Rabu, 09 Desember 2015

WUBA! -9- Perempuan dan Facebook





https://pixabay.com/en/facebook-eyes-model-girl-woman-695108/

Dunia Wanita dan Fenomena Facebook

Hari gini tidak tahu Facebook? Please, deh, rugi dunia akhirat, ya? Tentu tidaaak.
Facebook yang didirikan oleh Mark Zuckerberg ini memiliki kotak kecil yang ... ajaib. Sayang, kalau dilewatkan xixixixixi Kotak itu bisa merepresentasikan apa yang sedang kita rasakan atau pikirkan dengan barisan kata-kata. Bahkan, kotak itu bisa membuat kita bisa meraba pikiran orang lain. Ehem. Kotak apakah itu? Kotak status.
Para pengguna Facebook bebas menulis apa saja di status mereka. Apa kepentingan mereka dengan status? Tentu saja, memperoleh tanggapan dari teman-temannya. Hah? Ngga selalu begitu? Beneran?
Bayangkan, saat seseorang memasang status bahwa ia sedang sakit, maka satu-dua, belasan, bahkan puluhan orang akan menyampaikan empatinya. Saat seseorang pasang status bahagia, maka semua temannya akan memberi ucapan selamat dan sebagainya. Ketika seseorang menuliskan minatnya di status, orang-orang akan segera meresponnya dan membagi minat yang sama. Betapa banyak orang yang begitu mendengarkan dan memperhatikan. Bahkan, orang yang tadinya sama sekali asing bagi kita menjadi akarab melalui Facebook!
Kenapa Facebook begitu booming? Menurut pikiran sederhana dari seorang ibu rumah tangga seperti saya dengan kacamata eksistensialisme, masyarakat modern cenderung sibuk dan invidualis. Masalah terbesar dari masyarakat modern ini adalah kesepian. David Riesman dalam bukunya The Lonely Crowd (dalam Koeswara, 1987), mengatakan bahwa manusia modern adalah manusia yang sepi di dalam keramaian dan kebisingan massa, yang menandai adanya kekosongan yang kian memuncak sejalan dengan pengalaman keterasingan yang semakin intens sebagai konsekuensi dari sistematisasi dan otomatisasi kerja. Nah, manusia-manusia modern ini pada kenyataannya mendapatkan kehangatan dan keramahan di dunia maya (baca: Facebook) yang nyatanya ampuh untuk mengusir rasa sepi meskipun di lain sisi Facebook memiliki banyak kegunaan seperti kebutuhan jaringan kerja, promo, jualan dll. misalnya.
Berbicara soal "kehangatan" dari Facebook ini, tidak hanya wanita karier yang tercebur dalam dunia publik yang sibuk yang mampu merasakannya melainkan ibu-ibu rumah tangga yang notabene tidak bekerja di luar pun telah mampu menyerapnya. Why? Faktanya, ibu-ibu itu juga merasakan sepi ketika harus berada di rumah selama suami mereka bekerja dari pagi hingga malam. Ibu-ibu rumah tangga juga mengalami permasalahan yang cukup kompleks dengan keberadaannya. Dengan dunianya yang terkesan monoton dan tidak dinamis. Pada akhirnya, kita menjadi tahu bahwa banyak wanita yang menyukai Facebook, tak peduli wanita pekerja maupun stay at home mommy.
Permasalahannya sekarang: apakah para wanita mampu berinteraksi secara sehat dengan Facebook?
Hmmm.... Saya sering melihat keluhan para pengguna Facebook terhadap pengguna lainnya yang hobi membuat status dengan nada mengeluh. Saya sendiri sering melihat dan membaca status-status yang bernada sama. Mengeluh dan mengeluh. Sungguh, sejatinya keluhan selalu menebarkan aura yang negatif. Adalagi status-status bernada perang, status-status sindiran, status-status alay, dsb. Membuat pembacanya merasa tak nyaman. Memang, sahabat atau keluarga pemasang status mungkin akan selalu maklum, mendukung, dan simpati walaupun ratusan kali ia memasang status “ngga banget”.
Namun, bagaimana dengan orang lain? Status Facebook selalu menjadi konsumsi umum, bukan? Sudah menjadi rahasia umum bahwa tak jarang keluhan di Facebook bisa berbuntut panjang.
