? Hmm, cukup mahal bagi kebanyakan. Tapi lihatlah, batik printing yang murah meriah itu bahkan tidak bisa kita ketahui dengan pasti asalnya sebab minimnya wawasan kita akan budaya bangsa sehingga pengrajin batik printing masih harus bersaing dengan batik buatan China. Karena dinamika ekonomi ini juga yang membuat negara-negara seperti Malaysia, Thailand, dan yang lainnya bersemangat mengimpor batik dari Indonesia.

Nah, jangan heran saat jalan-jalan ke Thailand terus nemu kain batik. Terkadang itu bukan produk Thailand asli, itu bikinan Pekalongan. Teman saya saja sempat berpikir kalau Thailand punya batik yang persis sama dengan Pekalongan punya. Tapi, kata Bu Asmoro, kalau motifnya orang-orang bertopi tani atau gajah-gajahan, bisa jadi itu memang batik Thailand.

Hmmm … kaya juga ya cerita dari “perbatikan” ini. Saya sendiri mulai merasakan "ruh" budaya batik saat tangan saya memegang canting dan membubuhkan lilin di atas selembar kain mori yang sudah ada gambar motifnya. Kabarnya, para pembatik profesional sudah tidak memerlukan gambar untuk membatik di atas kain. Mereka sudah hapal dengan sendirinya motif dan pakem batik. Membuat batik yang detail juga sangat lama. Tak jarang, mereka membutuhkan waktu hingga enam bulan atau lebih. Buat saya yang biasa menghitung uang belanja bulanan, pasti tidak lagi merasa heran jika selembar kain batik dihargai lima juta. Bayangkan, mereka membatik selama enam bulan. Bagi saja lima juta itu dengan enam bulan. Hasilnya? Apakah pendapatan pengrajin batik tradisional besar?

Nah, mulai tertarik untuk berbatik ria? Batik tidak hanya dipakai dengan bentuk blouse lengan panjang atau lengan pendek yang kaku, lho, tapi bisa dibentuk dengan berbagai model. Selain lilitan kain sebagai padu padan kebaya atau blouse modern, kita bisa menjahitnya menjadi bawahan yang simpel. Tapi kalau harga kainnya mahal, lebih baik cukup dililit saja ya. Sayang kalau digunting-gunting. Bisa kita wariskan ke anak-cucu suatu saat asal kita mampu merawatnya dengan baik.

Ayo kita hargai budaya bangsa Indonesia!


2 komentar:

  1. Kemarin baruuuu saja saya beli batik yg utk saya memang harganya tidak murah. Agak rumit sih ya saat kita menyandingkan kecintaan pada batik dengan kapabilitas finansial yg hanya berada di taraf tengah2 :) Di satu sisi kita harus mengapresiasi pengrajin batik, tetapi di pihak lain kita juga harus mempertimbangkan prioritas pengeluaran utk memiliki batik tsb.
    Apapun itu, saya sangat mencintai batik Indonesia meskipun belum sanggup beli yg berharga cukup tinggi :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aduuhhh mewakili suara hati saya xixixixixi Terima kasih sudah mampir.

      Hapus

Pengikut

Supporting KEB

Supporting KEB
Kumpulan Emak Blogger

Histats

Histats.com © 2005-2014 Privacy Policy - Terms Of Use - Check/do opt-out - Powered By Histats