OBROLAN 3
“ …
individu-individu masyarakat modern,
baik tua maupun muda, dilanda keraguan atas makna kehidupan yang mereka jalani.
Kalaupun mereka sibuk bekerja dan mencoba menjalin relasi dengan sesama, hal
itu tidak memuaskan serta tidak menolong mereka dari kekosongan batin
(innevoid), sebab dari pekerjaan dan dari relasi dengan sesama itu mereka tidak
menemukan makna.”
Saved by Janna Gisler (Malo)
Berkenalan
dengan Frustrasi Eksistensial? Yuk, Mariii
Sederhana saja, kata kunci dari renungan saya
yang panjang kali lebar kali tinggi itu adalah: kosong, tidak bermakna, bosan.
Ingat, nggak, beberapa saat tadi kita ngobrolin gagasan Frankl tentang makna
hidup dan frustrasi eksistensial. Nah, dengan kata kunci tadi, adakah hubungan
keadaan saya dengan teori Frankl?
3 Hal Penting yang Mendasari Teori Frankl
1. Kebebasan
Berkeinginan (Freedom to Will)
Dalam pandangan Frankl (Koeswara, 1987:37),
kebebasan, termasuk kebebasan berkeinginan, adalah ciri yang unik dari
keberadaan dan pengalaman manusia. Namun rupanya Frankl juga berpikiran bahwa
kebebasan manusia sebagai makhluk tidaklah benar-benar tanpa batas yang tidak
menghiraukan dimensi biologis, psikologis, dan sosiologis. Namun bagaimanapun,
manusia bebas mengambil sikap dalam hidupnya.
Manusia bebas untuk "tampil" dan
membuka banyak dimensi-dimensi keberadaannya sehingga ia dapat mengambil
berbagai kemungkinan yang bisa ia usahakan. Manusia tidak hanya sanggup, tapi
juga bebas menyikapi dunia ini, bahkan menyikapi dirinya sendiri! Jadi, kalau
masih saja ada manusia yang tidak bisa mengambil sikap, baik bagi dirinya,
orang lain, maupun dunia ini, berarti manusia itu masih belum memiliki
kebebasan dalam berkeinginan.
2. Keinginan
kepada Makna (The Will to Meaning)
Nah, hayo, siapa yang mau bilang bahwa dia
tidak ingin hidupnya bermakna? Kata Frankl, keinginan manusia untuk bermakna
merupakan keinginan utama yang tidak pernah padam. Jika seseorang merasa
hidupnya bermakna, tentu saja ia akan bahagia.
Frankl sendiri tidak pernah menganggap bahwa
manusia itu "membutuhkan makna". Ia berpendapat bahwa manusia itu
"berkeinginan terhadap makna". Artinya apa? Kata "butuh"
dan "ingin" itu berbeda. Menurut Frankl, melihat makna sebagai
kebutuhan sama dengan beranggapan bahwa manusia masih berlaku berdasarkan
dorongan-dorongan dan naluri dari dalam dirinya. Namun, memandang makna sebagai
sebuah keinginan, sama artinya mengatakan bahwa manusia memiliki kesadaran
penuh. Dalam keadaan "ingin", manusia melakukan banyak pilihan dan
mengambil sikap sesuai apa yang dia kehendaki.
Makna hidup itu bersifat personal dan unik.
Setiap individu memiliki pilihan dan caranya sendiri dalam menciptakan makna
dalam hidupnya.
3. Makna Hidup
(Meaning of Life)
Manusia adalah makhluk yang berbeda dari yang
lainnya. Hidup manusia selalu mengambil porsi dalam sejarah, yang akan
membentuk sejarah itu sendiri. Sebab, manusia hidup tidak hanya bertujuan, tapi
juga memiliki makna. Sekumpulan semut sampai kapanpun tidak akan pernah
memiliki sejarah meskipun aktifitas mereka memiliki tujuan. Karena apa? Karena
mereka tidak memiliki makna. Dan, keinginan manusia akan makna hidup ini
rupanya telah ada sejak manusia mengalami pubertas!
Frustrasi Eksistensial
Apa yang dimaksud dengan Frustrasi
Eksistensial? Dalam pengalaman hidup Frankl di kamp konsentrasi NAZI, Frankl
mencatat bahwa ketidakberdayaan, keputusasaan, dan keinginan yang kuat untuk
bunuh diri pada para tawanan adalah karena bagi mereka hidup ini sudah tidak
lagi memiliki makna. Situasi ini dinamakan Frankl dengan kehampaan eksistensial
(existential vacuum), yakni suatu situasi yang ditimbulkan oleh
frustrasi dalam memenuhi keinginan kepada makna, disebut juga sebagai frustrasi
eksistensial. Hanya sedikit tawanan yang bisa terhindar dari frustrasi
eksistensial ini, yakni mereka yang mampu menemukan makna dalam penderitaan dan
makna kematian yang setiap saat bisa merenggut nyawa mereka.
Lho? Lalu apakah pengalaman dari kamp ini
relevan jika kita pakai? Menurut Frankl, justru teori ini relevan digunakan
sebab keadaan kehampaan eksistensial dan frustrasi eksistensial ini adalah
masalah yang umum terjadi pada masyarakat modern. Beda penderitaan saja.
