"Super Savings" by Shawn Shepherd. Oil on Canvas. 38" by 48".
Hi, Maks!
Salam Damai ^^
Saya orang yang relatif “tidak peduli” dengan uang. Pintar
menabung, tidak. Boros juga, tidak. Biasa saja. Sederhana: ada, Alhamdulillah,
kalau ngga ada ya sudah. Saya memperlakukan uang “suka-suka saya”. Saya membeli
apa yang saya suka dan menahan diri jika memang tidak ada. Alhamdulillah, saya
tidak pernah kekurangan meski juga tidak berlebihan.
Dari cara berpikir seperti ini, mungkin saya bisa dibilang
orang yang relatif menggampangkan sesuatu misalnya, membuang makanan, memberikan
barang-barang pada orang, traktir karena kasihan atau karena rasa sayang, …
dengan alasan positif atau negatif, saya benar-benar tidak menganggap uang
adalah hal yang amat sangat penting dan suci. Asal saya tidak mati kelaparan
dan tidak pusing memikirkan besok makan apa, semua adalah kondisi aman
terkendali. Selama saya bisa mengatur uang belanja suami, bersusah payah
mencuci popok dan rajin mengajarkan toilet training daripada menghabiskan uang
untuk diapers, bersusah payah naik angkot dengan anak-anak sebelum nyetir
sendiri daripada terus selalu naik taksi, memasak sendiri makanan dan aneka kue
yang lebih sehat daripada jajan terus di rumah makan, apalah apalah ….
Tapi semua itu belum cukup rupanya. Semua berubah saat
seseorang yang amat jauh berbeda menginterupsi hidup saya.
Suami saya termasuk pelit bicara kecuali jika sedang merayu.
Tapi anehnya, soal makanan dan segala hal yang berbau “buang-buang uang”, si
dia amat sangat ribut.
“Adek, jangan mubadzir! Jangan mubadzir! Laa tabdzir!”
Seiring ekonomi kami yang membaik meskipun naik turun, suami
adalah orang serius dengan waktunya daripada sekedar membuka-buka isi kulkas
atau lemari untuk sekedar mencari cemilan. Mas suami membaca, menulis, beraktifitas
tanpa merasa wajib meminta istri membuatkan kopi atau menyediakan camilan
meskipun tentu saja akan tersenyum dan mengucap terima kasih jika saya dengan
suka rela duduk di sampingnya sambil membawa minuman plus camilan. Tapi jangan
heran jika ia bisa tiba-tiba berdiri di dapur dengan seluruh pintu lemari
terbuka. Mengeluarkan seluruh simpanan yang mendekati masa kadaluarsa ataupun
sudah kadaluarsa. Aneka saus, sambel, masakan-makanan kemasan. Sayur mayur dan
segala macam barang di kulkas ikut disasar. Dan jika sudah begitu, saya cuma
bisa menatapnya ngeri sambil meringis. Mas Suami akan mencecar.
“Bagikan barang-barang yang sudah terlanjur dibeli dan ngga
sanggup Adek habiskan. Itu lebih baik daripada mubadzir melewati batas
kadaluarsa. Perhatikan dong kalau memang harus menyetok makanan. Pastikan
cukup, bukan berlebih.”
Maka tak heran jika Mas Cakep ini mengawal belanja, akan
selalu ada suara-suara ribut,
“Perlu ngga?”
“Pastikan karena butuh!”
“Mas lihat Adek masih punya setok itu.”
“Mas lihat Adek jarang pake yang semacam itu. Percuma.”
“Yang kemarin aja belum habis?”
“Sebanyak itu? Adek mau ngapain emangnya?”
“Beneran dipake alatnya? Banyak yang nganggur tuh!”
“Jadi adek ini mau
koleksi apa lagi?”
Mati gaya.
Membuang makanan? Jangan! Jangan lakukan di depan si Mas.
Ampun, bakal dipelototin. Mas anti membuang makanan. Dengan sabar, Mas menghabiskan
semua makanan sisa kami. Bayangkan, sisa kami. Jika aku kekenyangan, jika
anak-anak menyisakan nasi di piringnya. Mas Suami selalu menasehati,
“Ambillah
makanan secukupnya. Pesan dan belilah secukupnya. Tambahlah jika ingin tambah.”
Ada manfaatnya? Hmmm … saya merasa hidup lebih berkah.
Sebagai PNS, gaji suami tidak besar jika tidak ada tambahan-tambahan dinas
tertentu. Tapi cukup. Alhamdulillah ‘alaa kulli haal.
