Jumat, 20 November 2015

WUBA! -5- Berkenalan dengan Frustrasi Eksistensial



OBROLAN 3
“ … individu-individu masyarakat  modern, baik tua maupun muda, dilanda keraguan atas makna kehidupan yang mereka jalani. Kalaupun mereka sibuk bekerja dan mencoba menjalin relasi dengan sesama, hal itu tidak memuaskan serta tidak menolong mereka dari kekosongan batin (innevoid), sebab dari pekerjaan dan dari relasi dengan sesama itu mereka tidak menemukan makna.”




Saved by Janna Gisler (Malo)



  
Berkenalan dengan Frustrasi Eksistensial? Yuk, Mariii

Sederhana saja, kata kunci dari renungan saya yang panjang kali lebar kali tinggi itu adalah: kosong, tidak bermakna, bosan. Ingat, nggak, beberapa saat tadi kita ngobrolin gagasan Frankl tentang makna hidup dan frustrasi eksistensial. Nah, dengan kata kunci tadi, adakah hubungan keadaan saya dengan teori Frankl?

3 Hal Penting yang Mendasari Teori Frankl

1. Kebebasan Berkeinginan (Freedom to Will)

Dalam pandangan Frankl (Koeswara, 1987:37), kebebasan, termasuk kebebasan berkeinginan, adalah ciri yang unik dari keberadaan dan pengalaman manusia. Namun rupanya Frankl juga berpikiran bahwa kebebasan manusia sebagai makhluk tidaklah benar-benar tanpa batas yang tidak menghiraukan dimensi biologis, psikologis, dan sosiologis. Namun bagaimanapun, manusia bebas mengambil sikap dalam hidupnya.
Manusia bebas untuk "tampil" dan membuka banyak dimensi-dimensi keberadaannya sehingga ia dapat mengambil berbagai kemungkinan yang bisa ia usahakan. Manusia tidak hanya sanggup, tapi juga bebas menyikapi dunia ini, bahkan menyikapi dirinya sendiri! Jadi, kalau masih saja ada manusia yang tidak bisa mengambil sikap, baik bagi dirinya, orang lain, maupun dunia ini, berarti manusia itu masih belum memiliki kebebasan dalam berkeinginan.

2. Keinginan kepada Makna (The Will to Meaning)

Nah, hayo, siapa yang mau bilang bahwa dia tidak ingin hidupnya bermakna? Kata Frankl, keinginan manusia untuk bermakna merupakan keinginan utama yang tidak pernah padam. Jika seseorang merasa hidupnya bermakna, tentu saja ia akan bahagia.
Frankl sendiri tidak pernah menganggap bahwa manusia itu "membutuhkan makna". Ia berpendapat bahwa manusia itu "berkeinginan terhadap makna". Artinya apa? Kata "butuh" dan "ingin" itu berbeda. Menurut Frankl, melihat makna sebagai kebutuhan sama dengan beranggapan bahwa manusia masih berlaku berdasarkan dorongan-dorongan dan naluri dari dalam dirinya. Namun, memandang makna sebagai sebuah keinginan, sama artinya mengatakan bahwa manusia memiliki kesadaran penuh. Dalam keadaan "ingin", manusia melakukan banyak pilihan dan mengambil sikap sesuai apa yang dia kehendaki.
Makna hidup itu bersifat personal dan unik. Setiap individu memiliki pilihan dan caranya sendiri dalam menciptakan makna dalam hidupnya.

3. Makna Hidup (Meaning of Life)

Manusia adalah makhluk yang berbeda dari yang lainnya. Hidup manusia selalu mengambil porsi dalam sejarah, yang akan membentuk sejarah itu sendiri. Sebab, manusia hidup tidak hanya bertujuan, tapi juga memiliki makna. Sekumpulan semut sampai kapanpun tidak akan pernah memiliki sejarah meskipun aktifitas mereka memiliki tujuan. Karena apa? Karena mereka tidak memiliki makna. Dan, keinginan manusia akan makna hidup ini rupanya telah ada sejak manusia mengalami pubertas!

