Untuk kesekian kali, seorang ibu-ibu
membuat status, mengaku merasa muak, jijik, apalah apalah dengan atraksi “pamer kemesraan” pasangan
suami-istri di Facebook atau media sosial lainnya. Kalau sudah gini, saya bakal
langsung liat profilnya XD Statusnya sangat emosional sekali, tuduh sana-sini,
yang membuat amukan kata-katanya itu terlihat seksi untuk dibaca XD Sejak malam
tadi hingga pagi ini, status si ibu jadi rumpian hangat.
by Henry Parsinia
Saya sendiri terus terang tidak pandai
menilai diri sendiri, apakah saya adalah jenis pengguna medsos yang suka pamer
kemesraan atau tidak? Hanya orang-orang yang bisa menilainya. Nah, orang-orang
di luar diri saya! Got it? Karena mereka punya persepsi, punya imajinasi,
akhirnya mereka melahirkan ide untuk merasa bisa menilai saya. Saya sendiri merasa
semacam … really? Aduh, maaf banget kalau dianggap pamer. Maaf banget
kalau seandainya apa yang pernah saya posting mengenai suami adalah hal
yang termasuk pamer.
Ajaib, saat orang di luar diri saya mengetahui apa yang
ada di dalam hati saya. Tapi itu hak, lho. Hak orang yang membaca dan melihat.
Hak. Oke. Itu personal. Itu subyektif. Setiap orang menghargai hak
masing-masing. Saya tidak menyangkal pendapat mereka terlepas benar atau salah,
terlepas melukai saya atau tidak, terlepas melukai orang lain atau tidak. Saya
tidak pernah ingin menyangkal subyektifitas. Ya sudah … orang menilai kita
begini-begitu, apa bisa dibendung? XD
Lalu, apa yang obyektif? Baiklah.
1.
Saya mencoba bertanya, apa sih contoh
pamer kemesraan itu?
2.
Saya langsung buka kamus KBBI XD dan
mencari kata “pamer”.
Jawaban:
1.
Contoh pamer
kemesraan:
Istri: -nulis
di wall- Darliiing, pulang hari apa dari Paris? Kangen, nih. Oh ya, jangan lupa
bawain Louis Vuitton yang kemarin udah gue kirim fotonya yaaa.
Suami: -bales di wall juga- Soon, Ubiiiii *si istri panggilannya Ubi*. Kangen juga, nih. Gue udah beliin, tenang ajaaa.
Suami: -bales di wall juga- Soon, Ubiiiii *si istri panggilannya Ubi*. Kangen juga, nih. Gue udah beliin, tenang ajaaa.
Istri: Can’t
hardly wait. Ga bisa bobo ga ada elu.
Suami: Sama,
Bi. Sehati deh kita.
Status Istri: Alhamdulillah
… pulang kerja abi rela bantuin aku nyuci piring yang dari tadi siang tertunda
plus pijitin kakiku yang terasa pegal-pegal.
Ana uhibbuka, yaa Aziziy …. <3
Bikin mual? :D
Tapi kalau yang
di bawah ini dianggap asyik-asyik aja, bukan jenis pamer kemesraan:
2.
pamer/pa·mer/ /pamér/ v menunjukkan
(mendemonstrasikan) sesuatu yang dimiliki kepada orang lain dengan maksud
memperlihatkan kelebihan atau keunggulan untuk menyombongkan diri
Melihat definisi ini, tiga captured
yang ada di nomor 1 itu sama-sama menunjukkan (mendemonstrasikan) sesuatu yang
dimiliki kepada orang lain. Titik. Nah, apakah dengan maksud memperlihatkan
kelebihan atau keunggulan untuk menyombongkan diri? Hanya mereka yang tahu. Kita
jangan coba berimajinasi. At least, kalau mau ada toleransi, hanya
orang-orang terdekat (sangat dekat) mereka yang mengetahui betul kepribadian
mereka yang bisa menilai. Itu pun bisa pernah keliru. Orang yang sekedar
membaca di medsos? Aduh, jangan bercanda.
Tambahan lagi, ada kalanya dari kaum yang
mengaku muak dengan adegan pamer ini mengaitkan hal-hal seperti ini dengan
kecemburuan sosial. Saya mati kutu untuk mengajinya. Tolong bantu saya.
cemburu/cem·bu·ru/ a
1 merasa tidak atau kurang senang melihat orang lain beruntung dan
sebagainya; sirik: ia -- melihat madunya berjalan berduaan dengan suaminya;
2 kurang percaya; curiga (karena iri hati): istrinya selalu -- kalau
suaminya pulang terlambat;
-- buta sangat cemburu
Dari kata “cemburu” saja, jelas itu kerja
subyektif. Bagaimana bisa menemukan sesuatu yang obyektif? Bisa, kalau diadakan konsensus, atau paling ngga polling atau voting lah … Mungkin?
Ini, masih, tentang diri kita sendiri.
Kita yang bisa mengontrol diri kita sendiri. Orang lain? Nggak. Apa iya dengan
mudahnya seseorang akan dituduh telah memancing perbuatan dosa orang lain hanya
karena ia korban persepsi dan imajinasi?
Contoh:
A posting dialog dia dengan suami di
Facebook yang mesra. B muak membacanya karena gara-gara status A, temannya si C
menjadi menuntut suaminya berbuat hal yang sama dengan suami A. Coba kalau A
tidak sering posting hal-hal seperti itu, C mungkin tidak akan terlalu ngenes.
WOW!
Sampai kapan akan berusaha membendung A
yang di dunia ini ngga cuma 1, B di dunia ini yang ngga cuma 1, C di dunia ini
yang jugaaa ngga cuma 1. Ladies, just be awesome!
