Senin, 07 Desember 2015

WUBA! -8- Wanita bukan obyek ^^




Dinamika Eksistensi Wanita

Membicarakan tentang eksistensi wanita tentu tidak bisa memakai patokan hitam-putih. Bukan begitu? Wanita adalah makhluk hidup yang dinamis. Bukan barang, bukan benda yang bisa diobyek-obyekkan. Kita tentu sepakat bahwa wanita itu adalah subyek yang juga memiliki kesadaran untuk "mengada". Sangat tidak humanis sekali jika wanita diatur-atur sesuai dengan standar pribadi seseorang. Lho, kok saya jadi "feminis" sekali? Eit, "feminis" yang bagaimana dulu? Concern saya tentu pada konsep wanita yang tidak menyalahi nurture atau nature. Tidak menyalahi keberadaan wanita yang tumbuh berdasarkan naluri alamiah atau yang based on culture. Tidak dipungkiri bahwa wanita bertumbuh dan berkembang dengan pengaruh yang bersifat alamiah dan juga budaya.
Maka, tatkala sebagai pribadi, wanita memiliki pikiran untuk mengembangkan eksistensi dirinya, saya ya senang saja melihatnya. Saya pernah mengenal seorang teman wanita yang berpikir, apakah salah jika ia memutuskan sebuah perkara penting dalam hidupnya yang itu tidak selazimnya atau tidak "sepantasnya" diambil oleh seorang wanita? Apakah kata "kepantasan" itu semuanya merupakan produk agama yang kita anut, yang derajatnya absolut, mutlak? Tentu tidak! Pasti ada kata "pantas" yang merupakan produk pemikiran manusia. Nah, segala pemikiran manusia tidak ada yang mutlak selalu betul, bukan? Manusia bisa salah menentukan standar "kepantasan" ini.
Saya cuma manggut-manggut mendengar argumen teman saya itu. Jujur, saya sendiri pernah merasa bahwa manifesto perilaku seseorang seringkali dipengaruhi oleh unsur lingkungan dan cara berpikir. Saya pernah bertanya juga, mengapa ketika seseorang ingin membuka sebuah kenyataan baru bagi dirinya tak jarang dikatakan sebagai orang yang lari dari kenyataan? Saya berpikir, kalau kenyataan yang dia bangun itu adalah keinginan untuk bunuh diri, tentu saja saya sepakat bahwa dia sedang melarikan diri dari sebuah masalah dunia yang nyata. Menurut saya, tidak ada kenyataan baru yang akan kita jumpai setelah kematian, kecuali persidangan akhirat. Saya berpikir salahkah jika seseorang mengambil sebuah solusi dari permasalahan hidupnya jauh dari "apa yang diharapkan orang", yang tidak seperti pada umumnya orang, yang dianggap oleh orang sungguh tidak pantas? Lalu, ketidakpantasan itu mendapat justifikasi atas nama agama dan norma masyarakat? Salahkah jika seseorang ingin menjadi dirinya sendiri, menjadi si A, atau si B, menjadi seperti apa yang ia pikirkan dan inginkan?
Tanpa sadar, kadangkala kita termasuk orang yang gampang berkomentar....
"Sssst, si Ibu itu bercerai juga, kan, akhirnya? Saya bilang juga apa?"
"Coba lihat, kerjaan saja yang diurusi. Anaknya, tuh, lengket benar sama pengasuhnya. Mau jadi apa ntar anak itu?"
"Coba si Jeng itu. Bodohnyaaaa.... Jaman sekarang nyari pekerjaan, kan, susah! Pakai mau sok bijaksana meninggalkan pekerjaan untuk keluarga tercinta. Memangnya, hidup cukup makan tiga kali dalam sehari saja? Tahu sendiri, sekarang apa-apa mahal! Sekolah aja mahal, kok."
Ambil contoh lebih lanjut soal perceraian ini. Langsung, berbagai komentar miring dan justifikasinya yang tidak sedap "menghantam" seseorang yang memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya. Belum lagi soal stereotip "janda cerai" didengung-degungkan persis di telinganya. Saya bukannya menyetujui perceraian dan mendorong wanita untuk mengambil jalan ini sebagai sebuah solusi yang terlalu buru-buru. Namun, saya membayangkan bahwa seorang wanita yang cerdas secara intelektual dan spiritual tentulah mampu mempertanggungjawabkan apa-apa yang akan dipilihnya. Sama halnya dengan para wanita yang memutuskan bekerja dan enggan menjadi ibu rumah tangga saja. Buat apa saya mesti memojokkannya jika pilihan itu diambil dengan penuh kesadaran dan rasa tanggungjawab?
Tak jarang, saya masih menemui orang yang menuduh wanita yang ingin memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya ini telah terpengaruh oleh pemikiran feminisme, walaupun memang benar sebuah pemikiran jika dikonsumsi dengan serius pasti akan merubah cara pandang seseorang terhadap hidupnya. Namun, saya yakin tidak semua wanita, apalagi muslimah, membuatnya menjadi alasan utama dalam membuat pilihan. Feminisme itu produk barat, tidak relevan dengan nilai-nilai Islam. Kalau kita menjalankan Islam secara kaffah, maka wanita tidak perlu dikacaukan dengan nilai-nilai produk barat.
Saya tidak mengingkari bahwa Islam adalah agama yang syamil dan mutakamil. Lengkap, sempurna betul. Namun, sekali lagi bagi saya, perhatian kita bukan pada ranah feminisme, yakni sebuah paham yang menuntut kesetaraan gender. Namun, setiap orang, pria dan wanita, harus mampu membuat pilihan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Kebetulan, kita sedang menyoroti pilihan kaum wanita untuk mencapai kehidupan yang bermakna yang untuk beberapa kasus pilihan-pilihan itu cenderung tidak populer dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Misalnya, perceraian itu tadi.
