Rabu, 18 November 2015

WUBA! -4- Ini Soal "Ayo Maju ke Depan"



OBROLAN 2
“Sempat saya merasa "tidak menjadi seseorang" ketika harus mengurusi banyak hal dalam rumah tangga yang sepertinya tidak habis-habis. Apa ini akibat saya nurutin NURANI sehingga membuat saya merasa terlempar dalam jurang yang dalam? No.... No.... No! Ini bukan soal salah benar!
Ini soal AYO MAJU KE DEPAN.”




Saya Merenung....

Buat ibu-ibu seperti saya, "serangan" pujian sebagai penulis yang profesional sudah membuat saya melayang. Siapa saya, sih? Baru juga mulai eksis dengan beberapa buku yang nggak sepopuler Alberthiene Endah atau sedramatis Kang Abik (maunya). Lalu datang permintaan untuk menjadi "guru" menulis, lalu permintaan membaca naskah ini itu, jadi juri lomba, jadi "seleb sombong" karena nggak selalu ngasih komen kalau disapa di FB, email, atau sms, terakhir yang paling aneh, rekomendasi untuk meraih beasiswa seniman panggung. Ada-ada saja. Nggak salah? Siapa saya, sih? (Gayanya. Padahal, saya suka semua pujian dan cibiran itu karena menandakan bahwa saya ini "ada".) 

Oke, saya adalah seorang wanita yang memutuskan untuk menjaga keluarga dari dalam rumah. Secara pilihan itu memang lebih populer di kalangan sosialita partikel-partikel positif yang suka kumpul-kumpul di zona bernama HATI. Hati saya. Provokatornya tentu saja NURANI. Tahulah..., nurani tentu saja bersifat intuitif. Tak dapat direduksi menjadi sebuah bisikan sederhana yang bersifat universal. Oleh karena itu, ia menjadi bersifat sangat personal. Lebih sensitif dalam merespon setiap permasalahan dibandingkan dengan sosialita yang suka ngerumpi di akal saya dan paling senang mengeluarkan statement-statement yang "panas".



Sudah Benar Pilihan Saya?

Waktu itu masih remang-remang. Ini berawal dari himbauan suami untuk tidak memutuskan bekerja di luar rumah. Kesadaran akan ketiadaan (nothingness) begitu menghantui saya. Sempat saya merasa "tidak menjadi seseorang" ketika harus mengurusi banyak hal dalam rumah tangga yang sepertinya tidak habis-habis. Apa ini akibat saya nurutin NURANI sehingga membuat saya merasa terlempar dalam jurang yang dalam? No.... No.... No! Ini bukan soal salah benar! Ini soal AYO MAJU KE DEPAN.

Pikir punya pikir: saya enaknya ngapain, ya? Suami nggak pernah melarang saya bekerja, tapi himbauan-himbauannya tetap saja membuat saya merasa tidak boleh bekerja di luar. Melihat anak saya yang masih kecil itu, yang kalau pas sakit panas bisa membuat saya dan suami cemas setengah mati, saya juga nggak kepikiran buat kerja di luar rumah. Tapi..., saya merasa tidak memiliki eksistensi sendiri sebab saya selalu di rumah, sebab saya memercayakan hidup saya pada kekuatan luar (baca: suami) dan menjadikan kekuatan itu "bertanggungjawab" terhadap kehidupan saya sendiri. Oh No! Tiba-tiba perasaan kosong, tidak bermakna, mampir di pikiran dan jiwa saya. Kekosongan ini menjelma menjadi sebuah perilaku yang menyebalkan: BOSAN. Saya dilanda kebosanan yang luar biasa.

Barangkali secara psikis, kita akan mengalami kekacauan jika emosi berbicara tanpa akal sehat. Maka jadilah saya seorang melankolis yang malang. Kadang nggak sadar, gara-gara ini juga komunikasi dengan suami jadi ikut terganggu. Dasarnya kadang sepele, saya sedikit iri suami bisa begitu “bebas” sedangkan saya “terpenjara” dengan berbagai tugas rumah yang menguras perasaan ini. Hehehe.

Tepikan dahulu ego saya. Saya gunakan analisis transaksionalnya Eric Berne dalam menganalisis fenomena yang saya alami. Aduhhh, saya ada dalam posisi "Saya tidak Oke, Kamu Oke". Parahnya, ini adalah sejenis sikap orang yang tidak yakin dengan dirinya sendiri. Dia melihat orang lain lebih baik darinya. Saya akhirnya memang harus merenung.... Apa betul saya tidak “oke”?

Sepertinya, hasil renungan saya mengatakan bahwa rupanya saat ini saya sedang meributkan eksistensi saya sebagai wanita. Saya ingin menjadi “sesuatu” yang lebih penting dari sekarang. Hloh? Sebagai seorang wanita yang relijius, apa nggak cukup mengejar eksistensi jadi istri dan ibu yang shalihat?

Bukan! Ini bukan soal relijiusitas saja. Artinya, bagi saya, keinginan akan sebuah pengakuan itu berbanding lurus dengan konsep relijiusitas: keshalihan. Artinya lagi, kalau saya sukses di dua hal itu maka akan saya dapatkan apa yang namanya kebahagiaan dunia akhirat. Gampangnya begini, saya kadang bengong ada yang bilang: Huebbat ya Bu Maryam itu, sudah shalihat, bisnisnya sukses! Denger-denger baru saja beli vila lagi untuk disulap jadi yayasan yatim piatu.

Nah, lain Bu Maryam lain saya, dong! Kalau Bu Maryam sudah sukses jadi pebisnis, maka saya masih dalam tingkatan yang bengong ingin "menjadi". Saya rupanya kena juga sindrom ingin diketahui kalau saya itu "ada".

Kalau saya mau naik kelas ke tingkatan yang lebih tinggi, saya harus putar otak bagaimana caranya saya bisa moving forward! Kenyataannya, selama bertahun-tahun menikah, saya ya begitu-begitu saja. Dapur, sumur, kasur.

Jadi, apa ya yang bisa membuat saya merasa eksis? Tadinya, saya merasa "melayang" setiap suami memberi pujian praktek masakan atau kue saya yang berhasil. Pujian rumah yang bersih dan rapi. Saya gitu, lho! Cuma ya itu, kok berasa di dunia hanya ada saya dan suami, ya? Oh! Apakah saya merasa nyata jika bisa hidup bersama orang lain?

Maya nggak maya sudah nggak jadi masalah lagi. Selain ini efek individualisme manusia metro, nyatanya di Facebook saya merasa "ada". Bayangkan, nulis status yang cuma beberapa karakter saja sudah menuai komen. Belum nulis catatan. Wah, rasanya kok menghangat seluruh badan ini. Saya kadang mendapat pujian, tak jarang mendapat dukungan, empati. Ternyata, saya nggak hidup sama suami doang di dunia ini! Hidup kok ya jadi tidak jenuh karena dapur, sumur, dan kasur. Hidup jadi terasa lebih berwarna dari sekedar warna putih tembok dan paling banter cat cokelat daun pintu. Bahkan, feedback langsung dari teman-teman itu menandakan bahwa saya ini manusia yang eksis. Ada yang memperhatikan saya, peduli dengan saya. Ealah, keinginan saya untuk "menjadi" dan "mengada" itu kok ya sesederhana itu ternyata....



Oh, Hanya Ingin "Diakui" Sajakah Saya?

Astaga, siapa sangka, soal eksistensi saya ini ada yang protes. Bukan soal betapa sederhananya kebutuhan jiwa saya itu. Tapi, batin saya "nyinyir", protes bahwa saya ini ternyata nggak naik tingkatan dengan merasa sudah mengatasi persoalan eksistensi ini. Saya turun tingkatan katanya!

Lho? Kok bisa? Jangan lha-lho saja. Itu, siapa itu yang masih kebingungan ingin "menjadi", mencari sesuatu, hingga tersangkut di dunia maya pun tak masalah? Itu tandanya saya beberapa fase saja di atas infantil, alis remaja yang masih mencari pengakuan. Saya ini, yang sudah puluhan tahun, harusnya memenuhi tugas-tugas perkembangan dewasa. Apa itu? Memikirkan kemapanan. Lha, ini, masih sibuk nyari pengakuan.

Waduh, ada yang ketelingsut dari batin saya yang sudah nyinyir itu. Orang memang bisa menjadi tidak dewasa karena pengalaman psikologis tertentu. Namun, orang yang sudah dewasa pun, yang sudah mapan pun, bisa terkena neurosis yang satu ini. Apa itu? Noogenik Neurosis. Yakni, sebuah kecemasan akan kehampaan eksistensial. Wajar? Ya!

Siapapun, orang dewasa atau orang tua, bisa mengalaminya. Mereka memang selalu menjalin relasi dengan siapapun. Namun, batin mereka kosong. Sebabnya? Macam-macam. Kalau saya, ya penyebabnya adalah kehampaan sebagai ibu rumah tangga. Titik, tanpa koma. Maka "titik" itu bersambung dengan kalimat berikutnya: memang, tidak semua ibu rumah tangga itu mengalami noogenik neurosis yang disebabkan oleh frustrasi eksistensial seperti saya. Ya kadang justru mereka merasa kosong karena mereka membiarkan hidup dan pikirannya kosong. Malas. Kurang peduli dengan kehidupan itu sendiri. Atau mereka memang "otak anak-anak" yang terjebak pada badan orang dewasa. Ingat, ini persoalan saya yang unik. Orang lain memiliki persoalan yang unik pula.

