Ngobrol sore dengan seorang editor GPU yang
mengurusi bukuku itu enak juga. Berasa so friendly dan diperhatiin.
Bahkan untuk urusan kaver pun bisa didiskusikan. Gimana caranya kita bisa
nerbitin buku yang kalau orang liat kavernya aja udah kepengen beli. Itu “wow”
banget. Kerjaan susah untuk menembus persaingan novel yang ketat yang ngga cuma
lokal tapi juga terjemahan. Bayangin aja, saat saya ke toko buku, saya melihat
novel yang diterbitin itu sealahim gambreng bener. Siapa aja yang nerbitin udah
ngga bisa diapalin saking banyaknya. Udah berasa Bhineka Tunggal Ika. Saya
kadang cuma merasa debu yang sekali tiup, hilang.
Kita mikir, gimana ya bisa nerbitin buku
yang bisa berhasil memikat pada pandangan pertama? Sebab pada hitungan 3 bulan
penjualan ngga lancar, buku bisa ditarik ke gudang. Jadi … saya ngusulin gimana
kalau nampilin gambar cowok misterius? Kata editor saya, “Jangan. Menurut survey,
selain jenis Harlequin atau novel-novel terjemahan, pembaca tidak begitu
tertarik dengan buku lokal bergambar orang. Pembaca ingin punya imajinasi
sendiri dengan tokoh-tokoh dalam novel dan gambar sosok manusia akan membatasi imajinasi
mereka.” Saya manggut-manggut. Ooohhh gitu. Baru tahu.
Lalu saya usulin tentang bunga mawar di atas meja mother of pearl Siria. Mawar? So typical! Dan juga pakem novel islami di GPU ada sendiri. Kalau untuk Amore mereka akan "bermain" di warna pastel, bunga, interior (sofa, meja, dll). Ooohhh gitu (lagi). Baru tahu. Seru juga ya.
Setia Bersamamu
“Dinar ….
Dinar …!”
Para pedagang sibuk berteriak menjajakan dagangannya. Aneka barang
dari baju bekas hingga pernik-pernik elektronik digelar di sepanjang jalan dan
di lorong-lorong pertokoan. Riuh rendah suara orang-orang tawar-menawar.
Ramai suasana pasar dalam cuaca yang panas dan kering membuat semua
orang berjalan dengan gegas. Hiruk pikuk di hari Sabtu di Kota Tua, atau biasa
disebut Balad.
Jalan begitu padat dengan mobil yang antriannya mengular di
jalanan, merayap. Beberapa pengendara tampak tak sabaran dengan mobil-mobil
yang terpaksa harus memotong jalur saat ia keluar dari tempat parkir di
sepanjang jalan. Pun mobil yang tiba-tiba mengubah haluan, memotong jalur di
sampingnya. Klakson dibunyikan berkali-kali, bersahut-sahutan. Menambah gerah
suasana siang.
Pada umumnya, orang nampak tak hirau. Asyik dengan aktifitas
masing-masing. Sebagian mengantri di warung dan gerobak kecil yang menjajakan
kopi atau kebab di pinggir jalan. Waktunya makan siang. Tak sabar rasanya
menunggu pesanan matang. Harum daging yang dibakar, berseling dengan irisan
bawang bombai dan tomat. Sebentar lagi, kebab panas itu akan segera diangkat
dan digulung dengan selembar hubs yang sudah dingin.
Di sepanjang jalan yang mengular, orang-orang nampak sibuk
mengerumuni pedagang. Toko-toko pun nampak ramai. Para turis biasa menyerbu
para penjual souvenir. Mereka akan berburu abaya Arab maupun pasmina, produk
lumpur dan garam Dead Sea, pajangan, hingga gantungan kunci. Jika ingin
mendapat barang yang orisinil Arab, pastikan jangan sampai tertukar dengan
produk impor dari China. Bahkan, souvenir pun banyak buatan China. Sebagian
dari mereka nampak memenuhi toko rempah: mencari minyak zaitun, habatussauda, hingga
asinan mentimun, cabe, dan zaitun. Tak lupa juga buah-buah kering seperti kurma
dan tin.
Di sebuah lorong penjual karpet dan baju, Diyuna berjalan dengan
telepon genggam tertempel di telinganya. Wajahnya begitu serius dan sebelah
tangannya yang bebas sangatlah ekspresif memperagakan gerakan-gerakan,
seolah-olah orang yang berbicara di telepon akan melihatnya. Sesekali ia
menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari-cari sesuatu sebelum akhirnya ia …
terpental mundur!
Telepon genggamnya terjatuh. Tabrakan itu begitu kuat. Seseorang
dengan tergesa telah memotong jalurnya tanpa ia sadari.
“Sorry …,”
“Sorry …,”
Hampir bersamaan ucapan itu keluar. Diyuna mendapati sepasang mata
cokelat tua tatkala ia menengadahkan pandangannya. Mata itu nampak mewakili
perasaan pemiliknya yang merasa bersalah. Tapi juga mewakili … pandangan yang
aneh. Lelaki itu seperti sedang menahan nafasnya sesaat sebelum ia bergegas
mengambil telepon Diyuna tanpa memedulikan dirinya.
“Sorry,” ulangnya sambil menyerahkan telepon genggam itu pada
Diyuna. Senyumnya yang tipis membuat Diyuna tak dapat berkata-kata. Wajah itu
…, entah kenapa terlihat seperti seseorang yang … tak asing baginya. Wajah
aristokrat yang berkelas. Namun, jauh dari kesan arogan. Senyumnya tak terlalu
diobral, namun matanya begitu hangat. Orang Asia. Seratus persen yakin, Diyuna
belum pernah bertemu dengannya.
Laki-laki itu tak banyak berkata-kata. Ia bergegas meneruskan
langkah ketika Diyuna menerima telepon genggamnya. Ia nampak begitu
tergesa-gesa hingga Diyuna tak yakin dalam hitungan ketiga, apalagi sepuluh,
laki-laki itu akan berbalik dan menyadari bahwa jepit rambutnya yang kecil
masih menempel di ujung kerah jasnya.
Diyuna tersenyum sambil membetulkan sisiran rambutnya.
“Jadi kamu dimana, Mbak?” Diyuna kembali meneruskan teleponnya.
Tapi sudah ditutup.
Wah asiknya bisa ngobrol panjang sama editor. Keren nih kayaknya novelnya..
BalasHapusAamiiiinnnnnn :*
Hapus