Di sebuah kesempatan, saya bersama teman-teman mengunjungi museum tekstil di daerah Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Asyiknya, pemimpin rombongan kami telah menyiapkan beberapa acara yang diantaranya adalah presentasi dari pakar batik Indonesia serta pelajaran
praktek membatik. Awww, senangnya hati saya. Saat pemimpin rombongan bilang
kami akan bertemu dengan salah satu pendiri dan kurator museum batik di Pekalongan, saya langsung mengimajinasikan sesosok perempuan Jawa bergelung
tekuk polos dengan memakai jarit dan kebaya bersahaja, ciri khas eyang putri
jaman dulu.
Saat tiba di
museum tekstil, saya menatap sosok perempuan sepuh yang menyambut kami
bersama (mungkin) pihak manajemen museum. Sosok itu berambut putih penuh yang
digelung menyamping dengan hiasan sebuah bunga kamboja layaknya centerpoint.
Ia mengenakan blouse putih sederhana yang trendy dipadu lilitan jarit
bermotif mega mendung, motif batik pesisiran Cirebon. Bersahaja tapi good looking. Namanya
Ibu Asmoro Damais.
Meski Asmoro itu adalah nama yang Jawa sekali, nyatanya
Damais itu adalah nama Perancis. Saya tidak bertemu dengan eyang putri
yang sepuh, yang halus, yang cantik dengan hidung kecilnya yang khas
Indonesia. Saya bertemu dengan oma cantik yang masih gesit, yang sudah sepuh,
yang jago dalam berbagai bahasa, yang hidungnya panjang dan tinggi. Artinya apa? Lagi-lagi saya bertemu
bule untuk urusan "memperhatikan budaya bangsa sendiri"!
Tentu, tidak
ada yang aneh dengan bule yang mencintai tanah Indonesia, peduli dengan warisan
budaya bangsa. Yang sungguh aneh menurut saya adalah orang Indonesia (seperti
saya ini) yang bengong dan manggut-manggut saja diterangkan oleh bule tentang
budayanya sendiri. She is so
inspiring!
Ibu Asmoro
Damais (60 tahun lebih) telah mengoleksi batik sejak beliau berumur duapuluhan tahun. Beliau memperkenalkan dan
memperlihatkan beberapa koleksi batiknya kepada kami untuk dipelajari serat
kainnya, aneka sogan, maupun motif batiknya. Sebagian pekerjaannya pun senada
dengan Miss Jinjing. Kalau Miss Jinjing diminta orang untuk melihat koleksi
barang-barang branded-nya lalu diminta memilih dan memilah koleksi tas,
sepatu, dll. berdasarkan merek, warna, padu padan yang pas, dan juga mana yang
sudah harus "dikeluarkan" dari koleksi atau mana yang masih bisa
"dirombak" ulang, Ibu Asmoro ini biasa diminta para kolektor batik
untuk memilih dan memilah macam batik, jenisnya, motifnya, kualitasnya,
kekunoannya, dsb. Beliau juga aktif dalam forum-forum batik dan tekstil di
mancanegara, lho!
Di antara
obrolan singkat dengan sahabat maestro batik, Iwan Tirta, ini, saya mencatat
beberapa hal. Di antaranya adalah
soal hak paten batik. Apakah kita telah mendapatkan
hak paten dari UNESCO agar tidak bisa diklaim oleh negara lain?
Jawabannya
adalah TIDAK. Beliau adalah salah satu tim penggagas pengajuan batik ke UNESCO. Orang
kebanyakan sungguh keliru jika merasa batik Indonesia sudah dipatenkan di
UNESCO sebab sebuah warisan budaya itu tidak bisa dipatenkan. Mereka hanya
mengakui batik sebagai warisan dunia tak benda pada Oktober 2009 dan ikut memfasilitasi
pelestariannya jika diperlukan. Tentu saja hal ini sangat diapresiasi oleh anak bangsa dintaranya bisa dibaca di sini.
Sebagian masyarakat agaknya
keliru memahami dua hal: bahwa batik bisa dipatenkan dan negara lain, Malaysia misalnya, sudah
mengaku-aku batik sebagai warisan budaya mereka. Malaysia memang memiliki batik. Batik itu budaya
universal.
"Teknik
membatik telah dikenal sejak ribuan tahun yang silam. Tidak ada keterangan
sejarah yang cukup jelas tentang asal usul batik. Ada yang menduga teknik ini
berasal dari bangsa Sumeria, kemudian dikembangkan di Jawa setelah dibawa oleh
para pedagang India. Saat ini batik bisa ditemukan di banyak negara seperti
Indonesia, Malaysia, Thailand, India, Sri Lanka, dan Iran. Selain di Asia,
batik juga sangat populer di beberapa negara di benua Afrika. Walaupun
demikian, batik yang sangat terkenal di dunia adalah batik yang berasal dari
Indonesia, terutama dari Jawa," kisah Asmoro Damais. Batik Indonesia sebagai a
living art dan kebanggaan bangsa bisa dilihat di sini.
Tentu saja,
batik Malaysia itu khas. Batik Malaysia lebih sederhana dan tidak detail. Malaysia
juga
mempekerjakan orang-orang Indonesia untuk membatik. Tidak bisa disalahkan juga
para pembatik yang memilih hijrah ke Malaysia. Bayangkan saja, di Indonesia
mereka tidak bisa makan. Selain memiliki nilai filosofi, tentu saja batik
memiliki nilai ekonomis. Dari dinamisasi nilai ekonomi itulah para pembatik
bisa bertahan hidup. Demikian, masih
diceritakan oleh Ibu Asmoro.
Lihat kita
sendiri, sejak kapan menyukai batik sehingga batik bisa begitu eksis karena
disukai dimana-mana dan mampu menjadi mode yang familiar? Bongkarlah koleksi
batik kita dan lihatlah keaslian dan kualitasnya. Jarang kita temui orang
banyak berminat dengan batik tulis yang harganya kisaran 1-5jt perkainnya atau
bahkan lebih dengan kualitas yang tidak lagi diragukan yang pembuatannya bisa
berbulan-bulan bahkan tahun. Atau batik cap yang harganya juga hampir sama.
Dengan kualitas bahan yang lumayan dan motif tertentu, batik harga sedang bisa
kita koleksi dengan kisaran harga 200 ribu-1 juta? Hmm, cukup mahal bagi kebanyakan. Tapi lihatlah, batik printing yang
murah meriah itu bahkan tidak bisa kita ketahui dengan pasti asalnya sebab
minimnya wawasan kita akan budaya bangsa sehingga pengrajin batik printing
masih harus bersaing dengan batik buatan China. Karena dinamika ekonomi ini
juga yang membuat negara-negara seperti Malaysia, Thailand, dan yang lainnya
bersemangat mengimpor batik dari Indonesia.
Nah, jangan
heran saat jalan-jalan
ke Thailand terus nemu kain batik. Terkadang
itu bukan produk Thailand asli, itu bikinan Pekalongan.
Teman saya saja sempat berpikir kalau Thailand punya batik yang persis sama
dengan Pekalongan punya. Tapi, kata Bu Asmoro, kalau motifnya orang-orang
bertopi tani atau gajah-gajahan, bisa jadi itu memang batik Thailand.
Hmmm … kaya juga ya cerita dari “perbatikan” ini. Saya
sendiri mulai merasakan "ruh" budaya batik saat tangan saya memegang
canting dan membubuhkan lilin di atas selembar kain mori yang sudah ada gambar
motifnya. Kabarnya, para pembatik profesional sudah tidak memerlukan gambar
untuk membatik di atas kain. Mereka sudah hapal dengan sendirinya motif dan
pakem batik. Membuat batik yang detail juga sangat lama. Tak jarang, mereka
membutuhkan waktu hingga enam bulan atau lebih. Buat saya yang biasa menghitung
uang belanja bulanan, pasti tidak lagi merasa heran jika selembar kain batik
dihargai lima juta. Bayangkan, mereka membatik selama enam bulan. Bagi saja
lima juta itu dengan enam bulan. Hasilnya? Apakah pendapatan pengrajin batik tradisional besar?
Nah, mulai tertarik untuk
berbatik ria? Batik tidak hanya dipakai dengan bentuk blouse lengan
panjang atau lengan pendek yang kaku, lho, tapi bisa dibentuk dengan berbagai model. Selain lilitan kain sebagai padu padan kebaya
atau blouse modern, kita bisa menjahitnya menjadi bawahan yang simpel. Tapi
kalau harga kainnya mahal, lebih baik cukup dililit saja ya. Sayang kalau
digunting-gunting. Bisa kita wariskan ke anak-cucu suatu saat asal kita mampu
merawatnya dengan baik.
Ayo kita hargai
budaya bangsa Indonesia!
Kemarin baruuuu saja saya beli batik yg utk saya memang harganya tidak murah. Agak rumit sih ya saat kita menyandingkan kecintaan pada batik dengan kapabilitas finansial yg hanya berada di taraf tengah2 :) Di satu sisi kita harus mengapresiasi pengrajin batik, tetapi di pihak lain kita juga harus mempertimbangkan prioritas pengeluaran utk memiliki batik tsb.
BalasHapusApapun itu, saya sangat mencintai batik Indonesia meskipun belum sanggup beli yg berharga cukup tinggi :)
Aduuhhh mewakili suara hati saya xixixixixi Terima kasih sudah mampir.
Hapus