Ngobrol soal suami-istri, yang sejauh ini predikat itu
melekat pada pria-wanita, adalah hal yang selalu asyik dan menarik. Kenapa? Sebab
dunia nggak pernah sepi oleh kontroversi sejauh mana mereka "sama"
dan "berbeda".
sumber: www.aliexpress.com
Kita tunda soal "berbeda". Kali ini saya bicara
soal "sama". Kesamaan yang membuahkan kesetaraan. Saat baca
buku-bukunya Nawal El Saadawi atau Simone de Beauvoir atau penulis feminis sejenisnya,
saya mendadak menutup wajah saya dengan kedua telapak tangan saya dan perlahan
membukanya lalu berteriak, "Aaarrggghhh!"
Ini menyeramkan sekaligus menarik! Membaca buku Nawal
semacam Woman at Point Zero itu saya bisa memaklumi sedikit kenapa pemikirannya
menjadi seperti itu. Fakta tokoh dalam novel itu sungguh termarjinalkan sebab
"kesewenang-wenangan" laki-laki meski dalam otak saya sedikit menghentak
berpikir, "Mungkin ini orang nggak pernah melihat kehidupan muslimah yang
diperistri laki-laki shalih." Catat ya, Jeng, LAKI-LAKI SHALIH (udah saya
tulis dengan huruf besar). Bukan laki-laki yang beragama Islam!
Nah, menariknya lagi di mana?
Bicara soal Simone, saya jadi ingat kisah cinta saya yang
sederhana itu. Saya bersama suami menikah dengan singkat sekali. Bisa
dikatakan, awal menikah kami hanya saling merasa tertarik saja, belum mencinta.
Namun, begitulah, pernikahan itu alhamdulilah mendewasakan kami sehingga
kami mampu memaknai kebersamaan kami dengan berbagai kebebasan dan
tanggungjawab kami sebagai manusia yang bertuhankan Allah. Bertuhankan Allah
pastilah memiliki konsekuensi yang mutlak harus kita ikuti.
Lalu, saya membayangkan, betapa rumitnya kisah cinta
Simone de Beauvoir dan kekasihnya, Jean Paul Sartre. Sartre ini, cintaaaa
banget sama Simone. Saya rasa begitu juga sebaliknya. Kalau nggak, kan, nggak
mungkin Simone sibuk mengenang-ngenang kekasihnya hingga mereka berdua tidak
menikah seumur hidup, menulis buku tentang masing-masing, dan dikuburkan
bersebelahan di Cimitiere du Montparnasse, Paris?
Ceritanya, Simone ini keukeuh mempertahakan
pendapatnya bahwa setiap individu haruslah membuat pilihan-pilihan dalam
hidupnya berdasarkan pemikirannya dengan penuh kesadaran. Sederhananya, Simone
beranggapan bahwa perempuan itu telah dianggap sebagai obyek oleh para pria.
Perempuan tidaklah dilahirkan sebagai perempuan tetapi menjadi perempuan.
Perempuan tidaklah otentik karena ia menjadi perempuan secara sistematik (budaya
patriarki) sehingga mereka pun mengalami penindasan secara sistematik.
Harusnya, perempuan itu mampu "menjadi", yakni perempuan memiliki
otoritas dan hidup sebagai subyek yang bebas berkehendak, berkeinginan,
memilih, dan sebagainya.
Nah, sebab itulah Simone sangat menentang lembaga
perkawinan hingga dengan gagah berani menolak menuruti ajakan kekasihnya untuk
menikah. Bahkan, dalam bukunya yang ia tulis untuk mengenang kekasihnya itu, ia
menulis: kematian tidak akan membawa kita bersatu lagi dan kita telah mampu
hidup bersama dalam harmoni yang begitu lama.
Nah, saya jadi ingat novel Jean Paul Sartre yang berjudul
The Age of Reason. Saya menjadi tahu betapa tokoh laki-laki dalam novel ini
(representasi pemikiran Sartre?), yang kondang sebagai eksistensialis,
mengharapkan sebuah cinta yang begitu sederhana. Dan ternyata, cinta itu
kompleks baginya. Pernikahan bukanlah sesuatu yang sederhana.
Ya, Sartre sama Simone hidup bersama –partner in life-,
sepanjang hidup mereka sejak bertemu di kampus Sorbonne, tanpa menikah. Itu
yang diinginkan Simone. Fyuuhhhh.... Saya langsung ngelap jidat. Kisah cinta
yang romantis atau bagaimana sih ini?
Saya kadang terhenyak, lalu sedetik kemudian... saya
bersyukur.... Thanks, God, diri-Mu menjejalkan kesederhanaan berpikir di otak
saya. Why?