Nah, bagaimana jika sebagian yang memasang status-status itu adalah rekan-rekan kita para wanita? Haduuuh.... Saya pernah mendiskusikan sebuah catatan dengan teman Facebook saya. Suatu kali, ia (yang tentu saja berniat baik) mengajak seorang teman yang hobi mengeluh di status untuk masuk ke sebuah grup anti-mengeluh yang isinya pengguna Facebook yang berkomitmen untuk tidak mengeluh di Facebook. Sayangnya, kata teman saya itu, teman yang di ajaknya itu malah marah-marah. Saya katakan pada teman Facebook saya, bahwa ia telah melakukan "sedikit" kekeliruan. Lho, keliru bagaimana? Menurut saya, orang yang menulis status-status keluhan biasanya adalah orang-orang yang "bermasalah" di dunia nyata. Biasanya, orang yang bermasalah itu sensitif. Dengan mengajaknya masuk ke dalam grup anti-mengeluh itu pastilah sama dengan memukul telak ke jantungnya. Tanpa harus dikasih tahu dan diundang masuk ke sebuah grup, dia pasti tahu kalau status-statusnya bermasalah. Mmm … logikanya sih orang yang sering mengeluh tahu bahwa hidupnya “tidak baik-baik saja”. Apalagi jika yang mengundangnya adalah orang yang belum begitu akrab di dunia Facebook yang maya, apalagi di dunia nyata. Kalau tidak kenal dekat, biasanya orang akan bilang "ngapain sibuk ngurusin orang lain".
Sebetulnya, saya lebih suka jika seseorang kurang berkenan dengan perilaku teman Facebooknya, ia akan berusaha mendekati dan berempati terlebih dahulu sebelum menegur atau memberi masukan. Kalau tidak sanggup, jangan pedulikan statusnya atau silakan menyisihkannya dari daftar pertemanan. Saya pribadi lebih suka membiarkan orang-orang yang "bermasalah" tersebut untuk mengeksplore perasaannya sendiri melalui status-status yang dia buat. Saya yakin, ia pasti akan banyak belajar dari apa yang dilakukannya. Dia sudah mengusahakan hidupnya sedemikian rupa (sesuai kemampuannya) yang Allah akan mengganjar sama seperti yang dia upayakan. Saya sungguh sangat percaya bahwa Facebook bisa merubah hidup seseorang menjadi lebih baik atau buruk, sesuai dengan apa yang telah ia lakukan.
Kenapa saya terlihat begitu santai menanggapi orang-orang yang "bermasalah" itu dan bahkan cenderung menganggap enteng? Sesungguhnya saya tidak pernah menganggap itu masalah yang ringan. Saya yakin, bahwa "keadaan bermasalah" itu adalah pengalaman hidup yang sedang ia lewati. Kita tidak perlu terlalu menghakimi sesuatu yang sesungguhnya tidak bisa kita rasakan walaupun logika kita mengatakan bahwa persoalan "seremeh" itu tidak perlu dikeluhkan dan membuat orang lain menjadi "tong sampah". Sekali lagi, dekati dia, beri pandangan, atau tinggalkan saja dia tanpa harus menyerangnya. Dia akan bertumbuh dan mendapatkan apa yang sudah ia lakukan. Di dunia ini, selain harus kuat melihat orang lain sukses, kadang kita harus kuat melihat seseorang terjatuh. Sebab sebelum seseorang sukses atau jatuh, ia tentu memiliki banyak pilihan.
Saya berinteraksi dengan dunia maya sekitar tahun 1999, ketika pertama kali internet masuk ke kota tempat saya lahir dan dibesarkan. Jaman dulu, orang ramai berinteraksi melalui chatting (mIRC) atau milis. Belum ada jejaring semacam Friendster, Facebook, dan lain-lainnya. Belum musim orang ramai membuat blog. Bertahun-tahun saya "tenggalam" dalam dunia maya yang dipenuhi oleh pribadi yang berbeda-beda. Kalau sekarang tampak sekali orang yang bermasalah suka mengeluh melalui status-status di Facebook-nya, jaman itu kita hanya bisa "meraba" pribadi yag bermasalah melalui interaksi dan tema-tema pembicaraannya dalam chatting terbuka. Tak jarang, curhat-curhat pribadi menjadi bermunculan di private chatting atau email. See? Apapun bentuknya, selalu ada orang-orang yang bermasalah yang "berlari" dari dunia nyatanya menuju dunia maya. Dia tahan berjam-jam bahkan menghabiskan waktunya untuk bercumbu dan bercanda dengan teman-teman mayanya alih-alih membangun relasi yang baik dengan orang-orang di dunia nyata.