Bagi saya sendiri, kajian feminisme sudah berkembang seiring dengan pemikiran wanita. Saya tidak anti dengan wacana, termasuk feminisme. Yang penting saya bukan pelaku atau praktisinya. Nah, dari pengalaman saya untuk selalu memahami dunia wanita ini, saya merasa para muslimah tidak perlu reaktif dan menolak semua wacana yang "dianggap tidak sejalan dengan Islam". Jika kita mengikuti perkembangan pemikiran-pemikiran itu, kita tahu dimana letak kekurangan para wanita sehingga kita tahu apa maunya wanita.
Saya katakan tadi, saya bukan seorang feminist, jadinya saya bukan seorang ahli yang bisa menjelaskan panjang kali lebar kali tinggi soal kajian ini. Namun, menurut yang saya baca dalam sebuah buku Posfeminisme & Cultural Studies karya Ann Brooks, dikatakan bahwa ada perdebatan akibat tekanan dari luar dan dalam lingkaran pemerhati wanita soal epistemologi feminisme. Adanya kecenderungan "men-generalisir" atau "menotalkan" dalam pembentukan teori feminisme telah mendapat tentangan karena dianggap sudah tidak relevan. Teori itu telah dianggap gagal dalam menunjukkan permasalahan wanita yang sebenarnya.
Selain di Eropa, istilah kesetaraan gender dalam kajian feminisme muncul sekitar tahun 1830 dan memuncak di 1890 selama era reformasi sosial di AS. Lalu, feminisme gelombang kesatu itu masih dilanjutkan dengan gelombang kedua karena ketidakpuasan sosial secara umum di tahun 1960-an. Inilah era feminisme yang seperti fokus kebanyakan orang, yakni yang menggugat tentang kesetaraan gender, mobilitas karier, dsb. Faktanya, perempuan terus bergerak. Sesungguhnya yang terjadi pascafeminisme gelombang kedua, muncul wacana posfeminisme yang dianggap sebagai reaksi buruk (backlash) melawan perjuangan feminisme tradisional yang membela persamaan perempuan. Posfeminisme adalah rekasi wanita itu sendiri kepada wanita yang masih meributkan tentang nature vs nurture, tentang dunia publik vs domestik, tentang karier vs keluarga, tentang pria jahat vs patriarki jahat, dan semisalnya.
Posfeminisme juga lahir akibat kesadaran bahwa faktanya wanita tersebar dalam berbagai kelas sosial, rasial, budaya, dan agama. Artinya, wanita akan merasakan pengalaman sosial dan kesadaran personal yang berbeda-beda. Sudah tidak jamannya menganggap penindasan patriarki adalah penindasan yang universal. Posfeminisme mengakui perbedaan daripada persamaan. Wanita digambarkan sebagai pribadi yang tangguh, tidak menganggap dirinya sebagai krban, tidak ambisius dengan kekuasaan. Jadi, wanita adalah wanita itu sendiri. Maka, nikmatilah menjadi wanita. Posfeminisme mengajak wanita untuk memperbaiki kehidupannya baik dalam lingkungan kerja maupun keluarga, lingkungan publik maupun domestik. Alih-alih mempertentangkan keduanya, kesadaran posfeminisme memunculkan keyakinan di kalangan wanita untuk memadukan dua dunia ini. 
Menarik! Di saat kita sudah disadarkan oleh agama kita bahwa tidak ada yang salah tentang peran laki-laki dan perempuan ini, mereka baru mendapatkan ide sekitar tahun 1980-1990an bahwa berhubung wanita sudah mendapatkan kesetaraan, mereka tidak perlu lagi protes karena semakin lama kok ya gerakan mereka menimbulkan kaum pembenci laki-laki dan lesbian, akhirnya lahir posfeminisme.... Lho? Jadi keasyikan membahas perkembangan feminisme? Balik lagi bahwa menurut perkembangan kajian wanita ini, sudah seharusnya kita menganggap bahwa nita memiliki kesadaran yang cukup tinggi untuk menentukan arah hidupnya. Tentu, sebagai muslimah kita punya cara sendiri dalam memahami wanita, bukan? Kita bisa membagi pemahaman itu dengan sesama. 
Oke, fokus kita bukan soal tuduhan bahwa apa yang menjadi keputusan seorang wanita akan kehidupannya yang kita anggap tidak sejalan dengan pikiran kita itu adalah karena tidak mampu menjalankan tuntutan agama dan norma masyarakat dengan benar atau semata terkena imbas paham feminisme. Fokus kita seharusnya bagaimana wanita bisa membuat sebuah keputusan yang penting bagi kehidupannya dengan penuh kesadaran, baik kesadaran agama, kesadaran moral, kesadaran finansial, dll. dengan penuh kebahagiaan.

Wake Up, Be Awesome! -1- | -2- | -3-|-4- | -5- | -6- | -7- | -8- |


1 komentar:

  1. Oh wow...jarang saya temukan tulisan mak2 pengguna blogspot yg sampai sedalam ini...kalau di wordpress banyak. Bahan pemikiran yg bagus. Saya sendiri sering menjadi saksi hidup bgmn menderitanya perempuan2 feminis level ekstrim. Semoga mrk akhirnya menemukan yg mrk cari sebelum terlambat. Btw masukan saja mba mgk perlu ganti template terutama utk kotak respon krn sy alami kesulitan jwb setiap mampir...:) srg kotaknya tdk muncul.

    BalasHapus

Pengikut

Supporting KEB

Supporting KEB
Kumpulan Emak Blogger

Histats

Histats.com © 2005-2014 Privacy Policy - Terms Of Use - Check/do opt-out - Powered By Histats