Minggu, 31 Januari 2016

Mubadzir!


"Super Savings" by Shawn Shepherd. Oil on Canvas. 38" by 48".


Hi, Maks!
Salam Damai ^^

Saya orang yang relatif “tidak peduli” dengan uang. Pintar menabung, tidak. Boros juga, tidak. Biasa saja. Sederhana: ada, Alhamdulillah, kalau ngga ada ya sudah. Saya memperlakukan uang “suka-suka saya”. Saya membeli apa yang saya suka dan menahan diri jika memang tidak ada. Alhamdulillah, saya tidak pernah kekurangan meski juga tidak berlebihan.

Dari cara berpikir seperti ini, mungkin saya bisa dibilang orang yang relatif menggampangkan sesuatu misalnya, membuang makanan, memberikan barang-barang pada orang, traktir karena kasihan atau karena rasa sayang, … dengan alasan positif atau negatif, saya benar-benar tidak menganggap uang adalah hal yang amat sangat penting dan suci. Asal saya tidak mati kelaparan dan tidak pusing memikirkan besok makan apa, semua adalah kondisi aman terkendali. Selama saya bisa mengatur uang belanja suami, bersusah payah mencuci popok dan rajin mengajarkan toilet training daripada menghabiskan uang untuk diapers, bersusah payah naik angkot dengan anak-anak sebelum nyetir sendiri daripada terus selalu naik taksi, memasak sendiri makanan dan aneka kue yang lebih sehat daripada jajan terus di rumah makan, apalah apalah ….

Tapi semua itu belum cukup rupanya. Semua berubah saat seseorang yang amat jauh berbeda menginterupsi hidup saya.

Suami saya termasuk pelit bicara kecuali jika sedang merayu. Tapi anehnya, soal makanan dan segala hal yang berbau “buang-buang uang”, si dia amat sangat ribut.

“Adek, jangan mubadzir! Jangan mubadzir! Laa tabdzir!”

Seiring ekonomi kami yang membaik meskipun naik turun, suami adalah orang serius dengan waktunya daripada sekedar membuka-buka isi kulkas atau lemari untuk sekedar mencari cemilan. Mas suami membaca, menulis, beraktifitas tanpa merasa wajib meminta istri membuatkan kopi atau menyediakan camilan meskipun tentu saja akan tersenyum dan mengucap terima kasih jika saya dengan suka rela duduk di sampingnya sambil membawa minuman plus camilan. Tapi jangan heran jika ia bisa tiba-tiba berdiri di dapur dengan seluruh pintu lemari terbuka. Mengeluarkan seluruh simpanan yang mendekati masa kadaluarsa ataupun sudah kadaluarsa. Aneka saus, sambel, masakan-makanan kemasan. Sayur mayur dan segala macam barang di kulkas ikut disasar. Dan jika sudah begitu, saya cuma bisa menatapnya ngeri sambil meringis. Mas Suami akan mencecar.

“Bagikan barang-barang yang sudah terlanjur dibeli dan ngga sanggup Adek habiskan. Itu lebih baik daripada mubadzir melewati batas kadaluarsa. Perhatikan dong kalau memang harus menyetok makanan. Pastikan cukup, bukan berlebih.”

Maka tak heran jika Mas Cakep ini mengawal belanja, akan selalu ada suara-suara ribut,

“Perlu ngga?”

“Pastikan karena butuh!”

“Mas lihat Adek masih punya setok itu.”

“Mas lihat Adek jarang pake yang semacam itu. Percuma.”

“Yang kemarin aja belum habis?”

“Sebanyak itu? Adek mau ngapain emangnya?”


“Beneran dipake alatnya? Banyak yang nganggur tuh!”

“Jadi adek ini  mau koleksi apa lagi?”

Mati gaya.


Membuang makanan? Jangan! Jangan lakukan di depan si Mas. Ampun, bakal dipelototin. Mas anti membuang makanan. Dengan sabar, Mas menghabiskan semua makanan sisa kami. Bayangkan, sisa kami. Jika aku kekenyangan, jika anak-anak menyisakan nasi di piringnya. Mas Suami selalu menasehati, 

“Ambillah makanan secukupnya. Pesan dan belilah secukupnya. Tambahlah jika ingin tambah.”