Ada seorang teman, dan tidak sedikit yang
senada, yang mengatakan bahwa dia justru lebih suka jika pernikahan diekspose
secara positif, bahwa pernikahan selalu ada sisi terindah. Agar sebuah
pernikahan tidaklah terkesan mengerikan. Ini bukan soal saya setuju atau tidak
dengan pendapat ini. Tapi semua pendapat selalu memiliki pro-kontra, secara
subyektif bisa dianggap merusak atau bahkan memotivasi. Misal,kalau yang membaca
adalah seorang istri yang sedang terpuruk, bisa saja ia menjadi teriritasi.
Kalau yang membaca adalah wanita tipe "maskulin", bisa saja itu "nggak banget". Tapi kalau yang membaca adalah seorang jomblo mapan yang enggan menikah, mungkin bisa
menggerakkan hatinya. Bahkan, pasutri yang sedang diambang perceraian bisa saja
mengambil sisi positif bahwa captured-captured manis itu mengingatkan
bahwa mereka dahulu pernah saling memuji hingga akhirnya memutuskan untuk
bersatu. Saya dan Anda punya perspektif yang lain barangkali?
Jadi, salah mengingatkan orang lain untuk
lebih menjaga perilaku di medsos? Ngga salah, dong. Bukankah saya sendiri –tulisan
ini- juga dalam rangka mengingatkan perilaku bermedsos? Tapi yang merepotkan
adalah jika ada embel-embel “agar tidak saling menyakiti”. Mungkinkah? Karena
sebab-akibat itu selalu seperti duluan mana ayam-telur ^^ Dan juga yang paling
merepotkan adalah, jika bahasa yang digunakan untuk mengingatkan adalah bahasa
yang emosional dan demikian panas karena terlalu seksi tuduh sana-sini sesuka
hati. Bahasa menyerang. Saya pun bisa menjadi teriritasi membacanya meskipun
niat itu mungkin baik. Semangatnya tentu adalah watawwa shoubil haq wa shobr …
wa shobr … wa shobr … *echoing* :D
Yang capture foto Kang Emil dan balesan Teh Ata mah bukan supporting karier....tapi pemancing nyengir di pagi hari. Yg kulihat supporting itu foto2 mereka yg lain, termasuk waktu nemenin nonton Persib 😁
BalasHapusSiap, Teh. Udah diedit, maaf ^^ Tadi saya bacanya sebagai satu kesatuan maksud. Mungkin saya salah menginterpretasi :D Nah, begini aja saya bisa salah XD
BalasHapuskalau suami istri yang pasang status mesra-mesraan mungkin masih bisa dimaklumi mbak, tapi kadang di wall fbq muncul status anak sekolahan yang mesra-mesraan dengan pacarnya dan saling memanggil dengan sebutan mama papa :(
BalasHapusHiks ... mengkhawatirkan, Mbak, kalau yang itu. Ikut sedih bacanya.
Hapusdulu awal kami menikah, suami sering bgt ngegombal di Fb. temen2ku pada protes karena geleuh (bahasa halusnya jijik. hihi).
BalasHapuskami pun sempat berdebat. saya ga suka dia pamer. sementara dia berniat menginspirasi.
untunglah skrg gak pernah lagi. hehehe
Ga pernah lagi digombalin di FB maksudnya? :D Mungkin dosisnya ya, Bun? Xixixixixixi Memang maksud dan cara orang menerima bisa beda2.
HapusBiasanya di rmh krg dpt perhatian suami #Mungkin
BalasHapusXixixixixixixi semua memang serba mungkin, Mbak
HapusPasang foto suami istri --> pamer kemesraan
BalasHapusPasang foto anak --> eksploitasi anak
Pasang foto rumah, Mobil, benda berharga --> pamer harta
Pusing kalau kita terlalu mikirin postingan orang lain, mending tutup aja facebooknya, hahaha...
Apa yang ada di pikiran kita gak sama dengan pikiran orang lain.
Nah lho ... jadi berasa ribet ya, Mbak Ela xixixixixixi
HapusKita memang tidak bisa memuaskan hati setiap orang ya, Mbak :D
BalasHapusSiaaap! Betul sekali :D :D :D
HapusPamer atau ngga sih menurut aku bisa dirasakan feelnya pas baca tulisannya. Kadang kalo bocah2 sekolah udah pada PDA (public display affection) atau manggil papah-mamah umi-abi juga udh eneg bacanya. Trus pamer ato ngga-nya, IMHO, juga bisa dilihat dari subjek yang bicara, misal kalo Mario Teguh yang ngomong atau nulis juga kayaknya kesannya romantis...
BalasHapusNah ... para tokoh/figur yang karakter publiknya sudah terbentuk ikut memengaruhi cara kita memandangnya ya, Mbak ^^
HapusTulisan Mbak Santy ini mengangkat topik ringan, tapi penyajiannya sedikit ilmiah karena membahas definisi untuk menyamakan persepsi ^_^
BalasHapusIya, Mas Ko. Mencoba untuk bersama-sama berpikir obyektif dengan menyamakan persepsi dulu *tsaaah ^^
Hapusxixixi banyak yg baper sih ya di sosmed. padahal ya memang seperti itu karakteristik sosmed, siapa yang berhak jadi polisinya?. ya udahlah dibawa nyantai aja, kalo semua dipikirin udah ga usah bersosmed ria, nulis diary aja ^_^
BalasHapusXixixixixixi Kalau nulis diary lebih bebas dan sesuai isi hati ya, Mbak Windi.
Hapus