https://pixabay.com/en/facebook-eyes-model-girl-woman-695108/
Dunia Wanita dan Fenomena Facebook
Hari gini tidak tahu Facebook? Please,
deh, rugi dunia akhirat, ya? Tentu tidaaak.
Facebook yang didirikan oleh Mark Zuckerberg
ini memiliki kotak kecil yang ... ajaib. Sayang, kalau dilewatkan xixixixixi Kotak itu bisa merepresentasikan apa yang sedang kita
rasakan atau pikirkan dengan barisan kata-kata. Bahkan, kotak itu bisa membuat kita bisa meraba pikiran orang lain. Ehem. Kotak apakah itu? Kotak status.
Para pengguna Facebook bebas menulis apa saja
di status mereka. Apa kepentingan mereka dengan status? Tentu saja, memperoleh
tanggapan dari teman-temannya. Hah? Ngga
selalu begitu? Beneran?
Bayangkan, saat seseorang memasang status
bahwa ia sedang sakit, maka satu-dua, belasan, bahkan puluhan orang akan
menyampaikan empatinya. Saat seseorang pasang status bahagia, maka semua
temannya akan memberi ucapan selamat dan sebagainya. Ketika seseorang
menuliskan minatnya di status, orang-orang akan segera meresponnya dan membagi minat yang sama. Betapa banyak orang yang begitu mendengarkan dan memperhatikan.
Bahkan, orang yang tadinya sama sekali asing bagi kita menjadi akarab melalui
Facebook!
Kenapa Facebook begitu booming? Menurut
pikiran sederhana dari seorang ibu rumah tangga seperti saya dengan kacamata
eksistensialisme, masyarakat modern cenderung sibuk dan
invidualis. Masalah terbesar dari masyarakat modern ini adalah kesepian. David
Riesman dalam bukunya The Lonely Crowd (dalam Koeswara, 1987),
mengatakan bahwa manusia modern adalah manusia yang sepi di dalam keramaian dan
kebisingan massa, yang menandai adanya kekosongan yang kian memuncak sejalan
dengan pengalaman keterasingan yang semakin intens sebagai konsekuensi dari sistematisasi
dan otomatisasi kerja. Nah, manusia-manusia modern ini pada kenyataannya
mendapatkan kehangatan dan keramahan di dunia maya (baca: Facebook) yang
nyatanya ampuh untuk mengusir rasa sepi meskipun di lain sisi Facebook memiliki
banyak kegunaan seperti kebutuhan jaringan kerja, promo, jualan dll. misalnya.
Berbicara soal "kehangatan" dari
Facebook ini, tidak hanya wanita karier yang tercebur dalam dunia publik yang
sibuk yang mampu merasakannya melainkan ibu-ibu rumah tangga yang notabene
tidak bekerja di luar pun telah mampu menyerapnya. Why? Faktanya,
ibu-ibu itu juga merasakan sepi ketika harus berada di rumah selama suami
mereka bekerja dari pagi hingga malam. Ibu-ibu rumah tangga juga mengalami
permasalahan yang cukup kompleks dengan keberadaannya. Dengan dunianya yang
terkesan monoton dan tidak dinamis. Pada akhirnya, kita menjadi tahu bahwa
banyak wanita yang menyukai Facebook, tak peduli wanita pekerja maupun stay
at home mommy.
Permasalahannya sekarang: apakah para wanita
mampu berinteraksi secara sehat dengan Facebook?
Hmmm.... Saya sering melihat keluhan para
pengguna Facebook terhadap pengguna lainnya yang hobi membuat status dengan
nada mengeluh. Saya sendiri sering melihat dan membaca status-status yang
bernada sama. Mengeluh dan mengeluh. Sungguh, sejatinya keluhan selalu
menebarkan aura yang negatif. Adalagi status-status
bernada perang, status-status sindiran, status-status alay, dsb. Membuat pembacanya merasa tak nyaman. Memang,
sahabat atau keluarga pemasang status mungkin akan selalu maklum, mendukung,
dan simpati walaupun ratusan kali ia memasang status “ngga banget”.
Namun, bagaimana dengan orang lain? Status
Facebook selalu menjadi konsumsi umum, bukan? Sudah menjadi rahasia umum bahwa
tak jarang keluhan di Facebook bisa berbuntut panjang.
