Suatu kali dalam sebuah pertemuan ibu-ibu, seseorang nyeletuk, “Dengan anak harus lembut ya, Bu. Jangan sampai di tempat umum terlihat lembut tapi di rumah anak-anak diteriakin. Di depan umum saat anak berulah bilang ‘Sayang, jangan dong’, di rumah boro-boro dipanggil ‘Sayang’, yang ada dimarahin.”
sumber: alloutofsouts blogpost
Mendengar itu dada saya langsung terasa sesak. Help Me!
Iyes! Pada satu titik, keadaan itu terasa “gue
banget”. Artinya, kadang saya begitu. Tapi, kenapa seolah kata-kata itu
menusuk? Saya tidak akan serta merta mengatakan, “Iya ya. Seharusnya saya tidak
begitu. Saya harus lebih baik dalam menjadi seorang ibu.” Lalu timbul rasa
bersalah, timbul rasa sedih belum menjadi ibu yang baik. Lalu bersusah payah
menahan gejolak di dada dan berhari-hari menjadi drama queen dengan peran “ibu yang
tak sempurna”. Ya! Semua itu terjadi tak lama setelah “instropeksi diri”.
Salahkah kalau kita instropeksi diri? Tidak. Masalahnya, yang perlu instropeksi
diri bukan hanya saya!
Orang Lain Pun Perlu Instropeksi Diri
Saya cenderung akan menyuruh ibu yang bicara di atas tadi untuk menyunting
kembali redaksional yang dipilih. Saya membayangkan, berapa banyak ibu yang
akan terluka mendengar kata-kata itu?
Beban seorang ibu tidaklah semudah dengan mengatakan “di luar begini di
rumah kok gitu”. Pernahkah membayangkan saat dengan muka berseri seorang ibu
mendandani anak-anaknya, dijejer di kursi cantik, lalu jepret! Foto manis ter-upload
di medsos. Dikomentari sama sanak saudara, sahabat, rekan rumpi, tetangga
sebelah, sampai teman SD. Padahal siapa tahu satu jam yang lalu ia berteriak
marah sama anak manis itu bahkan sampai mencubit pantatnya?
Lalu apa yang terjadi? Saat membaca komen, hatinya tersentuh.
Sesungguhnya
ia sangat mencintai anak-anak manis itu. Lalu saat mereka tertidur
di pangkuannya, ia menciuminya penuh penyesalan. Ia meminta
maaf pada anak-anaknya dalam kebisuan dengan air mata meleleh-leleh. Ia berjanji
dalam diri sendiri untuk tidak mengulanginya lagi. Itu sudah bagus, percayalah!
Seorang Ibu Bisa Lelah
Berapa banyak ibu-ibu yang kelelahan dan ingin mendapat kedamaian daripada
celaan? Apa yang salah dengan “teriakan kepada anak”? Tidak ada ibu yang
sempurna.
Tidak semua ibu memiliki kemewahan seperti beberapa pembantu atau baby sitter
yang mereka miliki. Memiliki bermacam fasilitas yang memudahkan mereka untuk
tidak merasa kelelahan lahir dan batin.
Tidak semua ibu memiliki keluarga yang harmonis yang mampu membuat mereka
menjadi pejuang tangguh yang tanpa cela.
Tidak semua ibu bla … bla … bla …
No excuse, dong! Atasi dulu masalah mereka. Tetap
selamatkan anak-anak!
Betul. Itu mulia. Kita akan memiliki banyak cara untuk menyelamatkan
anak-anak. Tapi sudahkah berpikir bagaimana kita akan menyelamatkan seorang
ibu?
Ada banyak cara seorang ibu untuk mengerti bahwa mereka kurang sempurna,
bahwa mereka harus belajar untuk menjadi ibu yang lebih lagi. Percayalah saat
seorang ibu sudah rela menepikan hobinya berumpul bersama teman-temannya di
warung kopi eksekutif dimana mereka melakukannya untuk bersenang-senang
alih-alih me-time,
saat mereka rela memakai tabungannya untuk membeli kebutuhan anak-anaknya
daripada sekedar mewujudkan incaran sebuah tas bermerek Eropa demi gengsi, saat
mereka menangis sedih tidak bisa datang ke salon karena harus menemani
anak-anaknya. Jangankan hal-hal mewah seperti itu, mau ke kamar mandi saja
susah! Harus bawa anak masuk ke dalam. Percayalah, saat itu terjadi, mereka
adalah ibu-ibu yang baik yang bisa saja berteriak kepada anak-anaknya.
