Minggu, 31 Januari 2016

Saya Mewek Baca Review Novel Setia Bersamamu ^^





Membaca review novel saya oleh teman lama membuat saya harus berterima kasih pada Diyuna, Harry, dan Hamzah yang telah membuat saya mampu menyelesaikan sebuah kisah masa lalu yang belum usai.

Saya sebelumnya membayangkan bahwa pembaca akan mengritik novel tersebut dalam artian positif maupun negatif. Mungkin saja misalnya, mengapa Diyuna harus senekat itu menyelesaikan masa lalunya saat ia sudah menikah? Apa pentingnya? Mengapa mereka harus bersentuhan, kan ini novel islami? Ya … mungkin akan saya jawab karena saya hanya ingin semuanya berjalan sebagaimana “adanya”. Manusia kadang memang tetaplah manusia yang memiliki level pemahaman yang berbeda-beda tentang keinginan Tuhannya. Iman yang selalu mencari pengertian. Yup. Ini sebuah potret, bukan doktrin. Alangkah indahnya jika sebuah novel adalah awal dari kegaduhan di hati dan pikiran pembacanya: kok gitu? Kok gini? Benarkah kita harus seperti ini? Harusnya kan bla bla bla …. Dan saya akan merasa bahagia jika itu menjadi proses kristalisasi keimanan yang kuat yang berasal dari kesadaran diri dari sebuah kegelisahan.

Tapi, teman saya tidak saja membahas soal novel, tapi justru diri saya hahahaha. Saya sebetulnya tidak pernah paham mengapa jika seseorang menulis itu harus diimajinasikan bahwa dirinyalah yang sedang berkisah. Tapi nggak salah juga. Kadang memang tulisan bisa lahir dari kegelisahan tiada akhir seorang penulis dari berbagai macam peristiwa pribadi, curhatan, atau pengamatan, apalah apalah …. yang penting, pemikiran itu harus dikeluarkan agar tidak memenuhi otak. Bagi saya, menulis selalu membuat saya merasakan waras.

Jadi, pembaca bisa langsung baca review dari teman saya ini. Review yang membuat saya mewek karena teringat Santy muda yang memang seperti itulah adanya. Thanks to Diyuna, Harry, Hamzah ... dan Fera.


Fera wrote:

Sudah lama sejak terakhir menulis hal-hal “penting” dalam hidup, akhirnya nemu sesuatu yang baik untuk dibahas. Ya...sebuah buku berjudul Setia Bersamamu, setelah tertunda beberapa lama sejak berhasil membelinya, akhirnya bisa menyelesaikan rasa penasaran semalam. Sebenarnya kalau untuk buku-buku yang membahas masalah ke-perempuan-an secara Islam, aku jarang sekali memilih, bukan tipe buku yang kupilih pertama kali jika masuk ke Book Store. Bukan anti lho ya...hanya soal selera.

Jadi buku ini, bagiku, terasa istimewa. Selain karena ingin tahu isi pikiran teman seangkatan di SMA-ku yang menulis buku ini, juga menambah wawasan tentang wilayah Timur Tengah, karena TKP nya ada disana...hehehe...

Saya bukanlah seorang penulis, jadi isi catatan ini sebenarnya hanya hasil berpikir seorang wanita biasa yang bukan siapa-siapa...(eeaaa...) ^^ -stop saying "bukan siapa-siapa", Fer, saat di mataku kamu ibu bekerja yang keren yang bisa menumbuhkan dengan baik anak dengan kelahiran istimewa-

