Saved by Janna Gisler (Malo)
Jadi gini, ….
Mungkin Anda seorang perempuan yang akhirnya menjadi
seorang … istri dan ibu. Ehem.
Galau? Pasti.
Sebenarnya sih karena ada perubahan PETA.
Oke!
Dulu Anda single, happy, banyak mimpi,
bebas, dan lain-lainnya, dan lain sebagainya. Saya juga begitu.
Sekarang? Saya menjadi pusing dengan banyaknya pikiran,
tugas, tanggungjawab, bla bla bla, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya.
Ada suami, anak, orangtua, mertua, teman, sahabat, atasan, anak buah, asisten,
tetangga, debt collector, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya, dan
lain sebagainya! Saya bahkan susah untuk mengejanya.
Rumit, ‘kan? Terlalu luas? Iya. Saya juga pusing. Sebab
itulah, untuk hidup yang lebih terarah dan berkualitas, saya mencoba untuk
mengurainya. Saya akan coba fokuskan pada hal yang lebih sempit: kehidupan inti
saya sehari-hari. Saya akan lebih fokus pada diri sendiri dalam porsi
yang besar, hubungan saya dengan suami, anak, dan orang lain
yang secara umum memengaruhi lingkaran hidup saya. PETA saya adalah: saya,
suami, anak, dan orang lain.
Inilah Saya!
OBROLAN 1
“Kata "vertikal" dalam persepsi
saya selalu menyediakan bayangan
"siapa yang di atas" dan "siapa yang di bawah". Sedangkan
kata horisontal selalu menghadirkan persepsi kesetaraan, sama bagus, sama
keren, sama ideal yang tentu saja miturut versi masing-masing. Bahkan, salah
seorang sahabat saya pernah bilang bahwa idealisme itu berarti “ideal-is-me”.
Setiap individu pasti merasakan sebagai "me". Tentu saja,
masing-masing sama senang di-aku-kan.”
Idealisme Mbak-Mbak dan Ibu-Ibu
Soal idealisme ini, saya lebih suka menggunakan kata
"dan" daripada "vs". Mengapa? Saya selalu berpikir bahwa
idealisme masing-masing orang itu lebih bersifat horisontal daripada vertikal.
Kata "vertikal" dalam persepsi saya selalu menyediakan bayangan "siapa yang
di atas" dan "siapa yang di bawah". Sedangkan kata horisontal
selalu menghadirkan persepsi kesetaraan, sama bagus, sama keren, sama ideal
yang tentu saja miturut versi masing-masing. Bahkan, salah seorang
sahabat saya pernah bilang bahwa idealisme itu berarti “ideal-is-me”. Setiap
individu pasti merasakan sebagai "me". Tentu saja, masing-masing sama
senang di-aku-kan.
Lalu, apa iya, dua idealisme jika dibenturkan akan
menjadi bermasalah? Dua hal yang berbeda jika diversuskan itu akan mendatangkan
rasa tak nyaman? Ada apa dengan idealisme "mbak-mbak" dan
"ibu-ibu" ini?
Saya pernah merasai menjadi "mbak-mbak".
Menjadi "mbak-mbak" ini membuat saya merasa keren minta ampun. Jelas
dong, masih single, masih seger, masih kinclong, masih
lucu-lucunya kalau lagi manyun (at least, that's what a single man said
about me and decided to marry me, hehe), dan yang penting, saya adalah
seorang fresh graduate. No wonder, idealisme saya juga jadi unik,
dong! Saya ingin sekolah lagi. Saya ingin jadi dosen yang hobi nulis jurnal
dengan pemilikan perpustakaan pribadi yang at least 3x4m. See?
Belum kebayang, deh, untuk jadi stay at home my. So?
So, dengan idealisme seperti itu dulu, jika saya bertemu
dengan ibu-ibu di sebuah acara publik yang sibuk bertukar resep atau ribut
membahas baju yang akan dikenakan untuk menghadiri sebuah undangan, dengan
"rese" saya akan melirik sambil bergumam, "Astagaaa...,
ibu-ibu geje...."
Oh, no! Nurani saya langsung berteriak,
"Sejak kapan loe punya bakat jadi Fir'aun, sih?" Sombong
bangggeeettt....
Nah, setelah beberapa saat kemudian saya
"bermetamorfose" menjadi seorang istri dan ibu, ternyata idealisme
saya menjadi bergeser. Kok bisa? Gara-garanya, setelah menjadi istri orang yang
otomatis memengaruhi kehidupan sosial saya, ternyata saya menemui beberapa
undangan yang mengharuskan saya jadi suka pusing memikirkan baju yang sekiranya
pantas untuk saya kenakan. Saya juga nggak mau kalau sampai salah kostum!
Parahnya, dalam sebagian undangan, saya tertarik juga
dengan beberapa makanan yang disajikan sehingga membuat saya berpikir untuk
mencari tahu cara memasaknya agar saya pun bisa menyajikannya untuk tamu-tamu
saya kelak. Belum lagi resep makanan sehat dan bermutu yang harus saya sajikan
untuk keluarga saya. Ah, itu hanya beberapa contoh kecil saja kenapa saya
menjadi begitu peduli dengan hal-hal yang dulunya saya anggap "geje"
itu.
Aduuuh, kalau sudah begini, saya jadi ingat seorang
pemerhati posfeminisme, Ann Brooks, yang mengatakan bahwa faktanya wanita hidup
dalam kompleksitas yang berbeda-beda. Mau itu "mbak-mbak" atau
"ibu-ibu", semuanya adalah wanita yang sudah selayaknya bangga akan
kewanitaannya dan mampu menjalankan semua perannya dengan penuh kesadaran dan kebahagiaan.
Sudah nggak jamannya"rese" sama orang.... Nah lho!
Jadi, perlu ngga meributkan idealisme? Nggaaa. Just
stay on the track!
Catatan 2:
- Setiap wanita, bahkan setiap fase dalam hidup mereka, memiliki ketertarikan dan peran yang berbeda-beda. Yang terbaik adalah selalu fokus dengan apa yang ingin kita lakukan dalam hidup ini.
- Sesudah menikmati peran baru sebagai istri yang sering disebut ibu-ibu, saya bengong melihat “dunia persilatan ini”. Sooo drama! Saya dihadapkan pada realita pandangan masyarakat, bahkan pandangan sesama wanita, yang “kejam”.
Wake Up Be Awesome -1- | -2- | -3- | -4- |
Baru kali ini mampir ke blognya Santi..
BalasHapusTulisan Santi selalu asik dan berkelas..
Yg ini mengingatkanku pd draft "Being Me" .. apa kabar naskah itu? :)
Kelas berapa, Teh Lindaaaaaaaaaa *big hug* Makasih udah mampir. Iya, ini naskah Being Me yang udah permak sana sini xixixixixixi Miss you
Hapus