Masih menurut Frankl, yang saya baca dari
bukunya Koeswara (1987:42), individu-individu masyarakat modern, baik tua maupun muda, dilanda
keraguan atas makna kehidupan yang mereka jalani. Kalaupun mereka sibuk bekerja
dan mencoba menjalin relasi dengan sesama, hal itu tidak memuaskan serta tidak
menolong mereka dari kekosongan batin (innevoid), sebab dari pekerjaan
dan dari relasi dengan sesama itu mereka tidak menemukan makna. Ya, mereka
hanya melakukan hal-hal yang memang sewajarnya dilakukan.
Yang menarik, kegagalan dalam menemukan makna
hidup yang sering mengakibatkan frustrasi eksistensial itu seringkali mengarah
pada kompensasi-kompensasi (Koeswara, 1987: 43). Bagaimana bentuk dari
kompensasi itu? Misalnya, ada sebuah fenomena yang disebut Frankl sebagai "Penyakit
Tuan Eksekutif" (Mr. Executive Disease). Fenomena ini dialami oleh
para eksekutif atau pekerja profesional yang gagal menemukan makna hidup sebab
kegilaannya kepada pekerjaannya menjadikannya kurang memiliki waktu untuk
melakukan aktifitas-aktifitas personal yang menyebabkan mereka semakin jauh
dari pencapaian makna hidup. Biasanya, mereka melakukan kompensasi dengan
membenamkan diri ke dalam pekerjaannya, lebih lanjut lagi, mengompensasikan
keinginan kepada makna itu dengan keinginan kepada kekuasaan, baik secara
politik ataupun ekonomi. Ning, saya yakin juga, lho, tentu tidak semua
eksekutif mengalaminya, bukan?
Sebaliknya, istri para eksekutif itu tentu ada
yang mengalami sebuah kekosongan hidup karena suaminya sibuk dengan
pekerjaannya. Frankl menyebutkan ini sebagai "Penyakit Nyonya
Eksekutif" (Mrs. Executive Disease). Istri para eksekutif itu
banyak di antaranya yang justru memiliki waktu luang serta tidak mengetahui apa
yang bisa dan perlu dilakukan sehingga merekapun mengalami frustrasi eksistensial
dan kekosongan batin. Untuk mengatasi frustrasi eksistensial ini, istri para
eksekutif itu mengompensasikan keinginan kepada makna itu dengan sering
mengadakan atau mengadakan pesta, arisan, bergabung dengan grup-grup sosial dan
aktifitas semacamnya. Inilah yang dimaksud bahwa istri para eksekutif ini telah
mengompensasikan keinginanannya kepada makna dengan keinginan kepada
kesenangan.
Lantas, ada teman saya protes, nggak semua
istri eksekutif dan profesonal kaliii.... Tentu. Tidak semuanya. Sama seperti
saya meyakin tidak semua bapak-bapak eksekutif ataupun profesional
mengalaminya.
Saya juga mendapati, istri eksekuif, istri
profesional, istri pejabat besar, memiliki tugas-tugas publik sebagai
pendamping suami. Saya juga sering menemui ibu-ibu itu yang aktif di bidang
sosial, menghadiri undangan ini-itu, menghadiri jamuan-jamuan penting. Ibu-ibu
itu melakukannya dengan kesadaran penuh sebagai konsekuensi, sebagai bentuk
tanggungjawab kehidupan publik sebagai istri para eksekutif. Jadi,
beliau-beliau itu menjalaninya penuh dengan dedikasi dan kesungguhan.
Ada juga sebuah kasus seorang istri pejabat,
misalnya. Ini analisa saya sendiri. Saya pernah mendengar cerita dari seseorang
yang bekerja di sebuah kantor. Ia heran, setiap bertemu dengan istri pejabat
itu, selaluuu saja yang diobrolin adalah soal ekonomi. Ketemu dimana-mana
selalu soal ekonomi seolah dia adalah pakarnya. Memang, ibu itu dulunya lulusan
ekonomi. Ya, setidaknya, kan, meski dia bukan berasal dari bidang ekonomi dia
juga mengerti dan nggak buta banget masalah ekonomi. Ia wanita yang sehari-hari
mengikuti berita dan isu-isu perekonomian nasional bahkan internasional di
kantor. Mendengar kisah ini, saya jadi membayangkan bahwa istri pejabat itu
rupanya telah hidup terlalu lama di "balik punggung suami" sehingga
ia kehilangan diri sendiri dengan tanpa sengaja karena ia menjadikan pihak luar
(baca: suami) sebagai orang yang sepenuhnya bertanggungjawab dengan hidupnya.
Ia menjadikan "pembicaraan ekonomi, sesuatu yang menurutnya sungguh
dikuasainya" sebagai kompensasi bahwa ia adalah manusia yang
"ada". Ia patut didengarkan.
Dan yang perlu diketahui,
kompensasi-kompensasi itu banyak ragamnya. Seseorang yang gagal dalam memenuhi
kehidupan yang bermakna bisa mengompensasikannya pada alkohol, obat bius, seks,
atau judi.
Oke. Sudah jelas, bukan, definisi Frustrasi
Eksistensial? Beluuum.... XD Nantikan lanjutannya ^^
Wake Up, Be Awesome! -1- | -2- | -3-|-4- | -5- |
Frustrasi Eksistensial? Istilah baru bagi saya XD Menarik (y)
BalasHapus