Membaca review novel saya oleh teman
lama membuat saya harus berterima kasih pada Diyuna, Harry, dan Hamzah yang
telah membuat saya mampu menyelesaikan sebuah kisah masa lalu yang belum usai.
Saya sebelumnya membayangkan bahwa
pembaca akan mengritik novel tersebut dalam artian positif maupun negatif. Mungkin
saja misalnya, mengapa Diyuna harus senekat itu menyelesaikan masa lalunya saat
ia sudah menikah? Apa pentingnya? Mengapa mereka harus bersentuhan, kan ini
novel islami? Ya … mungkin akan saya jawab karena saya hanya ingin semuanya
berjalan sebagaimana “adanya”. Manusia kadang memang tetaplah manusia yang
memiliki level pemahaman yang berbeda-beda tentang keinginan Tuhannya. Iman
yang selalu mencari pengertian. Yup. Ini sebuah potret, bukan doktrin. Alangkah
indahnya jika sebuah novel adalah awal dari kegaduhan di hati dan pikiran
pembacanya: kok gitu? Kok gini? Benarkah kita harus seperti ini? Harusnya kan bla
bla bla …. Dan saya akan merasa bahagia jika itu menjadi proses kristalisasi
keimanan yang kuat yang berasal dari kesadaran diri dari sebuah kegelisahan.
Tapi, teman saya tidak saja membahas
soal novel, tapi justru diri saya hahahaha. Saya sebetulnya tidak pernah paham
mengapa jika seseorang menulis itu harus diimajinasikan bahwa dirinyalah yang
sedang berkisah. Tapi nggak salah juga. Kadang memang tulisan bisa lahir dari
kegelisahan tiada akhir seorang penulis dari berbagai macam peristiwa pribadi,
curhatan, atau pengamatan, apalah apalah …. yang penting, pemikiran itu harus
dikeluarkan agar tidak memenuhi otak. Bagi saya, menulis selalu membuat saya
merasakan waras.
Jadi, pembaca bisa langsung baca review
dari teman saya ini. Review yang membuat saya mewek karena teringat
Santy muda yang memang seperti itulah adanya. Thanks to Diyuna, Harry, Hamzah ... dan Fera.
Fera wrote:
Sudah lama sejak terakhir menulis
hal-hal “penting” dalam hidup, akhirnya nemu sesuatu yang baik untuk dibahas.
Ya...sebuah buku berjudul Setia Bersamamu, setelah tertunda beberapa lama sejak
berhasil membelinya, akhirnya bisa menyelesaikan rasa penasaran semalam.
Sebenarnya kalau untuk buku-buku yang membahas masalah ke-perempuan-an secara
Islam, aku jarang sekali memilih, bukan tipe buku yang kupilih pertama kali
jika masuk ke Book Store. Bukan anti lho ya...hanya soal selera.
Jadi buku ini, bagiku, terasa
istimewa. Selain karena ingin tahu isi pikiran teman seangkatan di SMA-ku yang
menulis buku ini, juga menambah wawasan tentang wilayah Timur Tengah, karena
TKP nya ada disana...hehehe...