Saya ini nggak perlu repot-repot bertahan nggak menikah
hanya karena soal "menjadi" ini. Dalam pernikahan saya, tidak ada
siapa subyek siapa obyek. Semua subyek. Hak dan tanggungjawabnya jelas. Bahkan,
ketika menikah pun, saya telah memiliki otoritas untuk memilih pasangan saya
alias mau menikah dengan siapa saya, sayalah yang memutuskan. Bukankah Rasul
juga menyuruh untuk bertanya pada anak gadis yang dipinang orang?
Jadilah saya menikah. Apakah suami menindas saya? Hmmm...,
jawabannya adalah TIDAK! Ada, sih, soal suami yang tiba-tiba marah karena saya
terlupa membawa barangnya ketika bepergian. Nah, giliran suami yang lupa
membawa barang saya ketika bepergian, saya marah, dong. Durhaka? Aduh, saya dan
suami memiliki hak dan kewajiban yang sama meski berbeda bunyinya.
Saat saya tidak boleh marah sama suami, suami boleh marah
sama saya? Saat suami tidak boleh kasar sama saya, saya boleh kasar sama suami?
Ada yang ngeluh: haduuh, Mak, saya mana berani melawan suami? Wah! Siapa yang
mengajarkan untuk melawan suami? Saya bicara soal “saling”.
Kenapa, sih, harus "takut" pada suami? Suami
kita dalah orang shalih yang tidak akan serta merta mengecilkan kita. Coba,
tengok ke dalam, sudahkah kita menyampaikan unek-unek kita dengan cara yang
bisa dipahami suami? Berhentilah untuk takut dan ajaklah suami bicara.
Suami shalih pasti bisa diajak bicara. Tidak peduli betapa
keras sifatnya. Asal kita bicaranya juga bener. Kita saja kalau suami bicara
keliru juga nggk bisa kita terima, kan? Jadi, masalah karakter ini harus
diselesaikan dengan pendekatan karakter juga. Ini dimensi psikologis. Sebagai
manusia yang bertuhankan Allah, tentu saja kita bisa berdoa, memohonkan
kelembutan hati suami. Ini hanya masalah metode komunikasi, bukan penindasan
dimana wanita tidak bisa menghadapinya. Maka, jika masalah itu tidak kunjung
bisa diselesaikan, kita tinggal memilih dan memutuskan apa yang akan kita
lakukan selanjutnya.
Suami saya memberi saya kebebasan. Lho, kalau begitu,
kenapa keinginan untuk aktif bekerja di luar rumah saya simpan dalam lemari?
Nah, ini dia yang namanya komitmen dalam rumah tangga. Membelenggukah komitmen
itu? Menindaskah? Dalam kesederhanaan pikiran saya, saya senantiasa berpikir
bahwa dalam hidup ini saya tidak harus berpikir kalah dan menang. Saya tidak
bekerja sedangkan suami saya bekerja tentulah bukan berarti saya kalah. Kalau
gitu kenapa saya nggak ambil jalan tengah saja? Kesetaraan. Saya kerja, suami
kerja. Nggak ada yang menang dan kalah juga, kan? Masalahnya, apa yang menjadi tujuan rumah tangga orang itu
berbeda-beda.
Rumah tangga bagi saya adalah sinergi untuk mencapai
sebuah tujuan. Otomatis, tanggungjawab pasangan suami istri itu memiliki
konsekuensi-konsekuensi tertentu yang membutuhkan sebuah pilihan untuk mecapai
tujuan bersama. Bagi saya prioritas saya saat ini adalah anak-anak saya dan
suami saya. Bagi orang lain mungkin beda lagi. Itu tentu saja miturut
komitmen masing-masing.
Saya menjalani pernikahan, memilih untuk menjadi seorang
istri dan ibu full time. Maka, "memilih" itu sendiri adalah
bukti saya telah "menjadi".
Terakhir, sebagai bentuk konsekuensi eksistensial, saya tentu
mengapresiasi pengalaman Nawal, pengalaman Simone dan pilihannya itu, atau wanita-wanita
lainnya yang memiliki pikiran yang rumit –menurut saya- dalam memandang
pernikahan. Atau mungkin, bagi mereka, pikiran sayalah yang tidak bisa
dimengerti? Inilah gado-gado eksistensi. Tapi melalui jutaan eksistensi yang
ada di muka bumi ini, baik di masa lalu maupun saat ini, kita tentu memiliki
pikiran kita sendiri atau paling tidak contoh yang tepat yang bisa kita tiru.
Sesuai dengan hati nurani.
Gaya nulisnya selalu renyah dg topik topik yg memang hot untuk didiskusikan
BalasHapusMakasiiih <3
Hapus