Aduh,
Mei!
Moral Dilemma
Credit: erhui1979
Waduh, Mei!
Tahukah kamu? Aku tidak perlu meng-update perasaanku tiap minggu, tiap hari,
bahkan tiap jam hanya untuk mempertahankan dan memperbaharui rasa sukaku
padamu!
Aku juga tak merasa harus meng-upload isi hatiku padamu dalam site pribadiku dengan domain murahan agar setiap orang
mengetahuinya dalam sekian detik saja mereka mengakses internet! Meyakinkan
bahwa perasaanku selalu up to date.
Aku tidak perlu semua itu! Sebab apa? Sebab kamu
memang baik-baik saja di hatiku. Bahkan setiap detiknya bertambah semakin baaaik-baik
saja!
Menyukaimu sebenarnya mudah saja. Sebab kamu
memang sederhana, Mei. Kamu tidak serumit Java
Script untuk sebuah website, tidak serumit politisi mengiklankan partainya,
bahkan tidak serumit gadis-gadis yang menghabiskan waktu memilih baju-bajunya
hampir di setiap mall!
Kamu biasa saja. Cantik, tidak. Jelek juga, tidak.
Kamu pergi mengajar dengan senyummu yang selalu mengembang di balik pagar
rumahmu yang kecil dan rapi ketika hendak melangkah keluar. Lalu kamu pulang
kembali ke rumah dengan bibir yang masih juga penuh senyum meski wajahmu yang
keruh tidak mengatakan demikian. Hm... Sorry, Mei, aku tidak tahan untuk tidak
memperhatikan kamu.
Aku hapal gerakanmu ketika menaikkan kacamata
minusmu. Aku tahu gaya berjalanmu dengan tas besar di lengan kirimu. Dan
rasanya aku juga dapat merasakan betapa bahagianya kamu yang baru saja diterima
mengajar di sebuah taman kanak-kanak plus
di Bandung ini sehingga membawamu selalu hadir dalam setiap pagiku, di depan
rumahku, di rumah tetanggaku, yaitu pamanmu!
Aku tersiksa,
Mei. Bayangkan saja! Aku bilang bahwa hatiku dapat bergerak menuju
hatimu dalam waktu yang singkat untuk memintamu menjadi..., ehm..., calonku,
meski jarak antara kita begitu jauuuhhh. Aku dapat bergerak cepat seumpama jet dengan kecepatan yang tidak hanya berkisar
antara 140km/jam saja! Karena apa? Karena kukira aku adalah
orang yang memesona! Tapi ternyata? Kamu hanya tersenyum saja menerima secarik
kertas dariku itu dan membalasnya dengan secarik kertas pula keesokan harinya, lengkap
dengan isinya: saya pikir Mas Ari tidak perlu boros menghabiskan bahan bakar!
Aku tahu itu adalah penolakanmu secara halus,
Mei...
Tapi Mei?
Aku ini kurang apa? Kata orang aku pendiam dan
baik hati. Aku seorang dosen muda di sebuah institut ternama di kota ini.
Bahkan aku akan berangkat melanjutkan program doktorku di Jerman! Wajahku? Bukan karena aku jelek sehingga aku masih juga
membujang di usiaku yang ke-dua-puluh-tujuh ini. Tapi karena gadis-gadis itu
membuatku ketakutan dengan gaya hidupnya! Sedangkan kamu?
Kamu lain, Mei. Kamu begitu sederhana. Kamu
terbiasa hidup di pesantren. Kamu baru saja lulus dari sebuah PGTKI dan
mendapat kesempatan mengajar di sebuah taman kanak-kanak Islam yang cukup
ternama di kota ini. Kamu selalu nampak anggun dengan jilbab lebar dan gaun
panjangmu yang menurutku tidak terlalu kampungan. Mm... meski kamu orang
kampung.
Aku yakin orang seperti kamu tidak akan banyak
tuntutan. Aku yakin kamu orang yang pengertian, sabar, dan keibuan! Aku yakin
aku akan menikmati dunia ini jika seorang sepertimu ada di rumahku. Pergi
dengan iringan senyum dan kembali pulang dalam keadaan rumah yang damai. Lalu
anak-anak akan terurus dengan baik dalam asuhanmu. Mengelilingiku selepas kerja
dengan celoteh mereka tentang pelajaran di sekolah, tentang teman-teman yang
jahil, juga tentu saja, tentang ibunya. Aku yakin cerita mereka tentangmu akan
menyenangkan. Meski mereka mungkin akan mengeluh juga karena kau telah
memaksanya untuk menghabiskan segelas susu dan tidur siang!
Wah, Mei...
Setiap pagi aku selalu terlihat bodoh memandangimu
dari teras tingkat dua rumahku sebelum turun menuju mobilku dan melaju ke
kampus. Ketika hampir siang aku selalu menebak-nebak aktifitasmu di depan
kurcaci-kurcaci kecil itu. Setiap malam aku selalu merasa seperti pecundang
membayangkan dirimu selalu hadir dalam setiap sudut pandangku ketika irama
klasik milik Strauss, Bach, Coppin, Debussy, Bethoven, atau yang lainnya,
mengalun lembut dari piringan hitamku.
