Senin, 14 Desember 2015

Stay at Home Mom Galau Bekerja? (Bagian 1)




12x9" watercolor on Canson Montval CP 140lb. Reference photo - Tanya (neizmen) for JKPP


Menjadi representasi stay at home mommies, saya adalah emak-emak yang sama sekali tidak pernah bekerja di luar rumah. Tidak pernah. Emak-emak SAHM lainnya bisa saja adalah seorang wanita yang pernah bekerja, lalu memutuskan untuk tidak lagi bekerja dengan alasan-alasan yang sangat personal. Tapi saya, tidak pernah bekerja di luar, memiliki jabatan struktural, dan semisalnya.

Saya memutuskan untuk tidak bekerja karena sebuah alasan pernikahan. Saya pernah sedih karena begitu ingin bekerja di luar rumah. Membayangkan saat saya memiliki penghasilan sendiri saat suami tidak bisa membelikan saya barang-barang “perempuan” yang kadang begitu sederhana. Misalnya, bedak. *tas, sepatu, baju, … saya anggap barang mewah saat itu* Apalagi, waktu muda dulu ada banyak kesempatan datang untuk berlomba mendapatkan pekerjaan. Namun Alhamdulillah, saya selalu mendapat energi untuk ingat kembali tujuan rumah tangga saya yang sebenarnya tidak terlalu muluk-muluk. Meskipun hidup saya banyak kurangnya, ya … saya syukuri. Selama Kapten Hook, eh Mas Kapten Sahrul masih bertanggungjawab dan memiliki niat yang baik, saya ingin lebih menciptakan rumah tangga saya yang damai dan tenang.

Beberapa waktu lalu saya mendapat tawaran menjadi PR di sebuah rumah produksi tanpa tes dengan gaji rata-rata pekerja ibu kota yang membuat saya terharu *gw bakal kenang semua orang baik yang pernah nawarin kerjaan* Saya tahu ini … unforgettable. Tapi dengan senyum ikhlas saya menolaknya *sambil pilin-pilin ujung baju*

Jadi, wanita bekerja itu salah?

TIDAK. Saat wanita harus bekerja, ya bekerjalah. Jika itu memang baik untuk suami, untuk anak-anak, bahkan untuk kesehatan mental diri sendiri. Bekerja atau tidak bekerja adalah sebuah keputusan yang merdeka. Atau jika seorang wanita tidak memiliki kemerdekaan untuk memilih bekerja atau tidak bekerja karena suami, kondisi, apalah apalah … tetap merdekakan dirimu sendiri. Life is yours. Itu intinya. Bahkan jika wanita memilih untuk tidak membebaskan diri karena ia sadar akan irisan eksistensi paska pernikahan dan karenanya ia menderita dalam prosesnya, itu tetaplah KEMERDEKAAN. Sejujurnya, penderitaan itu eksis. Ada dalam dunia tanpa bisa kita hindari.

Sejauh yang saya pahami … bahwa penderitaan itu terkadang hidup oleh pikiran saya sendiri. Saat saya bahkan tidak bisa menundukkan diri sendiri atas nama kebebasan. Dan saya dipenuhi oleh pertanyaan: bagaimana jika … apakah … bla bla bla yang membuat saya merasa terganggu dengan jawaban-jawaban imajiner dari pikiran saya sendiri yang membuat saya semakin menderita. Sungguh, kepala pun perlu seorang editor yang bisa memangkas kata-kata “sampah” dalam kepala. Kenapa “sampah”? Karena imajinasi itu sering tidak berguna saat seseorang tidak bisa membuatnya jadi nyata. Gaduh di kepala.

Saya berkali-kali menuliskan tentang ini, dan berkali-kali saya mendpatakan curhatan dari ibu-ibu muda yang galau, yang stressful, yang seperti ragu untuk sekedar membebaskan diri untuk memilih: bekerja atau tidak bekerja. Sampai saya terkadang merasa tidak mampu untuk ikut memantau perkembangan jiwa mereka. Ini soal kesehatan mental. Saat emak-emak usia produktif harus melewati tugas-tugas yang kompleks: diri sendiri, keluarga, dan pilihan berkarier.

Suatu hari, saya sedikit tertegun dengan release sebuah media daring wanita yang membutuhkan ibu-ibu muda untuk keluar bekerja. Saya terhenyak dengan alasan-alasan mengapa seorang wanita butuh bekerja. Dan rasanya, apa yang ditulis dalam manifestonya sudah cukup akrab dengan alasan-alasan pada umumnya dalam diskusi hangat masayarakat kita tentang mengapa wanita butuh bekerja. Saya tak ingin berpolemik dengan situs wanita tersebut karena saya yakin media tersebut memiliki sisi positif yang sebenarnya bisa kita ambil. Saya ingin menghormati apa yang menjadi pilihan teman-teman wanita saya lainnya. Saya lebih ingin mengajak SAHM untuk merenung bersama.