Ada manfaatnya? Hmmm … saya merasa hidup lebih berkah. Sebagai PNS, gaji suami tidak besar jika tidak ada tambahan-tambahan dinas tertentu. Tapi cukup. Alhamdulillah ‘alaa kulli haal.

Saya merasa semakin canggih mengatur pengeluaran. Belanjalah secukupnya. Jangan lapar mata. Jika lapar mata, berdamailah dengan hatimu. Move on dari mantan aja bisa masa baju cakep sepotong aja diributin? XD *btw, saya ngga punya mantan sih-info penting-

Anak-anak menjadi terbiasa tidak nyemil makanan-makanan yang tidak penting, menghabiskan seadanya makanannya hingga bersih tanpa tergoda jajan. Saya ngga bisa membayangkan uang mubadzir untuk memasak tapi ternyata anak-anak masih minta dibelikan makanan di luar atau malah minta jajan dan melupakan makanannya. Lagi-lagi, harus buang makanan? Jadi jangan heran jika ada teriakan di rumah,

“Bundaaaa, Eliz belum habiskan barakah makanannya!” Haedar menunjuk butir-butir nasi yang tersisa di piring adeknnya. Dia tahu, ibunya akan berubah menjadi Power Ranger yang menegakkan kebenaran.

Saya juga mungkin ... ratu tega yang membiarkan anak-anak saya nangis di toko hanya karena lapar mata dan lapar imajinasi. Saya khawatir anak-anak berpikir terus-terusan bahwa makan permen atau cokelat-cokelat itu akan membuatnya serasa piknik di Dufan :v Rasanya sayang sekali jika mereka mendapat reinforcement kepuasan yang keliru.

Saya tidak malu mendapat tatapan aneh atau dibilang pelit oleh pengunjung lainnya. Jika saya berhasil mengarahkan anak-anak, saya sendiri kok yang kelak memetik hasilnya, bukan mereka. Lagipula ini semua soal ketahanan ekonomi saya pribadi dan juga harapan kami akan masa depan mereka :D Saya menghamburkan uang untuk jajan dan hal-hal yang terlihat "menyenangkan" bagi anak-anak tidak akan mendidik mereka menjadi lebih baik dan bahkan bisa jadi gaya hidup mereka bisa membahayakan rejeki yang diamanahkan Allah pada orangtuanya dan bahkan pada diri mereka sendiri kelak. Naluri anak-anak adalah bersenang-senang. Prinsipnya, mereka tumbuh tanpa kekurangan gizi dan jajan yang pantas. Jangan heran jika ketemu saya di toko dengan anak-anak dan mereka sesekali teriak,

“Jangan beli ini, Bunda bilang sedang tidak ada uang jadi kita cuma bisa beli seharga ini.”

“Nana, uang Haedar cukup ngga untuk beli ini?”

“Eliz mau ini.”

“Eliz harus nabung dulu.”

“Bunda, boleh?”

“Boleh.”

“Yes!!!”

Hmmm … ternyata memang daftar “penting dan tidak penting” itu betul-betul harus saya perhatikan lagi agar bermanfaat banyak sedikitnya apa yang sudah diberikan Allah. Inikah kerja “barakah” itu? Allahu a’lam bishshawwab ^^ Yang jelas, saat suami masih suka menatap saya dan berbisik,

"Adek suka tas itu? Ambil saja. Mas yang bayar."

Hati saya yakin, memang keberkahan itu bukan berarti si Mas tidak bisa memanjakan "kerja kerasa" saya :D Semua aman terkendali. Dan hati saya sudah bahagia bilapun saya menjawabnya,

"Ngga ah, Mas. Sayang duitnya." <3 <3 <3

*dan dari kejauhan sayup terdengar suara protes laki-laki, "Huuuw beneran suka bilang 'ngga ah, Mas'?" XD
*terus dibales, "Ngga bersyukur ya punya istri kayak gini? Susahlah nyarinya." :v

Love you all ....

2 komentar:

  1. Hihihi tentu suaminya bersyukur bangeeet

    BalasHapus
  2. Samaaa......
    Tapi sayangnya saya gak setangguh itu menghadapi rengekan anak2
    teriak bareng, macam bunyi 4 frekuensi radio..nyaring sekali

    BalasHapus

Pengikut

Supporting KEB

Supporting KEB
Kumpulan Emak Blogger

Histats

Histats.com © 2005-2014 Privacy Policy - Terms Of Use - Check/do opt-out - Powered By Histats