Oh ya, aku juga memiliki khusus karya Mozart sebagai terapi untuk merangsang
pertumbuhan otak janin putra kita kelak. Putra? Ya, andai kamu tidak menolakku.
Ah, Mei...
Aku memang suka pada kesederhanaanmu dan sifatmu
yang sangat religius. Tapi bukankah hidup tidak melulu sederhana? Terlalu naif
kalau kamu hanya mengandalkan kesederhanaan dalam konsep kemapanan yang saat
ini terlihat begitu diinginkan orang. Mereka berlomba Mei, demi eksistensi
dirinya, meraih segala apa saja yang bisa membuat mereka merasa dihargai.
Dengar, Mei...
Seharusnya kamu bangga telah dicintai orang
sepertiku. Kamu seperti Cinderela and The
Third Wave. Barangkali keromantisan Cinderela terjadi pada peradaban
gelombang satu, ketika secara struktur sosial dipisahkan oleh sistem kelompok
masyarakat atau kelas. Nah, sungguh beruntung si putri abu ini dipersunting
seorang pangeran yang notabene bangsawan kelas atas. Masyarakat elite. Betapa beruntungnya si Cinderela
yang mendapatkan kemurahan dan yang lebih penting: kesempatan, untuk
memperbaiki nasib. Jadilah kedudukan seorang Cinderela yang miskin menjadi
seorang yang berkedudukan tinggi. Kata orang: anugerah.
Nah! Relevansinya? Masih dalam konsep gelombang
peradaban, Mei. Dalam gelombang ketiga ini, ada indikasi bahwa keputusan
dimiliki oleh pemilik pengetahuan. Strukturnya adalah melebar ke samping dalam
bentuk interaktif. Sub sistem sosialnya terwujud dalam masyarakat pekerja ilmu
pengetahuan dan informasi, mengacu pada pemenuhan kebutuhan pengakuan dan
aktualisasi diri. Bla bla bla... Intinya barangkali, status sosial tertinggi
adalah orang-orang yang menguasai ilmu
pengetahuan. Itulah kalangan elitis masa gelombang ketiga.
Kalau ilustrasinya seperti itu, coba pikir Mei! Apakah
aku tidak termasuk sang pangeran itu? Kata orang aku brilian, aku lulus cum laude dari sebuah insitut
teknik ternama, menjadi
dosen, dan mendapat banyak kesempatan untuk meneruskan program doktoralku di
banyak negara maju. Dan aku pikir, di dunia ini mungkin banyak jeritan atau
impian sang Cinderela “gelombang
ketiga” yang ingin sekali disapa pangeran dari peradaban
gelombang ketiga, “sang bangsawan” ilmu pengetahuan.
Hm..., Mei.
Aku juga bukan orang yang sombong kan? Meski kau
biasa-biasa saja, bahkan hanya seorang guru TK baru yang hanya tamatan PGTKI
yang tidak terkenal, aku mampu memandangmu secara luar biasa. Aku yakin aku
mampu memberimu banyak kebahagiaan kelak. Utamanya kemapanan. Manusia mana yang
tidak menginginkan finansial yang memadai? Kamu kira buat apa pasar modal ramai
mengadakan transaksi saham dan obligasi setiap hari dengan kening para emiten
dan investor yang berkerut-kerut di balik kursi-kursi mereka? Buat apa
orang-orang rela menjadi pekerja kasar di negeri- negeri asing dengan
meninggalkan keluarga mereka? Buat apa orang-orang rela mengeluarkan rupiah
untuk sebuah kursi jabatan yang bahkan kadang tidak sepadan dengan moral yang
harus digadaikan?
Kenapa, Mei?
Aku hanya memintamu untuk menunggumu barang dua
sampai tiga tahun saja. Setelah program doktorku
selesai. Setelah aku yakin bahwa kemapanan benar-benar nyata ada di depan mata.
Itu juga demi masa depan kan? Kamu juga akan merasakan kebahagiaan jika kamu
memiliki banyak uang dan menyumbangkannya untuk kegiatan sosialmu. Lagipula,
dakwah, oh, ini istilah dari pesantrenmu ya? Lagipula dakwah Islam mustahil
juga berjalan tanpa dukungan finansial. Bukankah lebih baik memberi daripada
menerima? Kamu bisa zakat, hibah, shodaqoh, dengan kelapangan yang luar biasa
jika kamu telah mapan.
Di samping itu, perkembangan sebuah pergerakan
juga membutuhkan pemikiran yang cemerlang. Aku sanggup membuatmu berpikir luas.
