Minggu, 29 November 2015

Perempuan yang Menari


Miki de Goodaboom 2010

Mataku terpaku pada sesosok perempuan yang memesona. Pancaran auranya begitu gemerlap. Kecantikan wajah-wajah pesolek Italia takkan mampu menyainginya. Seluruh isi Palazzo Venier dei Leoni takkan bisa merebut pesonanya. Perempuan ini sungguh mengusik pikiranku. Kukatakan demikian karena memang ada sesuatu yang layak untuk dipikirkan.
Ruang-ruang otakku selalu terbuka. Menganga bagai menanti di ujung tangga, bersiap menyerahkan keseluruhan isi hanya untuk memikirkannya. Dan keajaiban pesona perempuan itu meluncur menuruni anak-anak tangga. Menerobos masuk ke otakku tanpa meninggalkan celah-celah kosong. Syaraf mataku menegang seketika.
Ia gemar menari. Mengikuti alunan klasik yang sunyi. Dia berputar dan berputar.... Menari layaknya seorang balerina. Namun sia-sia saja. Gemulai gerakannya takkan mampu mencuri gelisah hatinya. Ada kesedihan di balik keindahan kilauan. Sinar matanya redup, bersembunyi di balik kemegahan yang tercipta. Tampak kesepian. Aku melihat tanya dalam hatinya. Sesungguhnya saat mencari jawaban, jiwa akan mengalami sepi yang amat dalam.
Dalam cemas kuberdoa untuk dukanya. Damaikanlah hatinya....
Ia selalu menyambut orang dengan acuh. Lagaknya angkuh, senyumnya dingin. Tatapan matanya kosong. Ia mengingatkanku pada sosok Marie Antoinette ketika hendak menjalani hukuman pancung di bawah kilauan guilotinne.
“Aku telah kehilangan kesederhanaan.”
Aku mendengarnya berteriak di suatu hari di tempat yang sepi. Tempat ia biasa menari.
“Warna-warna ambisi akan sebuah kesempurnaan datang dan pergi. Berjejal tak beraturan. Mengejarnya membuatku kehilangan nafas.”
“Setiap kaki-kakiku bergerak untuk menari, sesungguhnya yang ingin kulakukan adalah mengubur semua ingatan. Aku selalu ingin melupakan masa lalu..., yang sering tidak bisa kupahami. Hidupku bertabur kilauan, namun sekarang tinggal sisa-sisa yang tak beraturan.”
Perempuan itu kembali berputar dan menari. Peluhnya bercucuran membasahi tubuh indahnya.
“Sedikit kegagalan, aku tak lagi mampu menanggung malu!” jeritnya penuh keresahan.
Aku hanya memandanginya. Lurus menatapnya.
Kilauan telah berganti kusam. Perempuan itu tiba-tiba saja tertawa dan bernyanyi sepenggal syair.

Manusia selalu ingin memiliki 
Dengan memaksa..., 
atau berkorban untuk mendapatkannya 
Sampai mengerti bahwa tak ada satupun yang akhirnya dimilikinya

Lalu dia berhenti dan diam. Perempuan itu duduk memeluk lututnya sendiri. Membenamkan wajahnya dalam-dalam.
Lama aku tak mendatanginya kemudian. Hatiku ditimpa pedih tak terkira. Sesungguhnya banyak yang ingin kuceritakan padanya. Bahwa aku lelah melihatnya.
Apakah itu kesempurnaan? Sepercaya diri apakah hidup ini? Apakah harus kukatakan padanya bahwa tarian dan jeritannya sia-sia belaka?
Ya. Jadi aku memang harus mengatakan ini padanya. Aku akan menemuinya kembali.
Namun di suatu pagi, jembatan Ponte dei Sospiri yang menghubungkan Palazzo Ducale dengan penjara Venesia penuh sesak oleh orang. Dalam kerumunan itu aku melihat tubuh seorang perempuan bersimbah darah. Perempuan yang pernah menghabiskan waktu untuk berputar dan menari di salah satu sudut bumi ini. Bibir mungilnya tertutup erat tanpa menyisakan kata.
Aku terdiam.
Lalu kudengar alunan lagu-lagu kesempurnaan. Terdengar begitu dekat. Dan aku berusaha menatap bibirku yang bergerak-gerak. Ia bernyanyi. Nyanyian yang menjatuhkan air di sudut mataku. Ah, aku bernyanyi.

Seharusnya kau tidak memikul segala sesuatu 
yang tak mampu engkau pikul
Karena tiada yang akan memberatimu 
melainkan sekedar kemampuanmu.....

Tiba-tiba aku seperti mendengar sebuah suara berbisik padaku. Hanya padaku. Kepadaku.
“Apakah itu kesempurnaan? Sepercaya diri apakah hidup ini? Apakah harus kukatakan padanya bahwa tarian dan jeritannya sia-sia belaka?”
Jantungku berdetak lebih kencang. Aku mengenalinya. Suara itu adalah suaraku. Aku berusaha mencari suara itu.
Namun hempasan angin menghentikanku. Belaiannya begitu lembut. Menggerayangi tubuh dan berakhir mengitari tengkukku. Angin membuatku terdiam. Mengarahkanku kembali pada tubuh perempuan yang tergeletak dirubung orang.
Tubuhku sendiri. Yang selalu kurindukan.
Aku termangu. Air mata ini mengalir menikmati sisa-sisa cahaya yang pernah ada. Aku tak lagi mampu menahan ketidakmengertianku akan kehidupanku.
Lalu suaraku yang entah darimana itu kembali berbisik lembut, sedikit menangis.
“Aku merindukanmu.”
Aku benar-benar mengenali suara itu.

-end-



Palazzo Venier dei Leoni : gedung kumpulan seni barang-barang berkadar emas tinggi di Venesia-Italia.

Marrie Antoinnete : ratu Perancis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Supporting KEB

Supporting KEB
Kumpulan Emak Blogger

Histats

Histats.com © 2005-2014 Privacy Policy - Terms Of Use - Check/do opt-out - Powered By Histats