Jangan Dengarkan Orang Yang Hobi Menghakimi
Makanya, punya anak jangan banyak-banyak. Satu saja susah. OMG! Itu pilihan
Anda, Mom.
Tapi jangan menambah beban dalam menakar orang lain ya.
So natural! Seorang ibu memiliki emosi: marah, sedih,
senang, kecewa, bahagia, dll. Terkadang, orang lainlah yang perlu memperbaiki
dirinya. Bukan hanya seorang ibu yang ditunjuk-tunjuk!
Orang berbusa-busa menjelaskan bagaimana sebuah teriakan bisa mematikan
berjuta sel di otak anak, betapa teriakan bisa menumbuhkan kecemasan pada
perkembangan emosional anak. Jangan lupakan, bahwa kecemasan seorang ibu juga
bisa memengaruhi pertumbuhan emosional anak-anak. Saat mereka belajar bahwa ibu
mereka bereaksi terhadap suatu masalah dengan perilaku kecemasan. Sayangnya,
kecemasan ini justru datang karena ia sangat ingin menjadi ibu yang sempurna
bagi anaknya. Ia merasa gagal. Ia tidak menyadari bahwa di dunia ini cermin
tidak hanya ada di tangannya.
Apakah kita harus ikut berada dalam situasi yang menekan orang lain?
Insting Seorang Ibu Adalah “Menjadi Ibu yang Baik”
Saya sendiri pernah merasakan bahwa emosi saya lebih tertata saat saya
berada di tempat umum. Saya merasa tidak sendirian. Saya merasa lebih rileks
saat anak saya merengek ataupun rewel. Saya lebih bisa tenang menghadapi
anak-anak dan merasa itu adalah sebuah kedamaian. Saya punya sisi yang keibuan.
Justru jika seorang ibu memarahi anaknya di tempat umum, bukankah itu aneh?
Jangan pernah hakimi mereka. Barangkali mereka justru telah memperlihatkan sisi
depresifnya. Jika tidak dapat membantu, lebih baik kita diam.
Saya justru berpikir, dengan insting keibuannya, banyak wanita tahu dirinya
salah atau benar. Banyak wanita yang setidaknya memiliki alarm
alami untuk sekedar bertanya: saya benar atau tidak ya? Itulah titik dia ingin
menjadi sempurna. Di situlah terletak kesadaran untuk membaca atau berdiskusi
dengan sesama teman tentang bagaimana menjadi seorang ibu yang baik, bagaimana
agar anak berkepribadian kuat, dan “bagaimana” lainnya yang mampu menyelamatkan
anak-anak dari pengasuhan yang salah.
Kesadaran inilah celah pengetahuan. Saat seorang ibu siap menerima
pengetahuan (baik dengan teori maupun pengalaman), saat itulah nilai-nilai
berkembang dalam dirinya. Sampai lelah kita berteriak, “sebaiknya begini,
sebaiknya begitu,” hanya akan melelahkan bagi kita semua. Yang berteriak
tentang idealisme merasa frustrasi, yang diteriaki juga merasa gagal.
Menanggung perasaan cemas. Siapa yang menjamin perilaku cemas akan membuat
seorang nyaman? Tidak. Dia akan lebih sering berteriak karena panik.
Seorang ibu selalu ingin menjadi yang terbaik, meskipun tidak sempurna. So,
jangan jadikan rasa bersalah akibat ekspresi marah sebagai label bahwa Anda
bukan seorang ibu yang baik, Bunda. Teruslah berproses dengan mendengarkan
insting keibuan yang telah diberikan Allah.
*pernah saya tulis untuk Ummi-Online.com
*pernah saya tulis untuk Ummi-Online.com
Selalu suka sama tulisan mb, beraasa lg konseling hihihik
BalasHapusHai, Mbak ^^ begitu ya? xixixixixixixi
HapusSaya kadang marah ke anak-anak. Hehehe
BalasHapusSaya juga, Bun ^^
Hapusahhh tulisan ini saya banget....
BalasHapusmari berproses...yang jelas nggak ada ibu yang nggak sayang anak toh :D
anak-anak saya kadang hapal kalau intonasi saya yang mulai meninggi berarti Ibu marah dan buru-buru melaksanakan permintaan saya semisal saya suruh mandi, sholat, belajar pokoknya kewajiban hariannya. dan ternyata kalau saya tinggal beberapa hari keluar kota, mereka kangen intonasi saya yang tinggi untuk mengingatkan mereka melakukan kewajiban harian. Lucu rasanya...
BalasHapus