  • Berarti kebijakan kantor akan ditentukan oleh para pria. Kemungkinan besar, mereka kurang sensitif dengan kebutuhan perempuan.
  • Angka perceraian yang semakin tinggi salah satunya didasari oleh alasan finansial. Kebayang nggak sih apa yang akan terjadi kalau para ibunya tidak bekerja?
  • Sudah bukan rahasia lagi kalau perusahaan yang satu di antara 3 board members-nya perempuan akan menghasilkan keuntungan 42% lebih baik dibanding perusahaan yang tidak ada perempuannya dalam jajaran board members.
  • Menurut Harvard Business School, perempuan dari ibu yang bekerja akan mempunyai penghasilan lebih besar dibanding anak perempuan dari Ibu yang tidak bekerja. Jadi dengan atau tidak bekerja, kita setting the standard untuk anak-anak perempuan kita.
  • Di Indonesia, perempuan bertanggung jawab atas 52% perencanaan keuangan. Dan ketika perempuan juga berdaya secara financial, kita akan cenderung menginvestasikan penghasilan demi masa depan anak-anak daripada ketika hanya para prianya yang bekerja. Kalau bapak-bapak aja yang bekerja dan mengatur keuangan, bisa jadi kita nggak punya reksadana untuk dana pendidikan.
  • Sekarang ini, ada banyak yang namanya Venture Capital yang memberi investasi untuk bisnis digital. Tapi pada kenyataannya, Female founders selalu mengalami kesulitan untuk mendapatkan pendanaan. Salah satunya karena para Venture Capitalist ini kebanyakan pria yang nggak yakin dengan kemampuan perempuan dalam menjalankan bisnis.
  • Negara itu sangat membutuhkan para ibunya untuk produktif dan berdaya secara finansial. (dalam kolom komentar)
  • Memang pada akhirnya itu pilihan masing-masing, tapi nggak ada salahnya juga kan mengajak orang untuk lebih produktif? Sama seperti mengajak untuk hidup lebih sehat? Untuk berinvestasi dan lain-lain, demi kebaikan kita semua. (dalam kolom komentar)

SAYA TERTEGUN. Saya langsung terpikir curhatan teman-teman SAHM saya. Yang seringkali merasa stress karena tekanan ini.


Mengapa SAHM masih dilanda kegalauan untuk bekerja?

Stay at Home Mom Galau Bekerja? (Bagian 2)

4 komentar:

  1. Ini masih bersambung? Aku dulu galau, sekarang enggak. Galaunya karena susah ikut even blogger hahaha.. Itu kerja jg yak? Sebenarnya ekonomi keluarga udah mantap, aku ga kerja jg gpp. Aku cuma pingin narsis aja sih di sosmed wkwk..

    BalasHapus
  2. aku prnh pgn ngerasain, gmn sih ga kerja dan hanya di rumah.. akhirnya ambil cuti seminggu.. dan jujur mba, hari k3, aku mulai bosen setengah mati... ujung2nya malah keluar nyari kegiatan.. dari situ sih aku sadar, aku lbh suka kerja kantoran.. toh anak udah ada babysitter yg kita percaya, urusan rumah juga ada ART yg udh jago.. dan aku sadar bgt , kerjaan RT bukan sesuatu yg aku kuasain.. mndingan disuruh ngitungin hitungan excel ttg budget dan sebagainya deh :D Tapi utk smua wanita yg lbh memilih jd ibu RT sih, aku respect kok.. itu toh pilihan mereka kan.. kalo memang mereka puas di sana, dan memang suka menjalaninya, ya udh kerjain aja dengan sebaik2nya.. :) semuanya balik ke kepuasan batin masing2 kan :)..

    BalasHapus
  3. Masih bersambung san??
    Aku justru bekerja saat posisi suami bagus. Waktu itu diterima di bank tp dilarang suami. Opsinya hanya boleh beraktifitas diluar sebagai guru. Hehee...taraaaa skrg aku jadi guru san bukan psikolog atau pegawai bank spt cita2ku dimasa muda.

    BalasHapus
  4. Hm, kalau berandai-andai adil apajadinya bila perempuan tidak bekerja sama sekali...semakin banyak laki-laki mengisi lapangan pekerjaan, laki-laki disini adalah mereka yang berlaku sebagai kepala keluarga. Semakin sedikit kepala keluarga menganggur (kepala keluarga yang bener yah) semakin sedikit permasalahan ekonomi dalam keluarga...ini salah satu kemungkinn, ya. Masuk akal, tidak?

    BalasHapus

Pengikut

Supporting KEB

Supporting KEB
Kumpulan Emak Blogger

Histats

Histats.com © 2005-2014 Privacy Policy - Terms Of Use - Check/do opt-out - Powered By Histats