Rabu, 11 November 2015

Pamer Kemesraan di Medsos :D



Untuk kesekian kali, seorang ibu-ibu membuat status, mengaku merasa muak, jijik, apalah apalah  dengan atraksi “pamer kemesraan” pasangan suami-istri di Facebook atau media sosial lainnya. Kalau sudah gini, saya bakal langsung liat profilnya XD Statusnya sangat emosional sekali, tuduh sana-sini, yang membuat amukan kata-katanya itu terlihat seksi untuk dibaca XD Sejak malam tadi hingga pagi ini, status si ibu jadi rumpian hangat.

by Henry Parsinia


Saya sendiri terus terang tidak pandai menilai diri sendiri, apakah saya adalah jenis pengguna medsos yang suka pamer kemesraan atau tidak? Hanya orang-orang yang bisa menilainya. Nah, orang-orang di luar diri saya! Got it? Karena mereka punya persepsi, punya imajinasi, akhirnya mereka melahirkan ide untuk merasa bisa menilai saya. Saya sendiri merasa semacam … really? Aduh, maaf banget kalau dianggap pamer. Maaf banget kalau seandainya apa yang pernah saya posting mengenai suami adalah hal yang termasuk pamer.

Ajaib, saat  orang di luar diri saya mengetahui apa yang ada di dalam hati saya. Tapi itu hak, lho. Hak orang yang membaca dan melihat. Hak. Oke. Itu personal. Itu subyektif. Setiap orang menghargai hak masing-masing. Saya tidak menyangkal pendapat mereka terlepas benar atau salah, terlepas melukai saya atau tidak, terlepas melukai orang lain atau tidak. Saya tidak pernah ingin menyangkal subyektifitas. Ya sudah … orang menilai kita begini-begitu, apa bisa dibendung? XD


Lalu, apa yang obyektif? Baiklah.
1.
Saya mencoba bertanya, apa sih contoh pamer kemesraan itu?
2.
Saya langsung buka kamus KBBI XD dan mencari kata “pamer”.



Jawaban:
1.
Contoh pamer kemesraan:

Istri: -nulis di wall- Darliiing, pulang hari apa dari Paris? Kangen, nih. Oh ya, jangan lupa bawain Louis Vuitton yang kemarin udah gue kirim fotonya yaaa.
Suami: -bales di wall juga- Soon, Ubiiiii *si istri panggilannya Ubi*. Kangen juga, nih. Gue udah beliin, tenang ajaaa.
Istri: Can’t hardly wait. Ga bisa bobo ga ada elu.
Suami: Sama, Bi. Sehati deh kita.

Status Istri: Alhamdulillah … pulang kerja abi rela bantuin aku nyuci piring yang dari tadi siang tertunda plus pijitin kakiku yang terasa pegal-pegal.  Ana uhibbuka, yaa Aziziy …. <3

Bikin mual? :D

Tapi kalau yang di bawah ini dianggap asyik-asyik aja, bukan jenis pamer kemesraan:

Istri Bapak Ridwan Kamil mengomentari tweet suami beliau di medsos (public) yang sedang "berpidato":



2.
pamer/pa·mer/ /pamér/ v menunjukkan (mendemonstrasikan) sesuatu yang dimiliki kepada orang lain dengan maksud memperlihatkan kelebihan atau keunggulan untuk menyombongkan diri

Melihat definisi ini, tiga captured yang ada di nomor 1 itu sama-sama menunjukkan (mendemonstrasikan) sesuatu yang dimiliki kepada orang lain. Titik. Nah, apakah dengan maksud memperlihatkan kelebihan atau keunggulan untuk menyombongkan diri? Hanya mereka yang tahu. Kita jangan coba berimajinasi. At least, kalau mau ada toleransi, hanya orang-orang terdekat (sangat dekat) mereka yang mengetahui betul kepribadian mereka yang bisa menilai. Itu pun bisa pernah keliru. Orang yang sekedar membaca di medsos? Aduh, jangan bercanda.

Tambahan lagi, ada kalanya dari kaum yang mengaku muak dengan adegan pamer ini mengaitkan hal-hal seperti ini dengan kecemburuan sosial. Saya mati kutu untuk mengajinya. Tolong bantu saya.

cemburu/cem·bu·ru/ a 1 merasa tidak atau kurang senang melihat orang lain beruntung dan sebagainya; sirik: ia -- melihat madunya berjalan berduaan dengan suaminya; 2 kurang percaya; curiga (karena iri hati): istrinya selalu -- kalau suaminya pulang terlambat;
-- buta sangat cemburu

Dari kata “cemburu” saja, jelas itu kerja subyektif. Bagaimana bisa menemukan sesuatu yang obyektif? Bisa, kalau diadakan konsensus, atau paling ngga polling atau voting lah … Mungkin?

Ini, masih, tentang diri kita sendiri. Kita yang bisa mengontrol diri kita sendiri. Orang lain? Nggak. Apa iya dengan mudahnya seseorang akan dituduh telah memancing perbuatan dosa orang lain hanya karena ia korban persepsi dan imajinasi?

Contoh:
A posting dialog dia dengan suami di Facebook yang mesra. B muak membacanya karena gara-gara status A, temannya si C menjadi menuntut suaminya berbuat hal yang sama dengan suami A. Coba kalau A tidak sering posting hal-hal seperti itu, C mungkin tidak akan terlalu ngenes.

WOW!
Sampai kapan akan berusaha membendung A yang di dunia ini ngga cuma 1, B di dunia ini yang ngga cuma 1, C di dunia ini yang jugaaa ngga cuma 1. Ladies, just be awesome!