Saya bukanlah seorang penulis, jadi
isi catatan ini sebenarnya hanya hasil berpikir seorang wanita biasa yang bukan
siapa-siapa...(eeaaa...) ^^ -stop saying "bukan siapa-siapa", Fer, saat di mataku kamu ibu bekerja yang keren yang bisa menumbuhkan dengan baik anak dengan kelahiran istimewa-
Membaca buku seorang Santy
Martalia Musa untuk pertama kalinya membuat saya menebak, meraba dan
mencoba menganalisis sebisa saya, pada karakter manakah dia “berada”. Kadang
saya berusaha mencocokkan dengan Diyuna, merasa ada beberapa pertanyaan tokoh
itu menggambarkan sedikit Santi yang saya kenal, atau keriuhan istri Doni yang
kuat dan tegar seperti aku membayangkan jiwa Santy selama ini, atau kebaikan
dan ketulusan Miyoshi yang intens muncul di akhir cerita sebagai bagian dari
kepribadian teman sejak SD ku ini. Walaupun semua itu mungkin hanya khayalan
saya sebagai pembaca, saya merasa lebih mengenal Santy yang sekarang, bukan
hanya bertopang pada kenangan betapa superior-nya dia di masa sekolah bahkan
masih begiatu “keras” ketika bertemu satu kali saat masa kuliah. Dan sepertinya
begitu pula saya waktu itu, karena pada akhirnya saya sendiri juga pribadi yang
superior dan keras yang tidak bisa berdekatan dengan kepribadian
sejenis....hahahaha.... Dengan membaca buku ini saya bisa sedikit membangun
sebuah penilaian bahwa sang penulis sudah berubah menjadi lebih “lembut”
walaupun tidak seluruhnya, tentang caranya berpikir, bertindak dan merasa,
karena begitu pulalah perjalanan hidup merubah saya. Menjadi istri dan ibu
adalah pembelajaran pengubah diri ya San? :)
Jalan cerita sebenarnya sederhana
saja, tentang seorang emak-emak galau masalah cinta, tapi dikemas dalam balutan
drama hidup yang menarik, dibumbui begitu cantik dengan banyaknya pertanyaan
tentang takdir, perbedaaan sudut pandang laki-laki dan perempuan, tentang arti
kebebasan dalam hidup, tapi tanpa pertentangan atas keberadaan sang Kuasa yang
biasanya kurang kusuka. Belum lagi latar belakang kejadian drama di sebuah
negeri yang sangat jauh dari jangkauan wanita biasa yang bukan siapa-siapa
seperti saya ini, jadi saya hanya memakai imajinasi berdasar ingatan bergambar
tentang daerah Timur Tengah. Termasuk membayangkan banyaknya mas-mas ganteng
dengan mata lebar, alis tebal dan hidung mancung, dan badan tinggi besar di
lokasi yang disebutkan penulis...kwkwkwkwk...
Satu hal yang sedikit membuat saya
terkejut dan kecewa secara pribadi, karena hal ini menyentuh aturan dalam
ber-agama adalah adanya salaman dan sentuhan antara tokoh-tokoh yang bukan
makhrom. Bukan ingin mendebat tentang hal tersebut, hanya kalau sudah bicara
aturan, saya termasuk orang yang ekstrim, apalagi kemasan tulisan berada dalam
ruang lingkup Islam. Mungkin karena dari awal saya punya harapan tentang
penerapanan aturan itu, karena saya berharap teman saya sekaligus penulis buku
ini tahu betul tentang aturan tersebut. Well, its just me in my believe n
faith, tidak ada yang membuatnya menjadi yang kebenaran di kepala orang lain
kecuali jika hasil pemahaman ilmu agama kita sama.
Secara keseluruhan buku ini
sebenarnya sudah mewakili beberapa pertanyaan yang sekaligus protes atas
penerapan aturan terhadap perempuan yang kebanyakan terlihat berat sebelah.
Saya sendiri sering memprotes jika seorang ibu ingin bekerja, kemudian diberi
nasehat “meskipun bekerja, jangan lupa peran sebagai ibu dan istri”, jengkel
karena tidak pernah ada yang berpesan dengan nasehat yang sama pada laki-laki
yang bekerja, misalnya “meskipun sibuk mencari nafkah, jangan lupa untuk
menjadi suami dan ayah yang baik yaa..”. Menjadi wanita yang kuat adalah hebat
tapi seorang wanita hebat tahu dimana letak kekuatannya.
Semoga penulis tidak kapok buku nya
kubaca...hehehe...dan mungkin suatu saat aku bisa mewujudkan bentuk tulisanku
sendiri secara terlatih dan profesional seperti dia, bukan hanya sekedar berkomentar
seperti sekarang. Menulis menyehatkan, saluran yang santun untuk bertukar
pikiran tentang apapun dalam hidup.
*sangat menyenangkan bertemu teman
lama dan inspiratif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar