Dinamika Eksistensi Wanita
Membicarakan tentang eksistensi wanita tentu
tidak bisa memakai patokan hitam-putih. Bukan begitu? Wanita adalah makhluk
hidup yang dinamis. Bukan barang, bukan benda yang bisa diobyek-obyekkan. Kita
tentu sepakat bahwa wanita itu adalah subyek yang juga memiliki kesadaran untuk
"mengada". Sangat tidak humanis sekali jika wanita diatur-atur sesuai
dengan standar pribadi seseorang. Lho, kok saya jadi "feminis"
sekali? Eit, "feminis" yang bagaimana dulu? Concern saya tentu
pada konsep wanita yang tidak menyalahi nurture atau nature.
Tidak menyalahi keberadaan wanita yang tumbuh berdasarkan naluri alamiah atau
yang based on culture. Tidak dipungkiri bahwa wanita bertumbuh dan
berkembang dengan pengaruh yang bersifat alamiah dan juga budaya.
Maka, tatkala sebagai pribadi, wanita memiliki
pikiran untuk mengembangkan eksistensi dirinya, saya ya senang saja melihatnya.
Saya pernah mengenal seorang teman wanita yang berpikir, apakah salah jika ia
memutuskan sebuah perkara penting dalam hidupnya yang itu tidak selazimnya atau
tidak "sepantasnya" diambil oleh seorang wanita? Apakah kata
"kepantasan" itu semuanya merupakan produk agama yang kita anut, yang
derajatnya absolut, mutlak? Tentu tidak! Pasti ada kata "pantas" yang
merupakan produk pemikiran manusia. Nah, segala pemikiran manusia tidak ada
yang mutlak selalu betul, bukan? Manusia bisa salah menentukan standar
"kepantasan" ini.
Saya cuma manggut-manggut mendengar argumen
teman saya itu. Jujur, saya sendiri pernah merasa bahwa manifesto perilaku
seseorang seringkali dipengaruhi oleh unsur lingkungan dan cara berpikir. Saya
pernah bertanya juga, mengapa ketika seseorang ingin membuka sebuah kenyataan
baru bagi dirinya tak jarang dikatakan sebagai orang yang lari dari kenyataan?
Saya berpikir, kalau kenyataan yang dia bangun itu adalah keinginan untuk bunuh
diri, tentu saja saya sepakat bahwa dia sedang melarikan diri dari sebuah
masalah dunia yang nyata. Menurut saya, tidak ada kenyataan baru yang akan kita
jumpai setelah kematian, kecuali persidangan akhirat. Saya berpikir salahkah
jika seseorang mengambil sebuah solusi dari permasalahan hidupnya jauh dari
"apa yang diharapkan orang", yang tidak seperti pada umumnya orang,
yang dianggap oleh orang sungguh tidak pantas? Lalu, ketidakpantasan itu
mendapat justifikasi atas nama agama dan norma masyarakat? Salahkah jika
seseorang ingin menjadi dirinya sendiri, menjadi si A, atau si B, menjadi
seperti apa yang ia pikirkan dan inginkan?
Tanpa sadar, kadangkala kita termasuk orang
yang gampang berkomentar....
"Sssst, si Ibu itu bercerai juga, kan,
akhirnya? Saya bilang juga apa?"
"Coba lihat, kerjaan saja yang diurusi.
Anaknya, tuh, lengket benar sama pengasuhnya. Mau jadi apa ntar anak itu?"
"Coba si Jeng itu. Bodohnyaaaa.... Jaman
sekarang nyari pekerjaan, kan, susah! Pakai mau sok bijaksana meninggalkan
pekerjaan untuk keluarga tercinta. Memangnya, hidup cukup makan tiga kali dalam
sehari saja? Tahu sendiri, sekarang apa-apa mahal! Sekolah aja mahal,
kok."
Ambil contoh lebih lanjut soal perceraian ini.
Langsung, berbagai komentar miring dan justifikasinya yang tidak sedap
"menghantam" seseorang yang memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya.
Belum lagi soal stereotip "janda cerai" didengung-degungkan persis di
telinganya. Saya bukannya menyetujui perceraian dan mendorong wanita untuk
mengambil jalan ini sebagai sebuah solusi yang terlalu buru-buru. Namun, saya
membayangkan bahwa seorang wanita yang cerdas secara intelektual dan spiritual
tentulah mampu mempertanggungjawabkan apa-apa yang akan dipilihnya. Sama halnya
dengan para wanita yang memutuskan bekerja dan enggan menjadi ibu rumah tangga
saja. Buat apa saya mesti memojokkannya jika pilihan itu diambil dengan penuh
kesadaran dan rasa tanggungjawab?
Tak jarang, saya masih menemui orang yang
menuduh wanita yang ingin memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya ini telah
terpengaruh oleh pemikiran feminisme, walaupun memang benar sebuah pemikiran
jika dikonsumsi dengan serius pasti akan merubah cara pandang seseorang
terhadap hidupnya. Namun, saya yakin tidak semua wanita, apalagi muslimah,
membuatnya menjadi alasan utama dalam membuat pilihan. Feminisme itu produk
barat, tidak relevan dengan nilai-nilai Islam. Kalau kita menjalankan Islam
secara kaffah, maka wanita tidak perlu dikacaukan dengan nilai-nilai produk
barat.
Saya tidak mengingkari bahwa Islam adalah
agama yang syamil dan mutakamil. Lengkap, sempurna betul. Namun,
sekali lagi bagi saya, perhatian kita bukan pada ranah feminisme, yakni sebuah
paham yang menuntut kesetaraan gender. Namun, setiap orang, pria dan wanita,
harus mampu membuat pilihan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Kebetulan,
kita sedang menyoroti pilihan kaum wanita untuk mencapai kehidupan yang
bermakna yang untuk beberapa kasus pilihan-pilihan itu cenderung tidak populer
dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Misalnya, perceraian itu tadi.
Bagi saya sendiri, kajian feminisme sudah
berkembang seiring dengan pemikiran wanita. Saya tidak anti dengan wacana,
termasuk feminisme. Yang penting saya bukan pelaku atau praktisinya. Nah, dari
pengalaman saya untuk selalu memahami dunia wanita ini, saya merasa para muslimah
tidak perlu reaktif dan menolak semua wacana yang "dianggap tidak sejalan
dengan Islam". Jika kita mengikuti perkembangan pemikiran-pemikiran itu,
kita tahu dimana letak kekurangan para wanita sehingga kita tahu apa maunya
wanita.
Saya katakan tadi, saya bukan seorang feminist,
jadinya saya bukan seorang ahli yang bisa menjelaskan panjang kali lebar kali
tinggi soal kajian ini. Namun, menurut yang saya baca dalam sebuah buku Posfeminisme
& Cultural Studies karya Ann Brooks, dikatakan bahwa ada perdebatan
akibat tekanan dari luar dan dalam lingkaran pemerhati wanita soal epistemologi
feminisme. Adanya kecenderungan "men-generalisir" atau
"menotalkan" dalam pembentukan teori feminisme telah mendapat
tentangan karena dianggap sudah tidak relevan. Teori itu telah dianggap gagal
dalam menunjukkan permasalahan wanita yang sebenarnya.
Selain di Eropa, istilah kesetaraan gender
dalam kajian feminisme muncul sekitar tahun 1830 dan memuncak di 1890 selama
era reformasi sosial di AS. Lalu, feminisme gelombang kesatu itu masih
dilanjutkan dengan gelombang kedua karena ketidakpuasan sosial secara umum di tahun
1960-an. Inilah era feminisme yang seperti fokus kebanyakan orang, yakni yang
menggugat tentang kesetaraan gender, mobilitas karier, dsb. Faktanya, perempuan
terus bergerak. Sesungguhnya yang terjadi pascafeminisme gelombang kedua,
muncul wacana posfeminisme yang dianggap sebagai reaksi buruk (backlash)
melawan perjuangan feminisme tradisional yang membela persamaan perempuan.
Posfeminisme adalah rekasi wanita itu sendiri kepada wanita yang masih
meributkan tentang nature vs nurture, tentang dunia publik vs
domestik, tentang karier vs keluarga, tentang pria jahat vs patriarki jahat,
dan semisalnya.
Posfeminisme juga lahir akibat kesadaran bahwa
faktanya wanita tersebar dalam berbagai kelas sosial, rasial, budaya, dan
agama. Artinya, wanita akan merasakan pengalaman sosial dan kesadaran personal
yang berbeda-beda. Sudah tidak jamannya menganggap penindasan patriarki adalah
penindasan yang universal. Posfeminisme mengakui perbedaan daripada persamaan.
Wanita digambarkan sebagai pribadi yang tangguh, tidak menganggap dirinya
sebagai krban, tidak ambisius dengan kekuasaan. Jadi, wanita adalah wanita itu
sendiri. Maka, nikmatilah menjadi wanita. Posfeminisme mengajak wanita untuk
memperbaiki kehidupannya baik dalam lingkungan kerja maupun keluarga,
lingkungan publik maupun domestik. Alih-alih mempertentangkan keduanya,
kesadaran posfeminisme memunculkan keyakinan di kalangan wanita untuk memadukan
dua dunia ini.
Menarik! Di saat kita sudah disadarkan oleh
agama kita bahwa tidak ada yang salah tentang peran laki-laki dan perempuan
ini, mereka baru mendapatkan ide sekitar tahun 1980-1990an bahwa berhubung
wanita sudah mendapatkan kesetaraan, mereka tidak perlu lagi protes karena
semakin lama kok ya gerakan mereka menimbulkan kaum pembenci laki-laki dan
lesbian, akhirnya lahir posfeminisme.... Lho? Jadi keasyikan membahas
perkembangan feminisme? Balik lagi bahwa menurut perkembangan kajian wanita
ini, sudah seharusnya kita menganggap bahwa nita memiliki kesadaran yang cukup
tinggi untuk menentukan arah hidupnya. Tentu, sebagai muslimah kita punya cara
sendiri dalam memahami wanita, bukan? Kita bisa membagi pemahaman itu dengan
sesama.
Oke, fokus kita bukan soal tuduhan bahwa apa
yang menjadi keputusan seorang wanita akan kehidupannya yang kita anggap tidak
sejalan dengan pikiran kita itu adalah karena tidak mampu menjalankan tuntutan
agama dan norma masyarakat dengan benar atau semata terkena imbas paham
feminisme. Fokus kita seharusnya bagaimana wanita bisa membuat sebuah keputusan
yang penting bagi kehidupannya dengan penuh kesadaran, baik kesadaran agama, kesadaran moral, kesadaran finansial, dll.
dengan penuh kebahagiaan.
Wake Up, Be Awesome! -1- | -2- | -3-|-4- | -5- | -6- | -7- | -8- |
Oh wow...jarang saya temukan tulisan mak2 pengguna blogspot yg sampai sedalam ini...kalau di wordpress banyak. Bahan pemikiran yg bagus. Saya sendiri sering menjadi saksi hidup bgmn menderitanya perempuan2 feminis level ekstrim. Semoga mrk akhirnya menemukan yg mrk cari sebelum terlambat. Btw masukan saja mba mgk perlu ganti template terutama utk kotak respon krn sy alami kesulitan jwb setiap mampir...:) srg kotaknya tdk muncul.
BalasHapus