Kita bisa berbagi cara pandang dan cara pikir. Bahkan kita bisa mengonsep semua
impianmu tentang kemandirian anak-anak jalanan dan telantar itu, tentang dakwah
Islam, tentang betapa harusnya teknologi itu mampu mempersembahkan yang terbaik
bagi jamannya, kemudahan akses dakwah, tentang apa saja. Karena memang hidup
harus selalu ada dalam konsep keteraturan dan sistemik. Bersamaku, kamu akan melihat
dunia yang begitu luaaas. Melihat betapa rumit segala pernak-pernik di jaman ini.
Bersamaku kamu akan menjadi seorang pemikir, bukan kuli!
Mei...
Sungguh aku tidak bisa mengerti apa maumu. Oke,
Mei... Hanya dua tahun. Padahal hanya dua tahun saja, tidak jadi tiga, kuminta kamu mau mengisi hatiku dan
menungguku untuk kelak menjadi pendampingku. Tapi kenapa kamu menolakku?
Aku mencintaimu, Mei... Aku tersiksa dengan
perasaan ini. Aku bukannya ingin cinta seperti yang digambarkan oleh
Shakespeare, Chateubriand, atau pengarang-pengarang film India itu yang begitu
dramatis. Sebab cintaku tidak serumit itu.
Namun, dengan cinta ini aku juga tak ingin
berpikir irasional. Dan aku tak ingin menggunakan emosi dalam memeliharanya.
Aku harus bisa bersikap realistis! Aku tak bisa menikahimu begitu saja tanpa
memikirkan masa depan, tanggungjawab, karier, dan lain sebagainya!
Aduh, Mei...
Aku ingat beberapa bulan yang lalu kamu juga pernah hampir
mati terserempet mobil di depan mataku, di jalan besar depan kompleks kita,
saat hendak menolong seorang pengemis tua menyeberang jalan. Kamu tahu Mei,
betapa paniknya aku di dalam mobilku yang kebetulan tengah meluncur menuju
pintu kompleks. Untung mobil itu tidak terlambat menginjak remnya meski dengan
muka kusut yang membuatnya membuka jendela untuk memakimu dan juga yang
membuatku keluar dari mobil untuk balas mengutuk. Aku tidak rela pertolongan sosialmu
diabaikan! Belum lagi kegiatan-kegiatan bakti sosialmu, pengajian remaja
kompleks, mengajar, dan lain sebagainya yang menurutku... hanya biasa saja,
sebab itulah menurutku. Kamu memang saaangat sederhana!
Sedangkan aku? Terkadang sangat gemas melihatmu
yang seakan tidak juga paham akan kemapanan, harga diri, status sosial,
pengetahuan, dunia ketiga, hi-tech, perjuangan,
hegemoni, distorsi,... Apaaaaa saja yang membuatku hampir gila, segila sikapmu
yang seolah tidak pernah mengacuhkan realita! Kamu mau jadi “orang kecil”
saja? Yang setiap saat kenyang dipecundangi dimana-mana? Aku tidak mau “orang-orang”
itu tidak menghargaimu! Aku tidak mau kejujuranmu, kepolosanmu, keluguanmu
menjadi korban kenaifan dunia yang semakin bullshit!
Lalu,
Mei? Apa ini? Kamu kirimkan sebuah kertas merah muda untuk menghancurkan
impianku?!
Kuletakkan cangkir kopiku dan kupandangi lagi
kertas merah muda di tangan kananku. Ada namamu dan seorang nama laki-laki di
sana. Minggu depan kalian akan menikah!
Ha...ha...ha... Kamu
menerimanya?! Menerima seorang laki-laki yang kudengar hanya seorang penulis freelance di sebuah majalah baru? Apa
yang kamu harapkan dari dia, Mei?! Apa?!
Ha...ha...ha... Kamu mau mengolokku, Mei? Kamu
akan mengatakan bahwa aku terjebak dalam konsep kemapanan yang semu dalam dunia
ideal seperti yang kamu katakan ketika menolakku beberapa bulan yang lalu? Lalu
apa? Menurutmu aku seorang yang penakut? Atau pengecut? Begitu?! Kamu salah!
Tidak semuanya kamu benar.
Kamu mungkin tidak tahu jika saat ini emosiku
sangat memuncak, Mei! Menatap kosong cermin di
kamar yang memantulkan
bayanganku.
Pria dewasa yang selalu berpikir sangat mapan.
Lalu kesederhanaan itu berputar-putar dalam ruang
pikirku. Menari-nari seperti badut-badut yang berpesta di sebuah restoran
merayakan ulang tahun para kurcaci.
Aku menjadi tidak tahu lagi siapa yang lebih
realistis di antara ideku dan idemu, Mei. Namun aku menyadari satu hal: kamu
sudah demikian jauh berjalan, bahkan berlari, sedangkan aku masih mengharap...
Kamu tahu, Mei? Kupikir, mungkin aku memang cocok
menjadi politisi picisan yang doyan kampanye mengumbar janji-janji sepanjang
hari... Ha...ha...ha...a...duh Mei! =
Tidak ada komentar:
Posting Komentar