Membaca buku seorang Santy Martalia Musa untuk pertama kalinya membuat saya menebak, meraba dan mencoba menganalisis sebisa saya, pada karakter manakah dia “berada”. Kadang saya berusaha mencocokkan dengan Diyuna, merasa ada beberapa pertanyaan tokoh itu menggambarkan sedikit Santi yang saya kenal, atau keriuhan istri Doni yang kuat dan tegar seperti aku membayangkan jiwa Santy selama ini, atau kebaikan dan ketulusan Miyoshi yang intens muncul di akhir cerita sebagai bagian dari kepribadian teman sejak SD ku ini. Walaupun semua itu mungkin hanya khayalan saya sebagai pembaca, saya merasa lebih mengenal Santy yang sekarang, bukan hanya bertopang pada kenangan betapa superior-nya dia di masa sekolah bahkan masih begiatu “keras” ketika bertemu satu kali saat masa kuliah. Dan sepertinya begitu pula saya waktu itu, karena pada akhirnya saya sendiri juga pribadi yang superior dan keras yang tidak bisa berdekatan dengan kepribadian sejenis....hahahaha.... Dengan membaca buku ini saya bisa sedikit membangun sebuah penilaian bahwa sang penulis sudah berubah menjadi lebih “lembut” walaupun tidak seluruhnya, tentang caranya berpikir, bertindak dan merasa, karena begitu pulalah perjalanan hidup merubah saya. Menjadi istri dan ibu adalah pembelajaran pengubah diri ya San? :)

Jalan cerita sebenarnya sederhana saja, tentang seorang emak-emak galau masalah cinta, tapi dikemas dalam balutan drama hidup yang menarik, dibumbui begitu cantik dengan banyaknya pertanyaan tentang takdir, perbedaaan sudut pandang laki-laki dan perempuan, tentang arti kebebasan dalam hidup, tapi tanpa pertentangan atas keberadaan sang Kuasa yang biasanya kurang kusuka. Belum lagi latar belakang kejadian drama di sebuah negeri yang sangat jauh dari jangkauan wanita biasa yang bukan siapa-siapa seperti saya ini, jadi saya hanya memakai imajinasi berdasar ingatan bergambar tentang daerah Timur Tengah. Termasuk membayangkan banyaknya mas-mas ganteng dengan mata lebar, alis tebal dan hidung mancung, dan badan tinggi besar di lokasi yang disebutkan penulis...kwkwkwkwk...

Satu hal yang sedikit membuat saya terkejut dan kecewa secara pribadi, karena hal ini menyentuh aturan dalam ber-agama adalah adanya salaman dan sentuhan antara tokoh-tokoh yang bukan makhrom. Bukan ingin mendebat tentang hal tersebut, hanya kalau sudah bicara aturan, saya termasuk orang yang ekstrim, apalagi kemasan tulisan berada dalam ruang lingkup Islam. Mungkin karena dari awal saya punya harapan tentang penerapanan aturan itu, karena saya berharap teman saya sekaligus penulis buku ini tahu betul tentang aturan tersebut. Well, its just me in my believe n faith, tidak ada yang membuatnya menjadi yang kebenaran di kepala orang lain kecuali jika hasil pemahaman ilmu agama kita sama.

Secara keseluruhan buku ini sebenarnya sudah mewakili beberapa pertanyaan yang sekaligus protes atas penerapan aturan terhadap perempuan yang kebanyakan terlihat berat sebelah. Saya sendiri sering memprotes jika seorang ibu ingin bekerja, kemudian diberi nasehat “meskipun bekerja, jangan lupa peran sebagai ibu dan istri”, jengkel karena tidak pernah ada yang berpesan dengan nasehat yang sama pada laki-laki yang bekerja, misalnya “meskipun sibuk mencari nafkah, jangan lupa untuk menjadi suami dan ayah yang baik yaa..”. Menjadi wanita yang kuat adalah hebat tapi seorang wanita hebat tahu dimana letak kekuatannya.

Semoga penulis tidak kapok buku nya kubaca...hehehe...dan mungkin suatu saat aku bisa mewujudkan bentuk tulisanku sendiri secara terlatih dan profesional seperti dia, bukan hanya sekedar berkomentar seperti sekarang. Menulis menyehatkan, saluran yang santun untuk bertukar pikiran tentang apapun dalam hidup.

*sangat menyenangkan bertemu teman lama dan inspiratif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Supporting KEB

Supporting KEB
Kumpulan Emak Blogger

Histats

Histats.com © 2005-2014 Privacy Policy - Terms Of Use - Check/do opt-out - Powered By Histats