Frustrasi Eksistensial

Apa yang dimaksud dengan Frustrasi Eksistensial? Dalam pengalaman hidup Frankl di kamp konsentrasi NAZI, Frankl mencatat bahwa ketidakberdayaan, keputusasaan, dan keinginan yang kuat untuk bunuh diri pada para tawanan adalah karena bagi mereka hidup ini sudah tidak lagi memiliki makna. Situasi ini dinamakan Frankl dengan kehampaan eksistensial (existential vacuum), yakni suatu situasi yang ditimbulkan oleh frustrasi dalam memenuhi keinginan kepada makna, disebut juga sebagai frustrasi eksistensial. Hanya sedikit tawanan yang bisa terhindar dari frustrasi eksistensial ini, yakni mereka yang mampu menemukan makna dalam penderitaan dan makna kematian yang setiap saat bisa merenggut nyawa mereka.
Lho? Lalu apakah pengalaman dari kamp ini relevan jika kita pakai? Menurut Frankl, justru teori ini relevan digunakan sebab keadaan kehampaan eksistensial dan frustrasi eksistensial ini adalah masalah yang umum terjadi pada masyarakat modern. Beda penderitaan saja.
Masih menurut Frankl, yang saya baca dari bukunya Koeswara (1987:42), individu-individu masyarakat  modern, baik tua maupun muda, dilanda keraguan atas makna kehidupan yang mereka jalani. Kalaupun mereka sibuk bekerja dan mencoba menjalin relasi dengan sesama, hal itu tidak memuaskan serta tidak menolong mereka dari kekosongan batin (innevoid), sebab dari pekerjaan dan dari relasi dengan sesama itu mereka tidak menemukan makna. Ya, mereka hanya melakukan hal-hal yang memang sewajarnya dilakukan.
Yang menarik, kegagalan dalam menemukan makna hidup yang sering mengakibatkan frustrasi eksistensial itu seringkali mengarah pada kompensasi-kompensasi (Koeswara, 1987: 43). Bagaimana bentuk dari kompensasi itu? Misalnya, ada sebuah fenomena yang disebut Frankl sebagai "Penyakit Tuan Eksekutif" (Mr. Executive Disease). Fenomena ini dialami oleh para eksekutif atau pekerja profesional yang gagal menemukan makna hidup sebab kegilaannya kepada pekerjaannya menjadikannya kurang memiliki waktu untuk melakukan aktifitas-aktifitas personal yang menyebabkan mereka semakin jauh dari pencapaian makna hidup. Biasanya, mereka melakukan kompensasi dengan membenamkan diri ke dalam pekerjaannya, lebih lanjut lagi, mengompensasikan keinginan kepada makna itu dengan keinginan kepada kekuasaan, baik secara politik ataupun ekonomi. Ning, saya yakin juga, lho, tentu tidak semua eksekutif mengalaminya, bukan?
Sebaliknya, istri para eksekutif itu tentu ada yang mengalami sebuah kekosongan hidup karena suaminya sibuk dengan pekerjaannya. Frankl menyebutkan ini sebagai "Penyakit Nyonya Eksekutif" (Mrs. Executive Disease). Istri para eksekutif itu banyak di antaranya yang justru memiliki waktu luang serta tidak mengetahui apa yang bisa dan perlu dilakukan sehingga merekapun mengalami frustrasi eksistensial dan kekosongan batin. Untuk mengatasi frustrasi eksistensial ini, istri para eksekutif itu mengompensasikan keinginan kepada makna itu dengan sering mengadakan atau mengadakan pesta, arisan, bergabung dengan grup-grup sosial dan aktifitas semacamnya. Inilah yang dimaksud bahwa istri para eksekutif ini telah mengompensasikan keinginanannya kepada makna dengan keinginan kepada kesenangan.
Lantas, ada teman saya protes, nggak semua istri eksekutif dan profesonal kaliii.... Tentu. Tidak semuanya. Sama seperti saya meyakin tidak semua bapak-bapak eksekutif ataupun profesional mengalaminya.
Saya juga mendapati, istri eksekuif, istri profesional, istri pejabat besar, memiliki tugas-tugas publik sebagai pendamping suami. Saya juga sering menemui ibu-ibu itu yang aktif di bidang sosial, menghadiri undangan ini-itu, menghadiri jamuan-jamuan penting. Ibu-ibu itu melakukannya dengan kesadaran penuh sebagai konsekuensi, sebagai bentuk tanggungjawab kehidupan publik sebagai istri para eksekutif. Jadi, beliau-beliau itu menjalaninya penuh dengan dedikasi dan kesungguhan.
Ada juga sebuah kasus seorang istri pejabat, misalnya. Ini analisa saya sendiri. Saya pernah mendengar cerita dari seseorang yang bekerja di sebuah kantor. Ia heran, setiap bertemu dengan istri pejabat itu, selaluuu saja yang diobrolin adalah soal ekonomi. Ketemu dimana-mana selalu soal ekonomi seolah dia adalah pakarnya. Memang, ibu itu dulunya lulusan ekonomi. Ya, setidaknya, kan, meski dia bukan berasal dari bidang ekonomi dia juga mengerti dan nggak buta banget masalah ekonomi. Ia wanita yang sehari-hari mengikuti berita dan isu-isu perekonomian nasional bahkan internasional di kantor. Mendengar kisah ini, saya jadi membayangkan bahwa istri pejabat itu rupanya telah hidup terlalu lama di "balik punggung suami" sehingga ia kehilangan diri sendiri dengan tanpa sengaja karena ia menjadikan pihak luar (baca: suami) sebagai orang yang sepenuhnya bertanggungjawab dengan hidupnya. Ia menjadikan "pembicaraan ekonomi, sesuatu yang menurutnya sungguh dikuasainya" sebagai kompensasi bahwa ia adalah manusia yang "ada". Ia patut didengarkan.
Dan yang perlu diketahui, kompensasi-kompensasi itu banyak ragamnya. Seseorang yang gagal dalam memenuhi kehidupan yang bermakna bisa mengompensasikannya pada alkohol, obat bius, seks, atau judi.
Oke. Sudah jelas, bukan, definisi Frustrasi Eksistensial? Beluuum.... XD Nantikan lanjutannya ^^


Wake Up, Be Awesome! -1- | -2- | -3-|-4- | -5- |

1 komentar:

Pengikut

Supporting KEB

Supporting KEB
Kumpulan Emak Blogger

Histats

Histats.com © 2005-2014 Privacy Policy - Terms Of Use - Check/do opt-out - Powered By Histats