pinterest.com (pinned from chimac.net)
Bekerja, dalam konteks ini adalah bekerja
secara rata-rata: di kantor. Bicara tentang menjadi pengusaha tentu memerlukan
diskusi khusus karena itu adalah soal mental dan keahlian yang belum menjadi mindset
output pendidikan formal negeri ini, juga soal ketentuan waktu yang
tidak memiliki hitungan tetap.
Seorang wanita muda stay at home mommy
berpikir, diantaranya:
- Masih muda, gesit, berenergi, penuh mimpi, penuh cita-cita, optimis
- Orang tua yang menghitung uang untuk menyekolahkan/menguliahkan anak dan berharap mereka kelak bekerja
- Pandangan patriarki yang masih meremehkan wanita
- Pandangan masyarakat yang menghargai wanita bekerja
- Tak cukup uang untuk mendirikan rumah tangga yang layak
- Tak cukup uang untuk gaya hidup
- Meningkatkan harga diri di hadapan keluarga besar, khususnya mertua
- Stress dengan keberadaan anak kecil
- Stress dengan komentar orangtua, mertua, atau keluarga besar
- Pengaruh media dan lingkungan
Tapi,
saat mereka ingin membuat keputusan, mereka menghadapi banyak kendala, di antaranya:
- Takdir menikah dengan suami yang menginginkan istri berada di rumah
- Lapangan pekerjaan yang terbatas
- Gaji suami yang kecil yang tidak bisa digunakan untuk sementara waktu mencari pekerjaan agar mampu membayar baby sitter atau daycare
- Penghasilan rata-rata pekerja Indonesia yang tidak cukup untuk mempekerjakan pembantu rumah tangga yang pasarannya semakin tinggi *apalagi rata-rata pekerja domestik negeri ini memilih untuk bekerja di LN yang gajinya setara rata-rata pekerja publik negeri ini 3-6jt*
- Tidak memiliki sanak keluarga yang rela direpoti anak-anak
- Gaji yang tidak cukup untuk “membayar” waktu yang habis di jalan (khususnya kota-kota besar)
Kemungkinan apa yang bisa dialami ibu-ibu muda
SAHM yang galau dengan pekerjaan?
- Bertahan dalam kegalauan untuk memilih dengan tegas sehingga hidup sehari-hari menjadi tidak berkualitas
- Terperangkap pada pikiran “bekerja pasti lebih baik”
- Tidak fokus dengan keluarga sehingga kehidupan domestik atau publik menjadi berantakan
- Anak-anak telantar dan tidak terasuh dengan baik karena ibunya menggalau
- Keluarga telantar karena ibunya memaksakan diri bekerja tanpa support system yang memadai
- Suasana rumah stressful dan membuat emosi SAHM tidak stabil
- Hubungan suami-istri menjadi terganggu
- Penghasilan tambahan dari seorang ibu belum dirasa cukup untuk “membayar” semuanya
Apa yang harus dilakukan?
Hentikan galau. Apapun pilihan SAHM, untuk
tetap menjadi ibu rumah tangga atau kembali bekerja, yang pasti, pikiran kita
harus sehat. Menjadi tidak penting lagi perdebatan bekerja atau tidak bekerja
karena pikiran yang sakit akan membuat kita mengacaukan hidup kita sendiri:
diri kita, suami, anak-anak. Pastikan tujuan rumah tangga yang kita bangun itu
jelas.
Apakah pendapat seperti media wanita di atas
atau pendapat orang di luar rumah tangga kita relevan untuk ditelan
mentah-mentah? Tidak. TIDAK.
- Kondisi rumah tangga kita, kita sendiri yang tahu
- Kita tidak pernah bisa menggeneralisir atau membandingkan kehidupan kita dengan orang lain karena setiap manusia memiliki jalannya sendiri
- Produktifitas tidak hanya diukur dengan materi
- Semua ide dan gagasan untuk kehidupan yang lebih baik akan berhasil jika seseorang memiliki support system yang memadai
- Semua kehidupan yang saling berkelindan (hak-hak wanita, kebijakan publik tentang wanita, kesejahteraan keluarga, dll.) adalah tanggungjawab bersama, tidak hanya pribadi tapi bahkan negara
- Tidak semua gagasan dan pikiran itu memiliki dasar yang benar dan tepat buat kita, segalanya adalah relatifitas dan biasanya memihak
Apa yang penting buat SAHM untuk hidup
berkualitas?
Kekuatan diri dan mental untuk mampu menerima
keadaan, mencari peluang, MERDEKA secara pikiran untuk memutuskan pilihan hidup
serta BERTANGGUNGJAWAB dengan segala RESIKO.
Kita harus ingat, permasalahan wanita di dunia
ini SANGAT BANYAK, bukan melulu soal bekerja vs tidak bekerja. Bahkan, wanita
yang HARUS BEKERJA karena benar-benar miskin tanpa punya kemewahan untuk
berpikir galau antara bekerja atau tidak bekerja masih harus terus
diperjuangkan. Maka, kita seharusnya perlu tahu, apa sih isu wanita dalam
masyarakat dunia? Mengetahui isu ini penting agar kita bisa berpikir rasional,
apa sih yang sesungguhnya diharapkan dari seorang wanita dalam mewujudkan
keadilan bagi dirinya dan juga bagi dunia?
Pada 2 Agustus 2015, para kepala pemerintahan
di dunia ini berkumpul untuk membuat sebuah konsensus Sustainable Development Goals dalam 17 agenda besar (kesetaraan
gender berada dalam bahasan ke-5) dalam memerangi kemiskinan, ketidaksetaraan,
dan meningkatkan kemakmuran. Bahasan ke-5 SDGs bekerja untuk menghapuskan diskriminasi
terhadap perempuan, pemberdayaan perempuan, dan pencapaian kesetaraan antara
perempuan dan laki-laki sebagai mitra dan menerima manfaat dari hasil
pembangunan. Dari sini kita akan menjadi tahu, bahwa adanya ketidakadilan terhadap wanita itu fakta. Apa yang dikatakan media wanita adalah fakta:
dominasi budaya patriarki. Meskipun langkah konkrit mereka sangat debatable.
Tapi benarkah wanita bisa bekerja sendirian dalam mewujudkan kesetaraan? TIDAK.
Masyarakat dunia bahkan bersatu untuk membuat kerja bersama. Kepala
pemerintahan itu kemudian membawa kerja ini dalam negaranya. Pemerintah pun
bekerja bersama seluruh pemangku kepentingan dan juga masyarakat.
Jadi, SAHM masih perlu galau bekerja keluar
rumah demi tujuan ini seperti apa yang dikatakan media maupun bisikan-bisikan
wanita yang merasa perlu bekerja? TIDAK. SAHM berhak berperan di sektor ekonomi
jika memang memungkinkan: lingkungan pekerjaan yang kondusif, lapangan
pekerjaaan cukup, support system bekerja, gaji yang baik. Kalau memang wanita berambisi di bidang ekonomi, lakukan saja jika
mampu. Just do it. Masing-masing memiliki jalan hidup. Tapi jangan
dinodai dengan “keegoisan” untuk saling merasa benar. Apapun pilihanmu, just
do it. Konsistensi pembebasan wanita adalah membebaskan wanita untuk memilih. Bekerja atau tidak bekerja adalah kebebasan bagi wanita itu sendiri. It is a FREEDOM for whatever reason!
SAHM bisa meningkatkan diri dalam kualitas
pribadi untuk mendukung program masyarakat dunia yang makmur dan sejahtera
dengan kapasitas masing-masing. Bekerja atau tidak bekerja, mari kita
renungkan kembali tujuan kita menikah. Mari kita lihat kembali suami kita,
anak-anak kita. Apakah kita melulu bicara tentang diri kita dan kita lupakan
tanggungjawab kita? Apakah pernikahan adalah beban? Apakah hal-hal selalu bisa diukur dengan materi?
Rasanya … PR SAHM masih banyak. Haduuuh … ada
banyak yang bisa dibicarakan. Jangankan hal-hal makro yang seringkali membuat
pusing, bagaimana agar pikiran kita mandiri untuk bisa mengkomunikasikan semua permasalahan
dengan pasangan saja tidak bisa dilakukan :D Mulai dari yang kecil saja.
Fokuslah pada tujuan pernikahan.
Terkadang yang membuat polemik bekerja vs tidak bekerja adl ketika kita terlalu memikirkan omongan orang lain daripada keputusan utk diri sendiri :D
BalasHapusIyap betul.. Tujuan pernikahannya apa? Mengumpulkan uang sebanyak2nya atau sakinah, mawaddah, warrahmah?
BalasHapusKalau kasus diatas diasumsikan kebutuhan sandang sudah terpenuhi, selanjutnya adalah masalah papan....sampai sejauh mana bisa ditolerir, kemudian apakah bekerjanya wanita bisa memenuhi kebutuhan psikis dan kebutuhan anak, itu tidak dimasukkan dalam bahasan...
BalasHapus