Tulisan
berikut ini sudah lama saya tulis dalam sebuah tulisan harian yang ingin sekali
saya bukukan agar tersusun lebih rapi. Namun sayangnya perjalanan calon buku
ini tidaklah selancar yang saya dambakan xixixixixixixi
Saya merasa ide frustrasi eksistensial –yang selalu coba saya pahami- mampu bersentuhan dengan kehidupan saya: saat saya menghadapi situasi kecemasan karena harus memutuskan banyak hal dalam hidup. Galau, galau, dan galau. Tapi saya harus meneruskan hidup, bukan?
Saya belajar untuk berani membuat sebuah pilihan hidup apapun resikonya. Untuk itu, saya merasa tidak ada yang salah dengan keputusan-keputusan hidup yang sudah saya pilih. Mungkin tidak selalu “benar” tapi yang pasti akan selalu ada tanggungjawab karena belum tentu apa yang baik menurut kita adalah benar-benar baik. Barangkali justru dengan tanggungjawab itulah saya mampu menemukan kebaikan lainnya.
Pengalaman "telah memilih" itu membuat saya ingin membaginya. Saya ingin membagi satu hal yang sangat penting bahwa sesungguhnya perdebatan soal pilihan hidup yang berlarut-larut itu sungguh tidak efektif. Membenturkan pilihan sesungguhnya bukanlah ide yang baik. Fokus kita seharusnya adalah bagaimana agar bisa memilih dengan bijak dan bertanggungjawab atas pilihan itu. Fokus kita adalah bagaimana agar kita mampu memaknai setiap kehidupan yang kita jalani. Dan dengan buku ini, saya ingin membagi pengalaman bagaimana kita bisa mencoba untuk fokus dan bertanggungjawab dengan pilihan hidup kita, serta bagaimana menggapai hidup yang bermakna.
Nah, buku ini terbit atau tidak, mungkin saya lebih suka jika bisa membaginya secara berkala ^^
Saya merasa ide frustrasi eksistensial –yang selalu coba saya pahami- mampu bersentuhan dengan kehidupan saya: saat saya menghadapi situasi kecemasan karena harus memutuskan banyak hal dalam hidup. Galau, galau, dan galau. Tapi saya harus meneruskan hidup, bukan?
Saya belajar untuk berani membuat sebuah pilihan hidup apapun resikonya. Untuk itu, saya merasa tidak ada yang salah dengan keputusan-keputusan hidup yang sudah saya pilih. Mungkin tidak selalu “benar” tapi yang pasti akan selalu ada tanggungjawab karena belum tentu apa yang baik menurut kita adalah benar-benar baik. Barangkali justru dengan tanggungjawab itulah saya mampu menemukan kebaikan lainnya.
Pengalaman "telah memilih" itu membuat saya ingin membaginya. Saya ingin membagi satu hal yang sangat penting bahwa sesungguhnya perdebatan soal pilihan hidup yang berlarut-larut itu sungguh tidak efektif. Membenturkan pilihan sesungguhnya bukanlah ide yang baik. Fokus kita seharusnya adalah bagaimana agar bisa memilih dengan bijak dan bertanggungjawab atas pilihan itu. Fokus kita adalah bagaimana agar kita mampu memaknai setiap kehidupan yang kita jalani. Dan dengan buku ini, saya ingin membagi pengalaman bagaimana kita bisa mencoba untuk fokus dan bertanggungjawab dengan pilihan hidup kita, serta bagaimana menggapai hidup yang bermakna.
Nah, buku ini terbit atau tidak, mungkin saya lebih suka jika bisa membaginya secara berkala ^^
Jika Anda membaca tulisan, Anda tidak perlu
menjadi sama dengan isinya. Anda memiliki kekuatan untuk MENJADI diri Anda
sendiri dengan cara Anda. Mari berbagi … :D
Saved by Janna Gisler (Malo)
Hi!
Selamat datang di “rumah” saya. Maaf, nih,
saya sedang menyiapkan teh kesukaan saya. Biasa, teh yang saya oplos sendiri.
Saya sangat menyukai teh kental dengan aroma melati yang segar. Coba, deh ....
Oh ya ya, kita mau ngobrol soal wanita, kan?
Baiklah. Kita akan menikmati teh ini sambil ngobrol ya. Silakan, selalu ada
tempat buat Anda di meja saya. Dan tentu saja, semoga selalu ada tempat untuk
saya di meja Anda agar kita senantiasa bisa belajar bersama.
Kenapa Asyik Ngobrolin Wanita?
Kenapa tidak? Kita tahu, persoalan wanita itu
selalu penting dan serius! Why? Sebab, itu sama saja dengan
memperbincangkan diri kita sendiri. Ya, nggak? Nah, persoalan serius selalu
asyik diobrolin dengan tenang, bukan?
Sebenarnya, mungkin, kita adalah wanita yang
sama tahu bahwa kita telah hidup di jaman yang begitu kompleks. Jaman yang
begitu modern dan bahkan modernitas itu sendiri telah menemukan sebuah krisis
yang menghasilkan sebuah konsep posmodernisme. Yakni, sebuah konsep yang banyak
mempertanyakan berbagai akibat dari terjadinya modernisasi. Kitakah yang tengah
hidup dalam krisis tersebut sehingga imbas modernisasi membuat banyak pilihan
hidup terasa sulit untuk diambil?
