-Santy Musa-
Jamais vu.
Harry melajukan mobilnya tanpa arah. Tanpa
irama yang jelas ia sampai ke jalanan Abdoun yang nampak ramai. Para pemburu suasana malam berhamburan
keluar rumah masing-masing menuju kafe-kafe di sekitar Abdoun Cricle yang merupakan salah satu pusat keramaian di kota Amman. Sebagian muda-mudinya hanya
menepikan mobil-mobil mereka di sepanjang jalan Al-Qohiroh yang mengular
membelah rumah-rumah mewah di kanan-kirinya, duduk menyandar di mobil atau
duduk-duduk di tembok-tembok rendah pembatas tanah-tanah kosong.
Mobil yang dikendarai Harry mendapat beberapa
sumpah serapah yang gerah melihat tingkat kecepatannya. Sebagian muda-mudinya
malah takjub dengan cara Harry mengendara mobilnya dan berteriak, “wooo!” Rupanya para pemuda selalu memiliki semangat
untuk melihat semua sisi menjadi lebih menyenangkan! Sungguh, week-end
selalu ramai.
Di seputaran Abdoun Circle, Harry membelokkan
laju mobilnya ke sebuah kafe. Jam sebelas kurang sepuluh menit. Laki-laki Jawa
yang tegap dan tampan itu nampak diam sejenak sebelum kemudian bergegas keluar.
Harry melambaikan tangannya pada petugas valet parking.
Udara terasa begitu segar sejak Harry
melangkahkan kaki keluar dari rumah sang diplomat. Ia berjalan menuju sebuah
sudut yang sepi. Memesan segelas coffee latte. Lalu terdiam.
Bayangan Diyuna menari-nari di pelupuk matanya.
Harry solah melihat Diyuna bertahun-tahun yang
lalu. Duduk di
depan kaca riasnya. Ia menoleh ke arah Harry sekilas sebelum kembali menatap
cermin. Dia tak melakukan apa-apa. Hanya menatap cermin. Menatap dirinya
sendiri yang begitu cantik, yang sedang mengenakan daster sutra berwarna biru
lembut.
Harry berjalan mendekatinya. Mencium rambutnya
dengan lembut dan beranjak duduk di tepi ranjang.
“Malam sekali Kak Harry pulang,” Diyuna mulai
menegurnya.
“Aku...,” Harry tak meneruskan kalimatnya. Ada
sesuatu yang salah. Gerak-geriknya tidak pernah segugup ini. Suaranya seperti
tidak keluar. Dia hanya duduk di tepi ranjang dengan pasrah. Terasa menyakitkan
mendengar suara merdu Diyuna dengan aroma wangi yang menyebar dari tubuhnya.
“Kak Harry kan tidak perlu lembur seperti para
pekerja kantoran lainnya. Kak Harry punya banyak pegawai di perusahaan. Bahkan
tanpa kamusuruh pun, mereka tahu apa yang harus mereka kerjakan. Beruntung Kak Harry
memunyai banyak pekerja yang memaksakan diri untuk mencintai perusahaanmu, Kak,
demi uang yang mereka kejar dengan loyalitas penuh dan dedikasi yang tinggi.”
“Aku sudah meninggalkan kantor sejak jam lima
tadi.”
“Oh ya?” Diyuna membalikkan badan menghadap ke
arahnya.
“Kamu menyesali hari-hari yang kita lalui
bersama?” Harry mengalihkan pembicaraan. Pembicaraan yang seharusnya memang
mereka bicarakan, bukan basa-basi tentang kantor dan pekerjaan yang
menyebalkan.
“Tidak,” Diyuna menjawab dengan penuh senyum.
“Aku tidak pernah menyesali kehidupan yang kumiliki, dan juga apa-apa yang
sudah kulakukan dalam kehidupan itu sendiri.”
Harry kembali terdiam. Ia menundukkan kepalanya
dengan murung.
Diyuna kembali menatap bayangannya di cermin.
“Aku mulai kelihatan gendut ya?”
Harry mendongakkan kepalanya.
“Apa aku masih kelihatan cantik? Bagaimana
menurutmu, Kak? Apa aku seperti bertambah tua?”
“Ayolah! Kamu masih duapuluh tiga. Tidak. Kamu
tetap cantik. Kamu merasa bertambah tua karena hidup bersamaku? Aku bahkan baru menginjak
tigapuluh.” Harry
tertawa kecil.
“Ah, Kak Harry tak pernah berbicara buruk tentangku.
Semuanya selalu indah. Sesungguhnya, adakah sesuatu yang
benar-benar buruk dari diriku?”
Harry tersenyum getir. “Ya, ada.”
“Apa?” Diyuna mengerjabkan matanya dan menatap
lewat cermin.