Nah, bagaimana jika sebagian yang memasang
status-status itu adalah rekan-rekan kita para wanita? Haduuuh.... Saya pernah
mendiskusikan sebuah catatan dengan teman Facebook saya. Suatu kali, ia (yang
tentu saja berniat baik) mengajak seorang teman yang hobi mengeluh di status
untuk masuk ke sebuah grup anti-mengeluh yang isinya pengguna Facebook yang
berkomitmen untuk tidak mengeluh di Facebook. Sayangnya, kata teman saya itu,
teman yang di ajaknya itu malah marah-marah. Saya katakan pada teman Facebook
saya, bahwa ia telah melakukan "sedikit" kekeliruan. Lho, keliru
bagaimana? Menurut saya, orang yang menulis status-status
keluhan biasanya adalah orang-orang yang "bermasalah" di dunia nyata.
Biasanya, orang yang bermasalah itu sensitif. Dengan mengajaknya masuk ke dalam
grup anti-mengeluh itu pastilah sama dengan memukul telak ke jantungnya. Tanpa
harus dikasih tahu dan diundang masuk ke sebuah grup, dia pasti tahu kalau
status-statusnya bermasalah. Mmm … logikanya sih orang yang sering mengeluh tahu bahwa hidupnya
“tidak baik-baik saja”. Apalagi jika yang mengundangnya adalah orang
yang belum begitu akrab di dunia Facebook yang maya, apalagi di dunia nyata.
Kalau tidak kenal dekat, biasanya orang akan bilang "ngapain sibuk
ngurusin orang lain".
Sebetulnya, saya lebih suka jika seseorang kurang
berkenan dengan perilaku teman Facebooknya, ia akan berusaha mendekati dan
berempati terlebih dahulu sebelum menegur atau memberi masukan. Kalau tidak
sanggup, jangan pedulikan statusnya atau silakan menyisihkannya dari daftar
pertemanan. Saya pribadi lebih suka membiarkan orang-orang yang "bermasalah"
tersebut untuk mengeksplore perasaannya sendiri melalui status-status yang dia
buat. Saya yakin, ia pasti akan banyak belajar dari apa yang dilakukannya. Dia
sudah mengusahakan hidupnya sedemikian rupa (sesuai kemampuannya) yang Allah
akan mengganjar sama seperti yang dia upayakan. Saya sungguh sangat percaya bahwa Facebook
bisa merubah hidup seseorang menjadi lebih baik atau buruk, sesuai dengan apa
yang telah ia lakukan.
Kenapa saya terlihat begitu santai menanggapi
orang-orang yang "bermasalah" itu dan bahkan cenderung menganggap
enteng? Sesungguhnya saya tidak pernah menganggap itu masalah yang ringan. Saya
yakin, bahwa "keadaan bermasalah" itu adalah pengalaman hidup yang
sedang ia lewati. Kita tidak perlu terlalu menghakimi sesuatu yang sesungguhnya
tidak bisa kita rasakan walaupun logika kita mengatakan bahwa persoalan
"seremeh" itu tidak perlu dikeluhkan dan membuat orang lain menjadi
"tong sampah". Sekali lagi, dekati dia, beri pandangan, atau tinggalkan saja dia
tanpa harus menyerangnya. Dia akan
bertumbuh dan mendapatkan apa yang sudah ia lakukan. Di dunia ini, selain harus
kuat melihat orang lain sukses, kadang kita harus kuat melihat seseorang
terjatuh. Sebab sebelum seseorang sukses atau jatuh, ia tentu memiliki banyak
pilihan.
Saya berinteraksi dengan dunia maya sekitar
tahun 1999, ketika pertama kali internet masuk ke kota tempat saya lahir dan
dibesarkan. Jaman dulu, orang ramai berinteraksi melalui chatting (mIRC)
atau milis. Belum ada jejaring semacam Friendster, Facebook, dan lain-lainnya.
Belum musim orang ramai membuat blog. Bertahun-tahun saya "tenggalam"
dalam dunia maya yang dipenuhi oleh pribadi yang berbeda-beda. Kalau sekarang
tampak sekali orang yang bermasalah suka mengeluh melalui status-status di
Facebook-nya, jaman itu kita hanya bisa "meraba" pribadi yag
bermasalah melalui interaksi dan tema-tema pembicaraannya dalam chatting
terbuka. Tak jarang, curhat-curhat pribadi menjadi bermunculan di private
chatting atau email. See? Apapun bentuknya, selalu ada
orang-orang yang bermasalah yang "berlari" dari dunia nyatanya menuju
dunia maya. Dia tahan berjam-jam bahkan menghabiskan waktunya untuk bercumbu
dan bercanda dengan teman-teman mayanya alih-alih membangun relasi yang baik
dengan orang-orang di dunia nyata.
