Selasa, 17 November 2015

Setia Bersamamu



-Santy Musa-





Jamais vu.
Harry melajukan mobilnya tanpa arah. Tanpa irama yang jelas ia sampai ke jalanan Abdoun yang nampak ramai. Para pemburu suasana malam berhamburan keluar rumah masing-masing menuju kafe-kafe di sekitar Abdoun Cricle yang merupakan salah satu pusat keramaian di kota Amman. Sebagian muda-mudinya hanya menepikan mobil-mobil mereka di sepanjang jalan Al-Qohiroh yang mengular membelah rumah-rumah mewah di kanan-kirinya, duduk menyandar di mobil atau duduk-duduk di tembok-tembok rendah pembatas tanah-tanah kosong.
Mobil yang dikendarai Harry mendapat beberapa sumpah serapah yang gerah melihat tingkat kecepatannya. Sebagian muda-mudinya malah takjub dengan cara Harry mengendara mobilnya dan berteriak, “wooo!” Rupanya para pemuda selalu memiliki semangat untuk melihat semua sisi menjadi lebih menyenangkan! Sungguh, week-end selalu ramai.
Di seputaran Abdoun Circle, Harry membelokkan laju mobilnya ke sebuah kafe. Jam sebelas kurang sepuluh menit. Laki-laki Jawa yang tegap dan tampan itu nampak diam sejenak sebelum kemudian bergegas keluar. Harry melambaikan tangannya pada petugas valet parking.
Udara terasa begitu segar sejak Harry melangkahkan kaki keluar dari rumah sang diplomat. Ia berjalan menuju sebuah sudut yang sepi. Memesan segelas coffee latte. Lalu terdiam. Bayangan Diyuna menari-nari di pelupuk matanya.
Harry solah melihat Diyuna bertahun-tahun yang lalu. Duduk di depan kaca riasnya. Ia menoleh ke arah Harry sekilas sebelum kembali menatap cermin. Dia tak melakukan apa-apa. Hanya menatap cermin. Menatap dirinya sendiri yang begitu cantik, yang sedang mengenakan daster sutra berwarna biru lembut.
Harry berjalan mendekatinya. Mencium rambutnya dengan lembut dan beranjak duduk di tepi ranjang.
“Malam sekali Kak Harry pulang,” Diyuna mulai menegurnya.
“Aku...,” Harry tak meneruskan kalimatnya. Ada sesuatu yang salah. Gerak-geriknya tidak pernah segugup ini. Suaranya seperti tidak keluar. Dia hanya duduk di tepi ranjang dengan pasrah. Terasa menyakitkan mendengar suara merdu Diyuna dengan aroma wangi yang menyebar dari tubuhnya.
“Kak Harry kan tidak perlu lembur seperti para pekerja kantoran lainnya. Kak Harry punya banyak pegawai di perusahaan. Bahkan tanpa kamusuruh pun, mereka tahu apa yang harus mereka kerjakan. Beruntung Kak Harry memunyai banyak pekerja yang memaksakan diri untuk mencintai perusahaanmu, Kak, demi uang yang mereka kejar dengan loyalitas penuh dan dedikasi yang tinggi.”
“Aku sudah meninggalkan kantor sejak jam lima tadi.”
“Oh ya?” Diyuna membalikkan badan menghadap ke arahnya.
“Kamu menyesali hari-hari yang kita lalui bersama?” Harry mengalihkan pembicaraan. Pembicaraan yang seharusnya memang mereka bicarakan, bukan basa-basi tentang kantor dan pekerjaan yang menyebalkan.
“Tidak,” Diyuna menjawab dengan penuh senyum. “Aku tidak pernah menyesali kehidupan yang kumiliki, dan juga apa-apa yang sudah kulakukan dalam kehidupan itu sendiri.”
Harry kembali terdiam. Ia menundukkan kepalanya dengan murung.
Diyuna kembali menatap bayangannya di cermin.
“Aku mulai kelihatan gendut ya?”
Harry mendongakkan kepalanya.
“Apa aku masih kelihatan cantik? Bagaimana menurutmu, Kak? Apa aku seperti bertambah tua?”
“Ayolah! Kamu masih duapuluh tiga. Tidak. Kamu tetap cantik. Kamu merasa bertambah tua karena hidup bersamaku? Aku bahkan baru menginjak tigapuluh.” Harry tertawa kecil.
“Ah, Kak Harry tak pernah berbicara buruk tentangku. Semuanya selalu indah. Sesungguhnya, adakah sesuatu yang benar-benar buruk dari diriku?”
Harry tersenyum getir. “Ya, ada.”
“Apa?” Diyuna mengerjabkan matanya dan menatap lewat cermin.
“Kamu ingin bebas. Itulah yang terburuk dari dirimu. Kebebasanmu membuatku ketakutan.”
Diyuna reflek menoleh.
“Kebebasanku adalah kebebasan seorang manusia yang sehat dan bertanggungjawab, lho, Kak. Setidaknya aku tidak merugikan orang lain.” Matanya tajam menatap tepat di manik hitam mata Harry.
“Lalu aku?”
Kak Harry?” Diyuna tergelak. “Kenapa? Bukankah tidak ada ikatan dan komitmen dalam hubungan kita?”
“Tapi setidaknya kamu bisa berpikir untuk tidak melakukan hal konyol itu, kan? Membunuh janin adalah sesuatu yang ‘bebas’ pula?”
“Aborsi bukan berarti membunuh seorang bayi.”
Harry tersenyum kecut. “Benar. Aborsi tidak membunuh bayi. Aborsi adalah pembunuhan metafisik. Begitu? Karena bayinya tidak berada tepat di depan mata kita?”
Ketegaran Diyuna membuat Harry berusaha untuk tidak emosional.
“Diyuna .… Kamu serius akan melakukannya?”
Kak Harry tidak perlu meragukan keseriusanku.”
Harry terdiam. Sedikitpun ia tidak melihat keraguan dalam ucapan itu. Justru mata itu, mata wanita itu, berkilat penuh dengan keyakinan.
“Kamu memerlukan uang?”
“Tidak.”
“Sudahlah. Kamu tinggal menuliskan angka pada cek kosong yang selalu kusiapkan untukmu.”
Kak Harry bermaksud menyombongkan diri? Untuk ini aku tidak butuh uang Kakak.”
“Terserah. Aku hanya ingin memberimu kemudahan. Tapi, aku selalu berharap kamu berubah pikiran.”
Harry beranjak berdiri. Diyuna hanya diam terpaku di kursinya.
“Diyuna, apakah sekarang kamu takut jatuh cinta padaku? Kamu takut cinta tidak akan membebaskanmu?”
Diyuna menatap kosong mata Harry. Ia terdiam lama. Harry menatapnya dalam sebelum ia memutuskan untuk keluar rumah.
Dalam perutnya ada sesuatu yang hidup. Harry nelangsa. Benarkah dia tidak mencintai Harry?
Dia hamil. Harry seperti mampu menembus perut Diyuna dan melihat seonggok daging kecil yang bergerak-gerak.
“Diyuna akan menghabisinya,” gumamannya terasa tertahan. Itukah yang dinamakan bertanggungjawab dengan hidupnya. Ia tidak mengerti. Setelah hampir dua tahun, dua tahun yang tidak memberinya kemapanan hati yang berarti, akhirnya Diyuna hamil. Ia bahagia. Tetapi Diyuna tidak. Ia merasa mulai menemukan jalan untuk mencapai kemapanan dalam kehidupan perasaannya, tetapi Diyuna merasa itu sebagai kerikil yang sangat tajam.
Lalu malam itu…, delapan tahun yang lalu, Diyuna benar-benar memutuskan untuk pergi. Tak dapat dicegah, koper-kopernya sudah siap begitu saja di ruang tengah.  
Harry ingat, Diyuna menghilang dari kehidupannya begitu saja.