“Kamu ingin bebas. Itulah yang terburuk dari
dirimu. Kebebasanmu membuatku ketakutan.”
Diyuna reflek menoleh.
“Kebebasanku adalah kebebasan seorang manusia
yang sehat dan bertanggungjawab, lho, Kak. Setidaknya aku tidak merugikan orang
lain.” Matanya tajam menatap tepat di manik hitam mata Harry.
“Lalu aku?”
“Kak Harry?” Diyuna tergelak. “Kenapa? Bukankah
tidak ada ikatan dan komitmen dalam hubungan kita?”
“Tapi setidaknya kamu bisa berpikir untuk tidak
melakukan hal konyol itu, kan? Membunuh janin adalah sesuatu yang ‘bebas’
pula?”
“Aborsi bukan berarti membunuh seorang bayi.”
Harry tersenyum kecut. “Benar. Aborsi tidak
membunuh bayi. Aborsi adalah pembunuhan metafisik. Begitu? Karena bayinya tidak
berada tepat di depan mata kita?”
Ketegaran Diyuna membuat Harry berusaha untuk tidak emosional.
“Diyuna .… Kamu serius akan melakukannya?”
“Kak Harry tidak perlu meragukan keseriusanku.”
Harry terdiam. Sedikitpun ia tidak melihat
keraguan dalam ucapan itu. Justru mata itu, mata wanita itu, berkilat penuh
dengan keyakinan.
“Kamu memerlukan uang?”
“Tidak.”
“Sudahlah. Kamu tinggal menuliskan angka pada
cek kosong yang selalu kusiapkan untukmu.”
“Kak Harry bermaksud menyombongkan diri? Untuk ini
aku tidak butuh uang Kakak.”
“Terserah. Aku hanya ingin memberimu kemudahan.
Tapi, aku selalu berharap kamu berubah pikiran.”
Harry beranjak berdiri. Diyuna hanya diam
terpaku di kursinya.
“Diyuna, apakah sekarang kamu takut jatuh cinta
padaku? Kamu takut cinta tidak akan membebaskanmu?”
Diyuna menatap kosong mata Harry. Ia terdiam
lama. Harry menatapnya dalam sebelum ia memutuskan untuk keluar rumah.
Dalam perutnya ada sesuatu yang hidup. Harry
nelangsa. Benarkah dia tidak mencintai Harry?
Dia hamil. Harry seperti mampu menembus perut
Diyuna dan melihat seonggok daging kecil yang bergerak-gerak.
“Diyuna akan menghabisinya,” gumamannya terasa
tertahan. Itukah yang dinamakan bertanggungjawab dengan hidupnya. Ia tidak mengerti. Setelah hampir dua
tahun, dua tahun yang tidak memberinya kemapanan hati yang berarti, akhirnya
Diyuna hamil. Ia bahagia. Tetapi Diyuna tidak. Ia merasa mulai menemukan jalan
untuk mencapai kemapanan dalam kehidupan perasaannya, tetapi Diyuna merasa itu
sebagai kerikil yang sangat tajam.
Lalu malam itu…, delapan tahun yang lalu, Diyuna benar-benar memutuskan untuk
pergi. Tak dapat dicegah, koper-kopernya sudah siap begitu saja di ruang
tengah.
Harry ingat, Diyuna menghilang dari kehidupannya
begitu saja.
___________________________________________________________
Sinopsis:
Pria bermata hazel itu pernah menjadi dunia dan seisinya bagi Diyuna. Melimpahinya dengan cinta, kemewahan, dan segala yang iadambakan.
Tidak ada yang tahu Diyuna menyimpan ribuan pertanyaan dan kegelisahan di balik kehidupan bebas yang iajalani. Tentang takdir dan cinta yang memberikan ketenangan jiwa. Diyuna berlari dan mencari. Dari Jakarta sampai ke Amman, Yordania. Hingga ia bertemu seorang Diplomat yang begitu sederhana yang mengulurkan tangan dan mengajak Diyuna menciptakan takdirnya sendiri.
Ketika Diyuna merasa telah menemukan apa yang iacari, pertemuan kembali dengan pria bermata hazel itu menyadarkan Diyuna akan satu hal: ruang kosong di dalam hatinya yang tak henti merindukan kehadiran pria itu. Dan pertanyaan besar kembali bergema: haruskah Diyuna memilih setia atau berjuang meraih cinta yang sudah di depan mata?
Jadi Harry bukan yang diharapkan Diyuna? hmmm penasaran pengen tau lanjutannya.
BalasHapusNah, Mak .... Gimana hayo? :D Terima kasih, sudah berkenan baca.
HapusCerita yang bagus Mak :D
BalasHapusNovelnya insyaAllah bagus, Mak xixixixixixi Thanks
Hapus