Huaaa.... Saya Jadi Panik!
Hah?! Panik? Kenapa? Merasa jadi pengangguran?
Itu saya. Merasa nggak berdaya dan tidak pantas? Itu juga saya. Merasa hidup
begitu monoton hingga berujung jenuh dan bosan? Itu sayaaa! Oh, no, no, no!
Oh, no, no, no! Saya lihat Anda langsung nutup muka dengan teriakan
panik dan nggak rela, deh, denger teriak: berarti saya menderita frustrasi
eksistensial???
Jangan panik dulu, ya! Kita punya kabar baik.
Apakah orang yang berkonflik selalu identik
dengan ketidakwarasan? Tidak. Dalam tingkatan tertentu, konflik bisa dianggap
normal, bahkan sehat. Lha wong kita ini manusia. Wajar, dong, sesekali
berkonflik.
Begitu juga dengan penderitaan yang kita
alami. Merasa tidak berdaya dan berharga menjadi ibu rumah tangga, ‘kan,
menderita juga, ya?
Penderitaan tidak selalu identik dengan gejala
kejiwaan, bahkan penderitaan bisa diartikan sebagai keberhasilan manusia,
terutama jika penderitaan tersebut muncul sebagai akibat frustrasi
eksistensial. Kok bisa? Ya, bisa, dong! Menyadari kita menderita itu kan
merupakan prestasi bahwa kita mampu mengenali keadaan kita sendiri. Kemudian
kita bergerak untuk mengatasi penderitaan itu.
Syukurlah, Ternyata Aku Tidak
"Sakit"!
Memang, Anda tidak sakit! Frustrasi
Eksistensial sama sekali bukan penyakit. Kepedulian seseorang, bahkan
keputusasaannya dalam mencari makna dari hidupnya, merupakan suatu keadaan
frustrasi eksistensial. Seorang yang sedang mengalami furstrasi eksistensial
tidak memerlukan obat penenang atau bimbingan mental.
Frustrasi Eksistensial adalah suatu fenomena
yang meluas dan menonjol dalam kehidupan masyarakat modern. Pencarian manusia
kepada makna bukanlah sesuatu yang bersifat patologis (penyakit) melainkan
suatu tanda yang paling pasti dari adanya hasrat untuk menjadi manusia yang
sesungguhnya. Bahkan, jika pencarian makna itu terhambat atau mengalami
frustrasi, itu bukanlah sebuah kepastian awal munculnya suatu penyakit. Hal
senada juga ditafsirkan oleh Dodson (2004) yang mengatakan bahwa frustrasi
eksistensial adalah bagian dari pengalaman setiap orang. Catet, ya!
P-e-n-g-a-l-a-m-a-n. Jadi, itu semua sangat wajar. Bukanlah suatu gejala
psikopatologis (penyakit psikis).
Namun, jika penampakan-penampakan atau
gejala-gejala frustrasi eksistensial ini diiringi dengan simptomatologi (gejala)
neurotik klinis, maka keadan itu bisa membawa seseorang menjadi sakit.
Contohnya, nih, penyakit istri eksekutif yang
telah diuraikan di obrolan kita terdahulu itu bukanlah suatu penyakit meskipun
ia mengompensasikan keinginan kepada makna pada keinginan untuk
bersenang-senang, sejauh misalnya tidak diiringi dengan perilaku kesenangan
yang menyimpang. Yang seperti apa yang dikatakan menyimpang itu? Misalnya,
istri eksekutif itu jadi sangat sensitif dan mudah terpancing emosinya sehingga
gemar berkonflik dan bertengkar hingga mengantarnya pada kondisi depresi berat.
Jadi,
kalau ada seseorang yang merasa tidak berguna, tidak berdaya, putus asa, jangan
dibilang dia butuh terapi dulu. Termasuk kalau kita sendiri yang mengalaminya.
Kita tidak boleh mengabaikan dan melupakan bahwa pada dasarnya, kit atidak
berhadapan dengan sebuah penyakit karena perasaan seperti itu bukanlah sebuah
gejala sakit melainkan sebuah bukti bahwa dia atau kita adalah manusia. Dan,
kita juga tetap harus waspada. Meskipun tidak ada kaitannya dengan penyakit,
perasaan seperti itu bisa tidak segera diatasi berpotensi menimbulkan reaksi
patologis (penyakit). Nah, ayo, bagi yang merasa mengalami keresahan, harus
segara diselesaikan!
Wake Up, Be Awesome! -1- | -2- | -3-|-4- | -5- | -6- | -7- |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar