Rabu, 25 November 2015

WUBA! -7- Normalkan Frustrasi Eksistensial?




Huaaa.... Saya Jadi Panik!


Hah?! Panik? Kenapa? Merasa jadi pengangguran? Itu saya. Merasa nggak berdaya dan tidak pantas? Itu juga saya. Merasa hidup begitu monoton hingga berujung jenuh dan bosan? Itu sayaaa! Oh, no, no, no! Oh, no, no, no! Saya lihat Anda langsung nutup muka dengan teriakan panik dan nggak rela, deh, denger teriak: berarti saya menderita frustrasi eksistensial???

Jangan panik dulu, ya! Kita punya kabar baik.

Apakah orang yang berkonflik selalu identik dengan ketidakwarasan? Tidak. Dalam tingkatan tertentu, konflik bisa dianggap normal, bahkan sehat. Lha wong kita ini manusia. Wajar, dong, sesekali berkonflik.

Begitu juga dengan penderitaan yang kita alami. Merasa tidak berdaya dan berharga menjadi ibu rumah tangga, ‘kan, menderita juga, ya?

Penderitaan tidak selalu identik dengan gejala kejiwaan, bahkan penderitaan bisa diartikan sebagai keberhasilan manusia, terutama jika penderitaan tersebut muncul sebagai akibat frustrasi eksistensial. Kok bisa? Ya, bisa, dong! Menyadari kita menderita itu kan merupakan prestasi bahwa kita mampu mengenali keadaan kita sendiri. Kemudian kita bergerak untuk mengatasi penderitaan itu.



Syukurlah, Ternyata Aku Tidak "Sakit"!



Memang, Anda tidak sakit! Frustrasi Eksistensial sama sekali bukan penyakit. Kepedulian seseorang, bahkan keputusasaannya dalam mencari makna dari hidupnya, merupakan suatu keadaan frustrasi eksistensial. Seorang yang sedang mengalami furstrasi eksistensial tidak memerlukan obat penenang atau bimbingan mental.

Frustrasi Eksistensial adalah suatu fenomena yang meluas dan menonjol dalam kehidupan masyarakat modern. Pencarian manusia kepada makna bukanlah sesuatu yang bersifat patologis (penyakit) melainkan suatu tanda yang paling pasti dari adanya hasrat untuk menjadi manusia yang sesungguhnya. Bahkan, jika pencarian makna itu terhambat atau mengalami frustrasi, itu bukanlah sebuah kepastian awal munculnya suatu penyakit. Hal senada juga ditafsirkan oleh Dodson (2004) yang mengatakan bahwa frustrasi eksistensial adalah bagian dari pengalaman setiap orang. Catet, ya! P-e-n-g-a-l-a-m-a-n. Jadi, itu semua sangat wajar. Bukanlah suatu gejala psikopatologis (penyakit psikis).

Namun, jika penampakan-penampakan atau gejala-gejala frustrasi eksistensial ini diiringi dengan simptomatologi (gejala) neurotik klinis, maka keadan itu bisa membawa seseorang menjadi sakit.

Contohnya, nih, penyakit istri eksekutif yang telah diuraikan di obrolan kita terdahulu itu bukanlah suatu penyakit meskipun ia mengompensasikan keinginan kepada makna pada keinginan untuk bersenang-senang, sejauh misalnya tidak diiringi dengan perilaku kesenangan yang menyimpang. Yang seperti apa yang dikatakan menyimpang itu? Misalnya, istri eksekutif itu jadi sangat sensitif dan mudah terpancing emosinya sehingga gemar berkonflik dan bertengkar hingga mengantarnya pada kondisi depresi berat.

Jadi, kalau ada seseorang yang merasa tidak berguna, tidak berdaya, putus asa, jangan dibilang dia butuh terapi dulu. Termasuk kalau kita sendiri yang mengalaminya. Kita tidak boleh mengabaikan dan melupakan bahwa pada dasarnya, kit atidak berhadapan dengan sebuah penyakit karena perasaan seperti itu bukanlah sebuah gejala sakit melainkan sebuah bukti bahwa dia atau kita adalah manusia. Dan, kita juga tetap harus waspada. Meskipun tidak ada kaitannya dengan penyakit, perasaan seperti itu bisa tidak segera diatasi berpotensi menimbulkan reaksi patologis (penyakit). Nah, ayo, bagi yang merasa mengalami keresahan, harus segara diselesaikan!


Wake Up, Be Awesome! -1- | -2- | -3-|-4- | -5- | -6- | -7- |

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Supporting KEB

Supporting KEB
Kumpulan Emak Blogger

Histats

Histats.com © 2005-2014 Privacy Policy - Terms Of Use - Check/do opt-out - Powered By Histats