Pagi itu saat sedang duduk di depan standing stove
menunggui schotel yang mulai terpanggang, saya merasakan kesunyian yang
merangkul tubuh. Beberapa waktu lalu saya masih merasakan sibuk dan ramai
dengan suara suami juga anak-anak. Suami
yang cemberut dan beraksi diam seribu bahasa jika saya memilih hape dan
mengacuhkannya, yang membuat saya segera meletakkan dan berlari untuk
melayaninya. Sayalah yang menjadi pusat perhatian saat harus melenggang kesana kemari
menyiapkan sarapan ataupun seragam. Sayalah yang mengomel saat anak-anak susah
dibangunkan, saat anak-anak kurang sabar menunggu untuk dilayani, saat ayah
mereka juga ribut menanyakan sesuatu sampai ribut merayu sesuatu. *ehem* Saya kadang
berpikir, suara saya sepertinya yang paling ramai di rumah ini. Lalu semua
mendadak sepi. Hanya saya dan balita, si bungsu, yang asyik bermain boneka di
samping saya.
Zuppa Soup: breakfast?
(dok. pribadi)
Bagaimana seandainya saya juga meninggalkan rumah dan
bergabung dengan aktifitas di luar sana? Bergabung dengan para pekerja? Apakah
hidup saya akan selalu ramai tanpa ada jeda yang demikian sunyi?
Hidup saya tidak selalu cerah ceria dengan baju-tas-sepatu
indah dan aroma tubuh yang wangi seperti banyak wanita lainnya. Dan
bertemu dengan banyak lelaki yang juga “mampu berpakaian dengan benar”. *coret*
XD Tidaklah semeriah kehidupan luar yang hiruk
pikuk dengan umpatan atau tawa. Hidup saya tiap pagi bahkan adalah rutinitas
ibu bergamis daster yang mengantar anaknya ke sekolah dan berharap tidak
bertemu “orang penting” selama perjalanan itu karena, sungguh, saya malas
sekali melakukan upacara mandi sebelum keluar rumah di mana setelahnya saya
harus ngepel atau menggosok kamar mandi. Saya
tidak mau dianggap sebagai social climber saat mereka membandingkan
daster saya dengan outfit saat saya duduk santai, ngeteh cantik, di
sebuah kedai kopi sejuta umat berkelas internasional. Hidup saya tidak se”memaksa” itu, for your info :p
Belasan tahun lalu, mungkin saya pernah memimpikan hiruk pikuk seperti itu. Menjadi wanita pekerja yang sibuk. Memiliki self-achievement “yang tinggi”, bargaining “yang
tinggi”, apalah apalah. Tapi ternyata pernikahan saya memberikan jalan yang berbeda.
Saya seperti terciptakan untuk mendampingi lelaki yang menyukai peran saya di
rumah. Saya teringat bagaimana saya harus mulai belajar mengurus rumah selepas
pernikahan kami. Hingga bertahun-tahun kemudian seiring kehadiran anak-anak,
saya mulai bersetia untuk memberikan pendampingan terbaik. Hingga saya “menyadari” sesuatu … “apa sih definisi self-achievement”.
Ini selalu tentang diri saya sendiri, di mana pun saya menjejak.
Ya, hidup saya terlihat begitu sederhana dengan
peran domestik ini. Jauh dari apa yang disebut kerumitan dunia publik. Tapi
saya merasa dari dalam rumah inilah saya bisa menampilkan seorang suami yang
bahagia agar bisa berperan maksimal dalam pelayanannya untuk masyarakat. Dari
dalam rumah ini pula saya akan mengantarkan tiga anak yang kelak akan menjadi
hebat dengan apapun profesinya kelak. Dari
rumah ini, saya menjadi diri saya sendiri.
Apakah saya bisa meyakinkan diri bahwa di luar sana
orang-orang tidak pernah merasai kesunyian? Bukankah ramai dan sunyi akan
selalu hadir silih berganti seperti keseimbangan yang selalu hadir dalam dunia
ini? Meski jauh dari keramaian, saya bisa merasakan kebahagiaan. Meskipun
kadang kesunyian menyapa, saya selalu yakin bahwa rumah ini akan segera kembali
ramai dan bersinar oleh tawa dan teriakan anak-anak serta suami. Hingga hal yang paling sederhana dan tampak remeh sekalipun: saat mereka berteriak lapar dan tersenyum mencari
saya. Dunia terasa penuh saat saya bisa memberikan sajian yang selalu membuat
mereka terpesona. Mereka bisa jatuh cinta berkali-kali pada saya.
Ah! Schotel saya telah matang rupanya. Tampak
nikmat sekali! Sumber tenaga dan kebahagiaan bagi kehidupan di muka bumi ini. Hahahahaha.
Pai Skotel
(dok. pribadi)
Saya juga dulu pernah merasakan ingin berada di hiruk pikuknya dunia luar.
BalasHapusWell, tulisan ini merepresentasikan saya juga, terima kasih sudah berkenan menulis dan berbagi.
Terima kasih kembali, Bun ^^ Terima kasih berkenan membaca.
HapusSelalu suka dg tulisannya dan ini menyemangati hari2 berdaster saya :)
BalasHapusTerima kasih, Bu Murti ^^
HapusMau Resep schotelnya :D
BalasHapusHidup itu pilihan, mau seperti apa, kita sendiri yang menentukan, karena masing-masing punya jalannya.
Yang penting ya self achievement itu :)
Betul, Buuuun ^^ Sepakat pake bingit. Terima kasih sudah mampir. Resep skotelnya susah juga ya menjelaskan sebab sering tidak memakai takaran pasti XD
HapusIdem mba, saya juga tipikal males mandi dan males keluar. Tapi ga menolak diajak keluar kalo ada yg mentraktir :D secara ibu rumah tangga wajib berhemat mendekati masa pensiun suami yang tinggal sepuluh tahun lagi :D Btw saya suka sunyi, saat sunyi saya bisa menelaah apa saya mulai tersesat dibelantara dunia atau masih mendamba akhirat. Atau malah merindu kopdar dengan mba di tulung agung ...hahaha
BalasHapuswah ... satu budaya nih xixixixixi budaya males mandi, males keluar, mau ditraktir, suka sunyi. Btw, kenal Tulungagung juga? Asyiiiik. Salam kenal.
Hapus