foto: Kak Risma KOPI
Hai!
Salam KOPI^^
Bagaimana
kalau ada sebuah pertanyaan:
“Apakah
dunia lebih baik tanpa Islam?”
Tik tok tik
tok tik tok *pura-puranya suara detik jam dinding*
Sukses! Saya
juga ingin tahu jawabnya saat melihat trailer film Bulan Terbelah di Langit
Amerika. Pertanyaan itu ada di situ.
Jadi, waktu
saya mendapat tiket menonton premier film Bulan Terbelah di Langit Amerika dari
sebuah koalisi keren, Koalisi Online Pesona Indonesia (KOPI), -di mana
belakangan saya sering menghabiskan banyak waktu untuk ngobrol dengan
kakak-kakak jurnalis dan blogger yang ketjeh badai- saya girang dooong. Thanks
to semua stakeholder *hayyah* yang bikin saya duduk nyaman di salah
satu kursi XXI Epicentrum untuk menikmati premier BTdLA yang mendebarkan dan
memiliki track record positif dari sejak film 99 Cahaya di Langit Eropa
menuai kesuksesan dari hasil kerja keras sutradara (Rizal Mantovani), aktor,
tim, dan tentu saja produser (Maxima). Ini adalah sekuel 99 CdLE yang relatif
anggun dan mencerahkan. Ehem.
Kisah
bermula saat pasangan suami istri, Hanum (Acha Septriasa) dan Rangga (Abimana
Aryasetya), yang tinggal di Wina secara kebetulan harus mengunjungi New York
dengan kepentingan yang berbeda. Hanum dengan misi jurnalistiknya dalam
menjawab pertanyaan di atas yang mendebarkan itu dan Rangga dengan misi yang
berkaitan dengan studi PhD-nya, yakni mengajak seorang milyuner dan philantropi
Amerika yang dikenal eksentrik, misterius, dan pelit bicara untuk datang memberikan
sebuah ceramah di Wina.
Adegan-adegan
pembuka dalam film, khususnya saat kedatangan pasangan itu di New York, mampu menyerap
fokus saya (yang sebelumnya terlalu berpikir teknis untuk menebak-nebak arah
cerita) untuk mulai menikmati jalan cerita. Saya seperti tengah berada di jalanan
New York dan menyaksikan bahwa dialog mereka itu nyata. Seperti ada di depan
saya. Mmm … sepertinya supir taksi Afro-Amerika di bandara yang mereka tumpangi
untuk menjelajahi New York sanggup menghidupkan dialog komedi romantik pasangan
manis ini. Rasanya mengadakan peran supir taksi Afro-Amrik yang ramah,
ekspresif, dan cerewet ini adalah keputusan yang tepat. Saya merasa sosok itu
mampu mendukung pembukaan yang hangat dan veeery welcome. Bisa bayangin
ngga, Rangga yang orang Jawa itu iseng mengucap “maturnuwun, Mas” pada supir
taksi New York Afro-Amrik itu saat membayar ongkos? Sambil cengengesan, supir
taksi itu membalas, “’Mas’, ‘mas’, kamu lagi ngomongin mamaku?”
Sooooo,
you are totally welcomed to Bulan Terbelah di Langit Amerika!
Saat
adegan-adegan mulai mengarah pada pembentukan konflik-konflik antar tokoh, –saat
Rangga menghilangkan file jurnalistik Hanum, Rangga memiliki jadwal yang cukup
padat sehingga tidak bisa mendampingi Hanum yang manja, nara sumber Hanum yang
menolak wawancara, host di NY yang memiliki masalah percintaan, dll.- semuanya
masih terasa asyik untuk dinikmati. Stefan (Nino Fernandez) yang merupakan
sahabat sekaligus host Hanum dan Rangga yang konyol mampu melempar joke
spontan dan tak terbayang yang membuat saya terpancing untuk tertawa. Itu yang
membuat pembangunan konflik *awww kalau insinyur sih bangun gedung kali #apasih*
bisa teralih dan berjalan dengan lancar.
Konflik
mulai menajam saat nara sumber Hanum, Sarah Hussein (Rianti Cartwright),
menolak untuk diwawancarai. Padahal wawancara dengan istri terduga pengeboman
gedung kembar (WTC) nine-eleven yang betul-betul mengoyak
dan membelah langit Amerika di masa lalu itu sangat berharga untuk menjawab
pertanyaan yang begitu mendebarkan:
“Apakah
dunia lebih baik tanpa Islam?”
Hanum
mencoba membujuk Sarah dengan dibantu oleh putri Sarah sendiri yang meyakini
bahwa ayah mereka bukanlah orang jahat yang tega melakukan perbuatan terorisme
semacam itu. Dengan pendekatan rasional akan kepentingan dunia Islam yang
membutuhkan jawaban jujur untuk mematahkan stereotip muslim sebagai teroris,
Hanum pun akhirnya bisa meluluhkan hati Sarah untuk melakukan wawancara. Dengan
sedih, Sarah yang paska peristiwa nine-eleven itu memutuskan untuk
mengganti nama dan terlihat menanggalkan hijab, mulai memperlihatkan sisi
psikologisnya yang terluka. Dan luka itu menimbulkan sebuah kejujuran yang
membuat mata saya menghangat seketika:
“Aku tidak
pernah meninggalkan Islam dalam hatiku, tetapi aku hilang kebanggaan akan itu.”
Entah
kenapa, dada saya ikutan sesak.
Lalu, apakah
pertanyaan mendebarkan itu akan terjawab? PASTI. Pertanyaan itu akan terjawab
pada dialog-dialog anti klimaks. Dan saat adegan-adegan itu berlangsung, akan
banyak tokoh yang turut mendukung terjalinnya kisah yang cukup menyentuh dan
mencerahkan meskipun saya masih berharap bahwa karakter utama –Hanum dan
Rangga- bisa lebih tajam dalam membangun konflik sehingga cerita terasa lebih kuat,
rasional, sekaligus dramatis. But you know what ...? Asli saya langsung melting denger backsound yang dinyanyikan Arkarna dan Andini yang mengalun merdu di menit-menit terakhir saat semuanya "telah selesai". Berasa Holywood banget!
So, what
are you waiting for, guys? Segera beli tiket dan tonton filmnya yang mulai
tayang besok! Yang ngaku pecinta film, yang ngaku pecinta dunia dakwah Islam,
film ini layak diapresiasi dan … dinikmati bersama. Kita sambut Bulan Terbelah
di Langit Amerika untuk memperkaya pandangan positif dunia Islam. Percayalah,
sebuah film bahkan akan bisa memengaruhi pandangan seseorang terhadap apa yang
ia yakini benar, atau apa yang ia yakini salah.
Don’t
miss it! Bulan Terbelah di Langit Amerika.
See youuuuuuuuuuuuu
^^
wahh dah mulai banyak yang review film ini
BalasHapushikss aku penasaran karena belum nonton
Yakin son, keren...banyak pesan positif utamanya dari pedagang hotdog asal Suriah... dunia boleh membenci Islam tp ajaran kami ttp mengedepankan rahmah bagi siapapun termasuk yg membenci hingga akhirnya semua tau apa itu Islam... begitulah kira- kira hehee...
BalasHapus