Saya merasa semakin canggih mengatur pengeluaran. Belanjalah
secukupnya. Jangan lapar mata. Jika lapar mata, berdamailah dengan hatimu. Move
on dari mantan aja bisa masa baju cakep sepotong aja diributin? XD *btw,
saya ngga punya mantan sih-info penting-
Anak-anak menjadi terbiasa tidak nyemil makanan-makanan yang
tidak penting, menghabiskan seadanya makanannya hingga bersih tanpa tergoda
jajan. Saya ngga bisa membayangkan uang mubadzir untuk memasak tapi
ternyata anak-anak masih minta dibelikan makanan di luar atau malah minta jajan
dan melupakan makanannya. Lagi-lagi, harus buang makanan? Jadi jangan heran jika
ada teriakan di rumah,
“Bundaaaa, Eliz belum habiskan barakah makanannya!” Haedar
menunjuk butir-butir nasi yang tersisa di piring adeknnya. Dia tahu, ibunya
akan berubah menjadi Power Ranger yang menegakkan kebenaran.
Saya juga mungkin ... ratu tega yang membiarkan anak-anak saya nangis di
toko hanya karena lapar mata dan lapar imajinasi. Saya khawatir anak-anak berpikir terus-terusan bahwa makan
permen atau cokelat-cokelat itu akan membuatnya serasa piknik di Dufan :v Rasanya sayang
sekali jika mereka mendapat reinforcement kepuasan yang keliru.
Saya tidak malu mendapat tatapan aneh atau dibilang pelit
oleh pengunjung lainnya. Jika saya berhasil mengarahkan anak-anak,
saya sendiri kok yang kelak memetik hasilnya, bukan mereka. Lagipula ini semua
soal ketahanan ekonomi saya pribadi dan juga harapan kami akan masa depan
mereka :D Saya menghamburkan uang untuk jajan dan hal-hal yang terlihat "menyenangkan" bagi anak-anak tidak akan mendidik mereka
menjadi lebih baik dan bahkan bisa jadi gaya hidup mereka bisa membahayakan
rejeki yang diamanahkan Allah pada orangtuanya dan bahkan pada diri mereka
sendiri kelak. Naluri anak-anak adalah bersenang-senang. Prinsipnya, mereka tumbuh tanpa kekurangan gizi dan jajan yang
pantas. Jangan heran jika ketemu saya di toko dengan anak-anak dan mereka
sesekali teriak,
“Jangan beli ini, Bunda bilang sedang tidak ada uang jadi
kita cuma bisa beli seharga ini.”
“Nana, uang Haedar cukup ngga untuk beli ini?”
“Eliz mau ini.”
“Eliz harus nabung dulu.”
“Bunda, boleh?”
“Boleh.”
“Yes!!!”
Hmmm … ternyata memang daftar “penting dan tidak penting”
itu betul-betul harus saya perhatikan lagi agar bermanfaat banyak sedikitnya
apa yang sudah diberikan Allah. Inikah kerja “barakah” itu? Allahu a’lam
bishshawwab ^^ Yang jelas, saat suami masih suka menatap saya dan berbisik,
"Adek suka tas itu? Ambil saja. Mas yang bayar."
Hati saya yakin, memang keberkahan itu bukan berarti si Mas tidak bisa memanjakan "kerja kerasa" saya :D Semua aman terkendali. Dan hati saya sudah bahagia bilapun saya menjawabnya,
"Ngga ah, Mas. Sayang duitnya." <3 <3 <3
*dan dari kejauhan sayup terdengar suara protes laki-laki, "Huuuw beneran suka bilang 'ngga ah, Mas'?" XD
*terus dibales, "Ngga bersyukur ya punya istri kayak gini? Susahlah nyarinya." :v
Love you all ....
"Adek suka tas itu? Ambil saja. Mas yang bayar."
Hati saya yakin, memang keberkahan itu bukan berarti si Mas tidak bisa memanjakan "kerja kerasa" saya :D Semua aman terkendali. Dan hati saya sudah bahagia bilapun saya menjawabnya,
"Ngga ah, Mas. Sayang duitnya." <3 <3 <3
*dan dari kejauhan sayup terdengar suara protes laki-laki, "Huuuw beneran suka bilang 'ngga ah, Mas'?" XD
*terus dibales, "Ngga bersyukur ya punya istri kayak gini? Susahlah nyarinya." :v
Love you all ....
Hihihi tentu suaminya bersyukur bangeeet
BalasHapusSamaaa......
BalasHapusTapi sayangnya saya gak setangguh itu menghadapi rengekan anak2
teriak bareng, macam bunyi 4 frekuensi radio..nyaring sekali