Dulu, sebelum saya mengenal konsep
eksistensialism, saya merasa bahwa orang-orang yang bermasalah di dunia nyata
itu melarikan diri ke dalam dunia maya karena gagal melakukan coping stress,
yakni sebuah usaha untuk menanggulangi permasalahan yang membuatnya tertekan
baik secara internal maupun eksternal. Namun, ketika saya berdiskusi dengan
salah satu teman saya di dunia maya, saya malah mendapati fakta lain tentang coping
berhavior ini.
Sejatinya, coping behavior sendiri
adalah usaha individu dalam melakukan interaksi dengan sekitarnya untuk
menyelesaikan suatu masalah. Nah, "interaksi dengan sekitarnya" itu
tentu saja bertujuan untuk membuka kemungkinan-kemungkinan baru, membuka
wawasan baru tentang bagaimana ia mampu mengatasi masalahnya.
Lebih jauh, ketika saya mengenal konsep
eksistensialism ini, saya menemukan justifikasi atas pendapat itu bahwa pada
dasarnya manusia memiliki kebebasan dalam berkehendak dan memilih. Manusia
bebas membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang bisa ia usahakan baik di dunia
nyata maupun dunia maya untuk mengatasi semua permasalahannya. Sebuah contoh
sederhana, ketika saya sempat merasa
"jenuh" menjadi stay at home mommy yang tidak memiliki banyak
kenalan di dunia nyata saya yang baru (baru pindah tempat tinggal) dan juga
terputus dengan dunia maya saya yang dulu, seolah tak berdaya di 24 jam dalam
hidupnya, saya merasa mendapat "udara" ketika menemukan jejaring
Facebook dan kembali berinteraksi dengan banyak orang. Walau hanya dunia maya.
Saat itu, saya begitu terlena dengan perhatian-perhatian yang hangat dan
empatik dari teman-teman yang tidak saya dapatkan dari dunia nyata. Namun,
seiring perkembangan aktifitas saya di Facebook dengan bertemunya saya dengan
sekumpulan ibu-ibu rumah tangga dan komunitas penulis, saya justru menganggap
jejaring ini adalah peluang pegembangan diri. Pikiran saya tidak lagi terpusat
tentang bagaimana saya bisa memperoleh begitu banyak perhatian dan empati.
Masalahnya, tak banyak dari orang yang bermasalah itu menyadari potensi-potensi
ini.
Dari bergaul dengan banyak teman di Facebook
yang "bermasalah", sebagian besar permasalahan yang mereka hadapi
adalah seputar frustrasi eksistensial. Sama persis dengan saya ketika belum
menemukan Facebook dalam artinya yang baru, yakni media pegembangan diri.
Bedanya, ada yang hobi mengeluh ada yang tidak namun terpancar dari rangkaian
kata-kata di status keluhan terselubungnya atau di catatan-catatan yang ia
buat. Jujur saja, saya memiliki ide menulis buku ini juga berawal dari
interaksi saya di Facebook. Saya lebih suka mengajak pengguna Facebook yang
dilanda masalah frustrasi eksistensial dalam hidupnya itu mulai memahami makna
dan tujuan hidupnya dengan baik sehingga Facebook hanyalah sebagi alat
interaksi yang tidak memasung kesadaran kita. Kita pun menjadi sadar, apa yang
kita tulis dalam status-status kita adalah kata-kata yang bisa
dipertanggungjawabkan, termasuk segala keluhan kita.
Jadi, fakta yang ada
adalah: kita mampu mengatasi semua permasalahan hidup melalui
kemungkinan-kemungkinan baru yang kita usahakan. Facebook tak hanya sebagai
ajang "pelarian". Bahkan, apa yang mungkin dikatakan orang sebagai
sebuah bentuk pelarian atau katarsis nggak penting itu bisa mendatangkan solusi yang lebih baik bagi
hidup seseorang.
Nah, kalau Anda, sudah membuka kemungkinan
baru apa saat ber-Facebook? Kebaikan atau keburukan? Atau hanya begitu-begitu
saja? Kita sendiri yang tahu.
Salam WUBA! ^^
Wake Up, Be Awesome! -1- | -2- | -3-|-4- | -5- | -6- | -7- | -8- | -9- |
Nggak terlalu into facebook. Plg utk kontak2an saat darurat. Selama bisa memanfaatkan dengan tepat insyaallah manfaat yang baik tg didapat..salam..
BalasHapus