___________________________________________________________

Sinopsis:

Pria bermata hazel itu  pernah menjadi dunia dan seisinya bagi Diyuna. Melimpahinya dengan cinta, kemewahan, dan segala yang iadambakan.
Tidak ada yang tahu Diyuna menyimpan ribuan pertanyaan dan kegelisahan di balik kehidupan bebas yang iajalani. Tentang takdir dan cinta yang memberikan ketenangan jiwa. Diyuna berlari dan mencari. Dari Jakarta sampai ke Amman, Yordania. Hingga ia bertemu seorang Diplomat yang begitu sederhana yang mengulurkan tangan dan mengajak Diyuna menciptakan takdirnya sendiri.
 Ketika Diyuna merasa telah menemukan apa yang iacari, pertemuan kembali dengan pria bermata hazel itu menyadarkan Diyuna akan satu hal: ruang kosong di dalam hatinya yang tak henti merindukan kehadiran pria itu. Dan pertanyaan besar kembali bergema: haruskah Diyuna memilih setia atau berjuang meraih cinta yang sudah di depan mata?

4 komentar:

  1. Jadi Harry bukan yang diharapkan Diyuna? hmmm penasaran pengen tau lanjutannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, Mak .... Gimana hayo? :D Terima kasih, sudah berkenan baca.

      Hapus
  2. Balasan
    1. Novelnya insyaAllah bagus, Mak xixixixixixi Thanks

      Hapus

Pengikut

Supporting KEB

Supporting KEB
Kumpulan Emak Blogger

Histats

Histats.com © 2005-2014 Privacy Policy - Terms Of Use - Check/do opt-out - Powered By Histats