Saved by Janna Gisler (Malo)
Problematika Wanita
Ketika mengikuti
percakapan teman-teman saya dalam sebuah komunitas wanita, saya langsung
mengerutkan kening dan bertopang dagu. Merenungi dan mencoba berdialog dengan
hati sekiranya ada sesuatu yang bisa saya nilai sebagai sebuah “kebaikan” dari
percakapan itu. Saya menyukai sesuatu yang ideal dan obyektif, tentu saja.
Namun, seperti yang juga saya rasa, setiap kepala tentu memiliki gagasannya
sendiri dalam memandang kehidupannya.
Nah, apa isi percakapan
itu? Masih sama isunya: Working Mom vs Stay at Home Mom, Salon vs
Perawatan Mandiri, Pengobatan Modern vs Tradisional, ASI vs Sufor, MPASI instan
vs home made, dan lain sebagainya. Mengapa suka berkontroversi? Tidakkah
terpikir bahwa selalu ada alasan untuk didengarkan?
Dikotomi ini terlalu
jelas. Lebih jelas dari fakta yang sebenarnya ada dan tentu saja: tidak
sesederhana itu, sayaulangi, TIDAK SESEDERHANA ITU dalam pandangan perempuan
itu sendiri. Mengapa?
Ambil satu pendapat teman
saya yang mengatakan bahwa ia sangat bangga dengan usahanya dan merasa bangga
karena bisa sepanjang waktu di rumah kemudian dengan santainya berujar bahwa ia
bisa menjadi kaya tanpa harus meninggalkan rumah dan keluarga. Dari
komentarnya, ada terselip bahwa ia tidak lebih buruk dari ibu-ibu yang
memutuskan bekerja di luar dan meninggalkan anak-anaknya. Pun, saya mencium ada
perasaan bahwa ia tentu saja lebih baik dari perempuan yang “hanya di rumah
saja” meski saya tahu benar bahwa dalam berinteraksi, teman saya ini terlihat
sangat menghargai perempuan yang “hanya di rumah saja” yang biasa disebut
sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT). Apa tolok ukurnya? Sayakira adalah materi dan
eksistensi.
Ada dua hal yang menurut
saya ganjil. Pertama, ia bangga bisa berada di rumah dan bisa menghasilkan
materi, seolah merasa lebih baik dari orang yang berkarier di luar rumah dan
sedikit merasa lebih unggul dari IRT yang tidak eksis. Kedua, saya tentu tidak
yakin dalam berbisnis, meski ia di rumah, ia tidak akan mencuri waktu untuk
keluarganya dengan intensitas yang cukup serius padahal ia berkomitmen untuk
menjadi “orang rumah” yang akan mencurahkan waktu sepenuhnya untuk suami dan
anak-anak? Adakah usaha yang membuat menjadi kaya tanpa harus bekerja keras?
Lalu, adakah yang salah dengan seorang perempuan yang secara lebih jelas
mengambil waktu antara jam sekian hingga sekian untuk bekerja lalu pulang ke
rumah untuk mengurusi suami dan anak-anaknya?
Satu lagi teman saya,
memilih keluar dari pekerjaannya untuk suami dan anak-anaknya. Ia berpendapat
bahwa itu suatu keputusan yang tepat dan kemudian menjadi tidak habis pikir
mengapa perempuan-perempuan harus memutuskan bekerja saat suaminya mampu
memberinya kehidupan yang layak. Ia memiliki perasaan bahwa itu adalah sebuah
“kejahatan” bagi rumah tangga. Tidak mungkin bisa perempuan berkarier tidak
capek mengurusi rumah tangga. Saat sikapnya terhadap perempuan bekerja itu
terbentuk seperti itu, ia merasa hidupnya kadang mengalami kemunduran dan dia
juga menanyakan mengapa saat ia bergaul dengan IRT lain bahkan ia mendapati
fakta yang sangat mengejutkan bahwa banyak IRT yang memiliki konsep diri yang
rendah. IRT teman bergaulnya bahkan tidak memercayai bahwa ia adalah seorang
sarjana.
Ada lagi teman saya yang
begitu bangga sebagai perempuan pekerja dan berpendapat bahwa perempuan yang
tidak berkarier dan memutuskan menjaga suami dan anak-anaknya di rumah adalah
perempuan yang menyia-nyiakan hidupnya. Berbusa-busa ia meyakinkan saya akan
eksistensi, akan besarnya biaya hidup di kota besar (yang menurut saya sangat
relatif), akan pandainya ia mengatur waktu antara rumah dan keluarga. Toh, bagi
saya itu hanya sebuah excuse karena pada prakteknya, saya
tidak melihat keharmonisan rumah tangga-nya.
Tentu kalau saya mau ambil
contoh yang lebih lanjut, adalah sebagian teman IRT saya sendiri yang merasa
bahwa menjadi IRT adalah satu-satunya keputusan yang begitu mulia hingga mereka
begitu sinis melihat perempuan bekerja atau malah tidak perduli sama sekali.
Tanpa ampun, mereka terjebak dalam rutinitas harian yang sangat monoton tanpa
motivasi untuk memperbarui diri sehingga yang nampak oleh saya adalah IRT yang
biasa-biasa saja: maju tidak, mundur iya. Tidak pernah bermasalah dan tidak
pernah berprestasi. Biasa saja. Susahnya, jika di antara mereka ada yang
terjebak pada dua titik ekstrim. Sebagian mereka menilai terlalu rendah diri
mereka sendiri sehingga menjadi cenderung tidak percaya diri, merasa tidak
berharga, merasa serba negatif. Sebagian lain malah gagal untuk mengenali dan
mengakui keterbatasan mereka, kurang bisa mengemukakan alasan-alasan dalam
bertingkahlaku sehingga menjadi begitu defensif dan tinggi hati.
Saya tentu tak harus mengambil
contoh teman saya yang lainnya, Anda bisa mencarinya sendiri. Alih-alih
menemukan titik yang jelas tentang apa yang sebenarnya diinginkan oleh
perempuan, saya cenderung melihat bahwa banyak dari teman perempuan saya tanpa
menyadari benar perilaku dan pendapatnya, mereka seringkali berperilaku dan
berpendapat seperti apa yang diharapkan oleh orang lain kepada dirinya untuk
berperilaku dan berpendapat.
Selain menerima fakta
bahwa dua dikotomi yang telah sayasebutkan di atas memiliki kompleksitas, saya
terkejut mendapati fakta bahwa diri saya kebingungan melihat sikap beberapa
perempuan. Mungkin saya-lah yang naïf, saya-lah yang bodoh, saya-lah yang Iebay….
Tapi, saya lebih menyukai diri saya yang jujur. Sungguh, saya bingung: apa yang
sebagian perempuan kehendaki saat berperilaku dan berpendapat dalam kehidupan
mereka?
Secara pribadi saya lebih
menyukai perempuan yang tidak pernah
bangga pada pencapaian prestasi yang merupakan harapan banyak orang: perempuan
karier sukses, perempuan IRT sukses, perempuan pengusaha sukses. Saya menyukai
perempuan yang bangga karena ia memang seharusnya bangga akan dirinya sendiri
dan pencapaian prestasinya. Ia memiliki pengetahuan dan alasan dari setiap
perilaku dan keputusannya. Saya menyukai perempuan yang bersikap bahwa dialah
seorang perempuan yang pantas dilihat sebagai seorang perempuan. Sukses dan
bijak sebagai dirinya sendiri sehingga orang di luar dirinya tidak perlu
melihatnya berdebat dengan sesama perempuan dan menghadirkan penilaian yang
tidak masuk akal dari orang luar mengenai diri seorang perempuan itu sendiri.
Saya menyukai perempuan
yang tidak pernah merasa mendapat pesaing dan ia tidak pernah menoleh dan risau
pada kelebihan dan kekurangan orang lain. Ia menjadi dirinya sendiri dan tidak
pernah merasa lebih bangga atau lebih buruk dari perempuan yang pernah iajumpai
secara berlebihan. Saya menyukai perempuan yang menjabat tangan orang lain
dengan penuh kelapangan dan kebebasan saat ia bertemu dengan pemenang maupun
pecundang. Bahkan, pada saat dirinya tengah berada di puncak kejayaan atau
harus mengalami kegagalan. Perempuan yang tidak pernah merasa dirinya harus
menang atau kalah dalam arti yang sebenarnya. Perempuan yang menganggap bahwa
hidup adalah perjuangan dan tanggungjawab. Titik. Cukup. Tanpa ada tambahan dan
persepsi lain dalam sebuah “perjuangan” dan tanggungjawab.