Ada seorang teman, dan tidak sedikit yang senada, yang mengatakan bahwa dia justru lebih suka jika pernikahan diekspose secara positif, bahwa pernikahan selalu ada sisi terindah. Agar sebuah pernikahan tidaklah terkesan mengerikan. Ini bukan soal saya setuju atau tidak dengan pendapat ini. Tapi semua pendapat selalu memiliki pro-kontra, secara subyektif bisa dianggap merusak atau bahkan memotivasi. Misal,kalau yang membaca adalah seorang istri yang sedang terpuruk, bisa saja ia menjadi teriritasi. Kalau yang membaca adalah wanita tipe "maskulin", bisa saja itu "nggak banget". Tapi kalau yang membaca adalah seorang jomblo mapan yang enggan menikah, mungkin bisa menggerakkan hatinya. Bahkan, pasutri yang sedang diambang perceraian bisa saja mengambil sisi positif bahwa captured-captured manis itu mengingatkan bahwa mereka dahulu pernah saling memuji hingga akhirnya memutuskan untuk bersatu. Saya dan Anda punya perspektif yang lain barangkali?

Jadi, salah mengingatkan orang lain untuk lebih menjaga perilaku di medsos? Ngga salah, dong. Bukankah saya sendiri –tulisan ini- juga dalam rangka mengingatkan perilaku bermedsos? Tapi yang merepotkan adalah jika ada embel-embel “agar tidak saling menyakiti”. Mungkinkah? Karena sebab-akibat itu selalu seperti duluan mana ayam-telur ^^ Dan juga yang paling merepotkan adalah, jika bahasa yang digunakan untuk mengingatkan adalah bahasa yang emosional dan demikian panas karena terlalu seksi tuduh sana-sini sesuka hati. Bahasa menyerang. Saya pun bisa menjadi teriritasi membacanya meskipun niat itu mungkin baik. Semangatnya tentu adalah watawwa shoubil haq wa shobr … wa shobr … wa shobr … *echoing* :D

18 komentar:

  1. Yang capture foto Kang Emil dan balesan Teh Ata mah bukan supporting karier....tapi pemancing nyengir di pagi hari. Yg kulihat supporting itu foto2 mereka yg lain, termasuk waktu nemenin nonton Persib 😁

    BalasHapus
  2. Siap, Teh. Udah diedit, maaf ^^ Tadi saya bacanya sebagai satu kesatuan maksud. Mungkin saya salah menginterpretasi :D Nah, begini aja saya bisa salah XD

    BalasHapus
  3. kalau suami istri yang pasang status mesra-mesraan mungkin masih bisa dimaklumi mbak, tapi kadang di wall fbq muncul status anak sekolahan yang mesra-mesraan dengan pacarnya dan saling memanggil dengan sebutan mama papa :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hiks ... mengkhawatirkan, Mbak, kalau yang itu. Ikut sedih bacanya.

      Hapus
  4. dulu awal kami menikah, suami sering bgt ngegombal di Fb. temen2ku pada protes karena geleuh (bahasa halusnya jijik. hihi).

    kami pun sempat berdebat. saya ga suka dia pamer. sementara dia berniat menginspirasi.

    untunglah skrg gak pernah lagi. hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ga pernah lagi digombalin di FB maksudnya? :D Mungkin dosisnya ya, Bun? Xixixixixixi Memang maksud dan cara orang menerima bisa beda2.

      Hapus
  5. Biasanya di rmh krg dpt perhatian suami #Mungkin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Xixixixixixixi semua memang serba mungkin, Mbak

      Hapus
  6. Pasang foto suami istri --> pamer kemesraan
    Pasang foto anak --> eksploitasi anak
    Pasang foto rumah, Mobil, benda berharga --> pamer harta
    Pusing kalau kita terlalu mikirin postingan orang lain, mending tutup aja facebooknya, hahaha...
    Apa yang ada di pikiran kita gak sama dengan pikiran orang lain.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah lho ... jadi berasa ribet ya, Mbak Ela xixixixixixi

      Hapus
  7. Kita memang tidak bisa memuaskan hati setiap orang ya, Mbak :D

    BalasHapus
  8. Pamer atau ngga sih menurut aku bisa dirasakan feelnya pas baca tulisannya. Kadang kalo bocah2 sekolah udah pada PDA (public display affection) atau manggil papah-mamah umi-abi juga udh eneg bacanya. Trus pamer ato ngga-nya, IMHO, juga bisa dilihat dari subjek yang bicara, misal kalo Mario Teguh yang ngomong atau nulis juga kayaknya kesannya romantis...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah ... para tokoh/figur yang karakter publiknya sudah terbentuk ikut memengaruhi cara kita memandangnya ya, Mbak ^^

      Hapus
  9. Tulisan Mbak Santy ini mengangkat topik ringan, tapi penyajiannya sedikit ilmiah karena membahas definisi untuk menyamakan persepsi ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mas Ko. Mencoba untuk bersama-sama berpikir obyektif dengan menyamakan persepsi dulu *tsaaah ^^

      Hapus
  10. xixixi banyak yg baper sih ya di sosmed. padahal ya memang seperti itu karakteristik sosmed, siapa yang berhak jadi polisinya?. ya udahlah dibawa nyantai aja, kalo semua dipikirin udah ga usah bersosmed ria, nulis diary aja ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Xixixixixixi Kalau nulis diary lebih bebas dan sesuai isi hati ya, Mbak Windi.

      Hapus

Pengikut

Supporting KEB

Supporting KEB
Kumpulan Emak Blogger

Histats

Histats.com © 2005-2014 Privacy Policy - Terms Of Use - Check/do opt-out - Powered By Histats