Selasa, 03 November 2015

Relasi Pria-Wanita: Rumit vs Sederhana



Ngobrol soal suami-istri, yang sejauh ini predikat itu melekat pada pria-wanita, adalah hal yang selalu asyik dan menarik. Kenapa? Sebab dunia nggak pernah sepi oleh kontroversi sejauh mana mereka "sama" dan "berbeda".

sumber: www.aliexpress.com

Kita tunda soal "berbeda". Kali ini saya bicara soal "sama". Kesamaan yang membuahkan kesetaraan. Saat baca buku-bukunya Nawal El Saadawi atau Simone de Beauvoir atau penulis feminis sejenisnya, saya mendadak menutup wajah saya dengan kedua telapak tangan saya dan perlahan membukanya lalu berteriak, "Aaarrggghhh!"

Ini menyeramkan sekaligus menarik! Membaca buku Nawal semacam Woman at Point Zero itu saya bisa memaklumi sedikit kenapa pemikirannya menjadi seperti itu. Fakta tokoh dalam novel itu sungguh termarjinalkan sebab "kesewenang-wenangan" laki-laki meski dalam otak saya sedikit menghentak berpikir, "Mungkin ini orang nggak pernah melihat kehidupan muslimah yang diperistri laki-laki shalih." Catat ya, Jeng, LAKI-LAKI SHALIH (udah saya tulis dengan huruf besar). Bukan laki-laki yang beragama Islam!

Nah, menariknya lagi di mana?

Bicara soal Simone, saya jadi ingat kisah cinta saya yang sederhana itu. Saya bersama suami menikah dengan singkat sekali. Bisa dikatakan, awal menikah kami hanya saling merasa tertarik saja, belum mencinta. Namun, begitulah, pernikahan itu alhamdulilah mendewasakan kami sehingga kami mampu memaknai kebersamaan kami dengan berbagai kebebasan dan tanggungjawab kami sebagai manusia yang bertuhankan Allah. Bertuhankan Allah pastilah memiliki konsekuensi yang mutlak harus kita ikuti.

Lalu, saya membayangkan, betapa rumitnya kisah cinta Simone de Beauvoir dan kekasihnya, Jean Paul Sartre. Sartre ini, cintaaaa banget sama Simone. Saya rasa begitu juga sebaliknya. Kalau nggak, kan, nggak mungkin Simone sibuk mengenang-ngenang kekasihnya hingga mereka berdua tidak menikah seumur hidup, menulis buku tentang masing-masing, dan dikuburkan bersebelahan di Cimitiere du Montparnasse, Paris?

Ceritanya, Simone ini keukeuh mempertahakan pendapatnya bahwa setiap individu haruslah membuat pilihan-pilihan dalam hidupnya berdasarkan pemikirannya dengan penuh kesadaran. Sederhananya, Simone beranggapan bahwa perempuan itu telah dianggap sebagai obyek oleh para pria. Perempuan tidaklah dilahirkan sebagai perempuan tetapi menjadi perempuan. Perempuan tidaklah otentik karena ia menjadi perempuan secara sistematik (budaya patriarki) sehingga mereka pun mengalami penindasan secara sistematik. Harusnya, perempuan itu mampu "menjadi", yakni perempuan memiliki otoritas dan hidup sebagai subyek yang bebas berkehendak, berkeinginan, memilih, dan sebagainya.

Nah, sebab itulah Simone sangat menentang lembaga perkawinan hingga dengan gagah berani menolak menuruti ajakan kekasihnya untuk menikah. Bahkan, dalam bukunya yang ia tulis untuk mengenang kekasihnya itu, ia menulis: kematian tidak akan membawa kita bersatu lagi dan kita telah mampu hidup bersama dalam harmoni yang begitu lama.

Nah, saya jadi ingat novel Jean Paul Sartre yang berjudul The Age of Reason. Saya menjadi tahu betapa tokoh laki-laki dalam novel ini (representasi pemikiran Sartre?), yang kondang sebagai eksistensialis, mengharapkan sebuah cinta yang begitu sederhana. Dan ternyata, cinta itu kompleks baginya. Pernikahan bukanlah sesuatu yang sederhana.

Ya, Sartre sama Simone hidup bersama –partner in life-, sepanjang hidup mereka sejak bertemu di kampus Sorbonne, tanpa menikah. Itu yang diinginkan Simone. Fyuuhhhh.... Saya langsung ngelap jidat. Kisah cinta yang romantis atau bagaimana sih ini?

Saya kadang terhenyak, lalu sedetik kemudian... saya bersyukur.... Thanks, God, diri-Mu menjejalkan kesederhanaan berpikir di otak saya. Why?

Saya ini nggak perlu repot-repot bertahan nggak menikah hanya karena soal "menjadi" ini. Dalam pernikahan saya, tidak ada siapa subyek siapa obyek. Semua subyek. Hak dan tanggungjawabnya jelas. Bahkan, ketika menikah pun, saya telah memiliki otoritas untuk memilih pasangan saya alias mau menikah dengan siapa saya, sayalah yang memutuskan. Bukankah Rasul juga menyuruh untuk bertanya pada anak gadis yang dipinang orang?

Jadilah saya menikah. Apakah suami menindas saya? Hmmm..., jawabannya adalah TIDAK! Ada, sih, soal suami yang tiba-tiba marah karena saya terlupa membawa barangnya ketika bepergian. Nah, giliran suami yang lupa membawa barang saya ketika bepergian, saya marah, dong. Durhaka? Aduh, saya dan suami memiliki hak dan kewajiban yang sama meski berbeda bunyinya.

Saat saya tidak boleh marah sama suami, suami boleh marah sama saya? Saat suami tidak boleh kasar sama saya, saya boleh kasar sama suami? Ada yang ngeluh: haduuh, Mak, saya mana berani melawan suami? Wah! Siapa yang mengajarkan untuk melawan suami? Saya bicara soal “saling”.

Kenapa, sih, harus "takut" pada suami? Suami kita dalah orang shalih yang tidak akan serta merta mengecilkan kita. Coba, tengok ke dalam, sudahkah kita menyampaikan unek-unek kita dengan cara yang bisa dipahami suami? Berhentilah untuk takut dan ajaklah suami bicara.

Suami shalih pasti bisa diajak bicara. Tidak peduli betapa keras sifatnya. Asal kita bicaranya juga bener. Kita saja kalau suami bicara keliru juga nggk bisa kita terima, kan? Jadi, masalah karakter ini harus diselesaikan dengan pendekatan karakter juga. Ini dimensi psikologis. Sebagai manusia yang bertuhankan Allah, tentu saja kita bisa berdoa, memohonkan kelembutan hati suami. Ini hanya masalah metode komunikasi, bukan penindasan dimana wanita tidak bisa menghadapinya. Maka, jika masalah itu tidak kunjung bisa diselesaikan, kita tinggal memilih dan memutuskan apa yang akan kita lakukan selanjutnya.

Suami saya memberi saya kebebasan. Lho, kalau begitu, kenapa keinginan untuk aktif bekerja di luar rumah saya simpan dalam lemari? Nah, ini dia yang namanya komitmen dalam rumah tangga. Membelenggukah komitmen itu? Menindaskah? Dalam kesederhanaan pikiran saya, saya senantiasa berpikir bahwa dalam hidup ini saya tidak harus berpikir kalah dan menang. Saya tidak bekerja sedangkan suami saya bekerja tentulah bukan berarti saya kalah. Kalau gitu kenapa saya nggak ambil jalan tengah saja? Kesetaraan. Saya kerja, suami kerja. Nggak ada yang menang dan kalah juga, kan? Masalahnya, apa yang  menjadi tujuan rumah tangga orang itu berbeda-beda.

Rumah tangga bagi saya adalah sinergi untuk mencapai sebuah tujuan. Otomatis, tanggungjawab pasangan suami istri itu memiliki konsekuensi-konsekuensi tertentu yang membutuhkan sebuah pilihan untuk mecapai tujuan bersama. Bagi saya prioritas saya saat ini adalah anak-anak saya dan suami saya. Bagi orang lain mungkin beda lagi. Itu tentu saja miturut komitmen masing-masing.

Saya menjalani pernikahan, memilih untuk menjadi seorang istri dan ibu full time. Maka, "memilih" itu sendiri adalah bukti saya telah "menjadi".

Terakhir, sebagai bentuk konsekuensi eksistensial, saya tentu mengapresiasi pengalaman Nawal, pengalaman Simone dan pilihannya itu, atau wanita-wanita lainnya yang memiliki pikiran yang rumit –menurut saya- dalam memandang pernikahan. Atau mungkin, bagi mereka, pikiran sayalah yang tidak bisa dimengerti? Inilah gado-gado eksistensi. Tapi melalui jutaan eksistensi yang ada di muka bumi ini, baik di masa lalu maupun saat ini, kita tentu memiliki pikiran kita sendiri atau paling tidak contoh yang tepat yang bisa kita tiru. Sesuai dengan hati nurani.

2 komentar:

Pengikut

Supporting KEB

Supporting KEB
Kumpulan Emak Blogger

Histats

Histats.com © 2005-2014 Privacy Policy - Terms Of Use - Check/do opt-out - Powered By Histats