Jadi, fakta yang ada adalah tidak semua yang asyik di Facebook, nge-Blog, atau dunia maya lainnya itu menderita sebuah penyakit "pencarian jadi diri" layaknya seorang yang tidak dewasa. Mereka hanya berusaha menemukah sebuah makna dalam hidup. Setak penting apapun itu. Sesederhana apapun. Bahayanya, kalau sampai ada orang yang bilang itu adalah sebuah bentuk "pelarian". Aduh! Hari gini jangan suka membuat kesimpulan nggak penting, ya. Tahukah Anda? Bahkan, apa yang mungkin dikatakan orang sebagai sebuah bentuk pelarian atau katarsis nggak penting itu  bisa mendatangkan solusi yang lebih baik. Sebagai manusia, ‘kan, kita berhak mendatangkan banyak kemungkinan baru untuk kita hadapi. Semakin banyak kemungkinan, semakin banyak pintu pemecahan masalah hidup. Kalau Anda bahagia dengan apa yang Anda lakukan, apakah Anda harus pusing dengan “apa kata orang”?So, masih pusingkah dengan "apa kata orang"? Kita tahu apa yang sedang kita pilih dan kita lakukan!

Buat saya, kemungkinan yang bisa saya bangun jika saya aktif di Facebook adalah saya bisa bergabung lagi dengan teman penulis. Artinya apa? Artinya, dengan kembali menulis, saya telah mewarnai hidup saya sendiri. Facebook telah menjadi ajang sosialisasi dan membuat jaringan. Saya tak pernah lupa, saya ini pernah jadi penulis yang bisa beli komputer dari hasil tulisan sendiri. Itu jaman masih jadi mahasiswa. Hehehe.

Nah, efeknya kemudian adalah seperti paragraf di atas yang saya tuliskan. Saya "dituduh" sudah jadi ibu-ibu penulis beneran. Yang jelas, saat saya menikmati peran saya sebagai penulis (yang masih harus belajar), kok ternyata saya masih belum berani menempatkan itu di atas prioritas keluarga saya. Jadi, saya nggak moving forward lagi? Stuck saja? Nggak ingin membangun kemapanan di dunia kepenulisan sebagai menifestasi kedewasaan saya?

Lain Bu Maryam, lain saya. Kerajaan bisnis adalah bukti keberadaannya sedangkan saat ini saya menjadi otentik dengan menulis. Namun, untuk keep on moving forward being a writer ini masih berbenturan dengan banyak hal, terutama prioritas hidup saya untuk menjaga keluarga dari dalam. Alon-alon asal kelakon, bisik batin saya. Saya juga tidak merasa stuck, kok. Justru saya merasa sudah mengatasi masalah saya yang unik itu. Tidak apa-apa saya belum menjadi sesuatu. Saya full mengurus keluarga dengan tidak mencari aktifitas yang menghasilkan pendapatan tambahan. Selama keluarga saya happy dan baik-baik saja. Selama saya tahu apa yang menjadi prioritas kehidupan saya. 

Saya mampu  memaknai kehidupan saya sekecil apapun nilainya. Saya mengetahui satu hal, bahwa kegalauan saya ternyata bukan berfokus pada saya harus menjadi wanita dengan karier bergengsi di luar rumah atau menjadi wanita yang sepanjang hari berada di dalam rumah. Kalau memang ekonomi saya buruk, bukankah saya memang harus bekerja mencari tambahan? Betul. Oleh sebab itulah, saya mencari fokus saya. Prioritas saya. Apakah saya harus bekerja di luar rumah, ataukah membangun bisnis di dalam rumah. Saya sendiri yang tahu dan bisa mengukur. Oke, hidup suami saya mapan. Tapi saya terbiasa aktif di luar dan saya bisa gila jika hanya berada di rumah. Apakah saya harus menjadi gila? Tidak. Saya sendiri yang tahu dan bisa mengukur. Maka, fokus saya seharusnya adalah bagaimana saya mampu memaknai setiap detik kehidupan saya.


Wake Up, Be Awesome! -1- | -2- | -3-|-4- |

3 komentar:

  1. Nice share Mak :D Menurutku sih emang kita sendiri yang paling tahu apa yang kita inginkan dan butuhkan. Orang lain mah cuma bisa komentar.

    BalasHapus
  2. Saran aja San. Baiknya latar blognya terang tulisannya gelap. Kalau sebaliknya, ini di hp kelihatan latarnya coklat tulisan krem, mulai masuk paragrap 4 ke bawah mulai silau bacanya. Untuk konten tetep khas santi lah ini :)

    BalasHapus

Pengikut

Supporting KEB

Supporting KEB
Kumpulan Emak Blogger

Histats

Histats.com © 2005-2014 Privacy Policy - Terms Of Use - Check/do opt-out - Powered By Histats