Dulu, sebelum saya mengenal konsep eksistensialism, saya merasa bahwa orang-orang yang bermasalah di dunia nyata itu melarikan diri ke dalam dunia maya karena gagal melakukan coping stress, yakni sebuah usaha untuk menanggulangi permasalahan yang membuatnya tertekan baik secara internal maupun eksternal. Namun, ketika saya berdiskusi dengan salah satu teman saya di dunia maya, saya malah mendapati fakta lain tentang coping berhavior ini.
Sejatinya, coping behavior sendiri adalah usaha individu dalam melakukan interaksi dengan sekitarnya untuk menyelesaikan suatu masalah. Nah, "interaksi dengan sekitarnya" itu tentu saja bertujuan untuk membuka kemungkinan-kemungkinan baru, membuka wawasan baru tentang bagaimana ia mampu mengatasi masalahnya.
Lebih jauh, ketika saya mengenal konsep eksistensialism ini, saya menemukan justifikasi atas pendapat itu bahwa pada dasarnya manusia memiliki kebebasan dalam berkehendak dan memilih. Manusia bebas membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang bisa ia usahakan baik di dunia nyata maupun dunia maya untuk mengatasi semua permasalahannya. Sebuah contoh sederhana, ketika saya sempat merasa "jenuh" menjadi stay at home mommy yang tidak memiliki banyak kenalan di dunia nyata saya yang baru (baru pindah tempat tinggal) dan juga terputus dengan dunia maya saya yang dulu, seolah tak berdaya di 24 jam dalam hidupnya, saya merasa mendapat "udara" ketika menemukan jejaring Facebook dan kembali berinteraksi dengan banyak orang. Walau hanya dunia maya. Saat itu, saya begitu terlena dengan perhatian-perhatian yang hangat dan empatik dari teman-teman yang tidak saya dapatkan dari dunia nyata. Namun, seiring perkembangan aktifitas saya di Facebook dengan bertemunya saya dengan sekumpulan ibu-ibu rumah tangga dan komunitas penulis, saya justru menganggap jejaring ini adalah peluang pegembangan diri. Pikiran saya tidak lagi terpusat tentang bagaimana saya bisa memperoleh begitu banyak perhatian dan empati. Masalahnya, tak banyak dari orang yang bermasalah itu menyadari potensi-potensi ini.
Dari bergaul dengan banyak teman di Facebook yang "bermasalah", sebagian besar permasalahan yang mereka hadapi adalah seputar frustrasi eksistensial. Sama persis dengan saya ketika belum menemukan Facebook dalam artinya yang baru, yakni media pegembangan diri. Bedanya, ada yang hobi mengeluh ada yang tidak namun terpancar dari rangkaian kata-kata di status keluhan terselubungnya atau di catatan-catatan yang ia buat. Jujur saja, saya memiliki ide menulis buku ini juga berawal dari interaksi saya di Facebook. Saya lebih suka mengajak pengguna Facebook yang dilanda masalah frustrasi eksistensial dalam hidupnya itu mulai memahami makna dan tujuan hidupnya dengan baik sehingga Facebook hanyalah sebagi alat interaksi yang tidak memasung kesadaran kita. Kita pun menjadi sadar, apa yang kita tulis dalam status-status kita adalah kata-kata yang bisa dipertanggungjawabkan, termasuk segala keluhan kita.
Jadi, fakta yang ada adalah: kita mampu mengatasi semua permasalahan hidup melalui kemungkinan-kemungkinan baru yang kita usahakan. Facebook tak hanya sebagai ajang "pelarian". Bahkan, apa yang mungkin dikatakan orang sebagai sebuah bentuk pelarian atau katarsis nggak penting itu  bisa mendatangkan solusi yang lebih baik bagi hidup seseorang.
Nah, kalau Anda, sudah membuka kemungkinan baru apa saat ber-Facebook? Kebaikan atau keburukan? Atau hanya begitu-begitu saja? Kita sendiri yang tahu.
Salam WUBA! ^^



Wake Up, Be Awesome! -1- | -2- | -3-|-4- | -5- | -6- | -7- | -8- | -9- |




1 komentar:

  1. Nggak terlalu into facebook. Plg utk kontak2an saat darurat. Selama bisa memanfaatkan dengan tepat insyaallah manfaat yang baik tg didapat..salam..

    BalasHapus

Pengikut

Supporting KEB

Supporting KEB
Kumpulan Emak Blogger

Histats

Histats.com © 2005-2014 Privacy Policy - Terms Of Use - Check/do opt-out - Powered By Histats