Saya berpendapat, bahwa
setiap perempuan memunyai kehidupan yang sangat personal dan sangat berbeda
antara satu dengan lainnya. Perempuan memiliki persinggungan eksistensi
yang berbeda antara satu orang dengan yang lainnya sehingga menghasilkan
prioritas dan kompromi dalam hidupnya yang tidak pernah sama. Perempuan hidup
dalam budaya, keyakinan, sistem, dan bahkan geografis yang berbeda. Terlebih,
perempuan memiliki kesempatan dan takdir yang berbeda.
Kebetulan, saya mengagumi
seorang sosok perempuan yang terlibat aktif dalam politik. Luar biasa,
putra-putrinya selusin, ibadahnya bagus, dan prestasinya baik. Dalam pandangan
saya, ia pun menutup usia dengan keadaan yang baik. Luar biasa. Saya tentu
menjadikannya sebagai teladan, tapi saya tidak pernah iri dengan kesempatan dan
takdir yang dimilikinya. Saya merasa, ia telah menjumpai takdirnya saat ia
berkontribusi besar sejak partai politik itu berdiri. Maka, tak mengherankan
jika ia pun mendapatkan tempat dan dukungan secara sistemik. Ia hidup dalam
mekanisme partai dan mekanisme itu berjalan turut menyukseskan seluruh karier
dan kehidupannya. Ia hanya seorang yang baik dalam hidupnya dan pandai
mengambil serta menghargai kesempatan dalam takdirnya sehingga ia menjadi
sukses baik kehidupan rumah tangga-nya maupun karier politiknya. Dia pantas
sayakagumi.
Saya tidak pernah merasa
iri mesti saya senang melihat kehidupan seorang Kyai yang istrinya seorang
professor yang dengan kesibukan akademisnya menjadi sangat jarang berada di
rumah. Namun, saya melihat bahwa keluarganya hidup sangat harmonis dan
putra-putrinya sukses dalam kehidupan masing-masing.
Saya juga menghormati
seorang perempuan yang memilih untuk menjadi IRT demi mendukung anak-anaknya
atau bahkan karier suaminya. Dan, ia terbukti konsisten dengan keputusannya
sehingga kehidupan pribadi dan sosialnya berjalan dengan amat sangat baik.
Anak-anak sukses, karier suami juga cemerlang.
Tentu saja, saya juga
mencoba mensyukuri dan mengagumi kehidupan yang sudah sayapilih dan jalani.
Saya tidak merasa harus melukai keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan diri
sendiri dengan pendapat orang lain, sebaliknya, sayaulangi, sebaliknya, saya
tidak harus melukai keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan orang lain dengan
pendapat saya pribadi. Sebab, hidup bagi saya adalah perjuangan dan
tanggungjawab. Dan, jika Anda jeli, Anda akan mengkritisi mengapa saya perlu
kosakata “mencoba” dalam mensyukuri dan mengagumi kehidupan. Bagi saya, kata “mencoba”
selalu berkaitan erat dengan “perjuangan”. Tidak pernah ada kata yang manis,
pasti, dan mudah dalam sebuah perjuangan. Maka, tatkala teman-teman perempuan
komunitas saya melangkah bersama saya, saya pun berharap langkah kami adalah
sama. Kami sedang berjuang. Bahkan, untuk menghapuskan kesan keliru terhadap
diri perempuan itu sendiri. Kami bukan orang yang kecil hati, kami adalah
pejuang!
Bagaimana caranya menjadi diri sendiri?
- Mampu jujur pada diri sendiri daripada menipu diri sendiri karena pendapat orang lain.
- Menghargai diri sendiri sekecil apapun prestasi yang diraih.
- Tidak sirik atau silau dengan prestasi orang lain.
- Mampu menempatkan diri di saat berada di puncak kesuksesan maupun saat merasa terpuruk.
- Menghargai orang lain dengan segala kelebihan dan kekurangannya karena mengerti bahwa setiap perempuan memiliki kehidupan yang berbeda satu dengan lainya. Perempuan hidup dalam budaya, keyakinan, sistem, dan bahkan geografis yang berbeda. Terlebih, perempuan memiliki kesempatan dan takdir yang berbeda.
- Mengerti bahwa hidup bukanlah persaingan tapi hidup adalah perjuangan dan tanggungjawab.
- Menghargai pilihan hidup yang sudah diambil dan menghindari untuk mengecilkan pilihan hidup orang lain.
Wake Up, Be Awesome -1- | -2- | -3- | -4- |
Selaluuuh suka tulisanmu mak...kepoin ah dari awal
BalasHapusTerima kasih, Maaak ^^
Hapus