Sebagai wanita yang hidup di jaman modern ini,
banyak dampak yang kita rasakan, termasuk soal eksistensi. Saya adalah sosok
yang pernah mengalami kecemasan eksistensial, pernah berperang dengan batin
saya mengenai banyaknya pilihan-pilihan hidup (yang diantaranya mengenai
perlunya membangun karier di luar rumah atau tidak) sebelum saya memutuskan
untuk memilih menjadi seorang ibu dan istri yang stay at home sepanjang
hari, sepanjang waktu: praktis mengurus keluarga saja atau membangun bisnis
yang menghasilkan.
Saya pernah merasa hidup saya begitu
membosankan. Galau. Tentu tidak mudah memikirkan ekistensi diri kita sendiri
saat kita harus hidup bertautan dengan berbagai kepentingan. Siapapun, bukan
hanya karena saya adalah seorang ibu dan istri yang kepentingan pribadi saya
lantas berkaitan dengan kepentingan suami dan anak-anak. Siapapun, bahkan
seorang lajang yang masih memiliki keterkaitan kepentingan dengan orangtua dan
orang-orang terdekatnya.
Sungguh, tidak mudah untuk memutuskan pilihan
terbaik yang bisa kita jalankan saat kita bersinggungan dengan kepentingan
orang lain. Misalnya, kalau saya mengikuti kepentingan diri pribadi untuk
bekerja, maka bagaimana dengan kepentingan anak saya untuk mendapatkan pelukan
dan kasih sayang saya sewaktu-waktu? Atau, bagaimana jika saya mendahulukan
kepentingan anak saya tapi saya menjadi begitu hampa, kosong, galau, dan tidak
menarik sementara setiap hari suami saya bertemu dengan banyak perempuan yang
menarik hati? Bagaimana saya bisa menutupi keinginan-keinginan akan
“bersenang-senang”: salon, nonton film, nonton konser? Bagaimana, misalnya,
saya harus merasa terbebani dengan biaya pendidikan yang telah dikeluarkan oleh
ibu saya agar saya mampu mandiri? “Bagaimana-bagaimana” yang lainnya yang
mungkin kita miliki. Karena itulah, seorang psikoterapis yang bernama Viktor
Frankl, telah mencatat bahwa masyarakat modern secara umum bisa saja mengalami
kehampaan eksistensial atau frustrasi eksistensial karena permasalahan
hidupnya. Dan, di dalam masyarakat modern itulah, saya dan Anda semua hidup.
Menurut Frankl, yang saya baca dari bukunya
Koeswara, 1987:42, individu-individu masyarakat
modern, baik tua maupun muda, dilanda keraguan atas makna kehidupan yang
mereka jalani. Kalaupun mereka sibuk bekerja dan mencoba menjalin relasi dengan
sesama, hal itu tidak memuaskan serta tidak menolong mereka dari kekosongan
batin (innevoid), sebab dari pekerjaan dan dari relasi dengan sesama itu
mereka tidak menemukan makna. Dengan perkataan lain, keinginan kepada makna (the
will to meaning) adalah penggerak utama dari kepribadian manusia.
Nah, rumit juga ya? Tapi kita akan menghadapi
itu semua. Kita bisa menemukan makna dalam hidup, jika kita memiliki tujuan
hidup. Apa sih TUJUAN HIDUP saya? Sederhana. Saya ingin menjadi pribadi
yang baik, apapun peran saya. Saya melakukan perenungan yang panjang untuk
mampu memahami dan terus-menerus menjalani hidup yang rumit ini dengan bekal
tujuan hidup tadi. Anda pasti punya tujuan hidup juga, bukan?
So? Sepertinya, sudah waktunya kita berbagi.
Untuk mewujudkan kehidupan yang bermakna, kita harus menyadari beberapa hal berikut ini:
- Keberadaan dan perkembangan manusia tidak terlepas dari keberadaan dan perkembangan dunia. Jadi, manusia akan berkembang jika dia mengembangkan dunianya.
- Kita hendaknya menyadari dan menghargai orang lain sebagai subyek seperti dirinya, subyek dengan dunianya sendiri, subyek yang selalu berproses, dan subyek yang memiliki perasaan, pikiran, dan keinginannya sendiri. Inilah yang dinamakan relasi Aku-Kamu. Jika Relasi Aku-Kamu dijalankan dengan benar, maka setiap orang akan mampu berempati terhadap orang lain karena ia selalu sanggup mencoba untuk menbayangkan apa dan bagaimana dunia orang lain itu. Sebaliknya, jika seseorang menjadikan orang lain sebagai obyek, maka ia tidak akan bisa menumbuhkan empati dalam dirinya.
- Kita tidak membutuhkan tepuk tangan orang lain hanya untuk membuktikan bahwa kita adalah “sesuatu”. Justru kita harus menyadari bahwa setiap orang memiliki tujuan-tujuan mereka sendiri. Termasuk diri kita sendiri. Kita sendiri yang harus yakin bahwa kita adalah “sesuatu”. Kita bisa merealisasikan banyak kemungkinan-kemungkinan dalam hidup ini.
Wake Up, Be Awesome! -1- | -2- | -3-| -4- |
Ini, naskah yang itu, ternyata...
BalasHapusIya, Mas Ko ^^ Kok komennya baru muncul ya xixixi
HapusInilah yg sedang saya alami
BalasHapusBunda ga sendiri :-*
Hapus