Rabu, 20 Januari 2016

(Surat Ngenes Mas-Mas Jomblo Pinter yang Tertolak)

Aduh, Mei!


Moral Dilemma

Credit: erhui1979

Waduh, Mei!
Tahukah kamu? Aku tidak perlu meng-update perasaanku tiap minggu, tiap hari, bahkan tiap jam hanya untuk mempertahankan dan memperbaharui rasa sukaku padamu!
Aku juga tak merasa harus meng-upload isi hatiku padamu dalam site pribadiku dengan domain murahan agar setiap orang mengetahuinya dalam sekian detik saja mereka mengakses internet! Meyakinkan bahwa perasaanku selalu up to date.
Aku tidak perlu semua itu! Sebab apa? Sebab kamu memang baik-baik saja di hatiku. Bahkan setiap detiknya bertambah semakin baaaik-baik saja!
Menyukaimu sebenarnya mudah saja. Sebab kamu memang sederhana, Mei. Kamu tidak serumit Java Script untuk sebuah website, tidak serumit politisi mengiklankan partainya, bahkan tidak serumit gadis-gadis yang menghabiskan waktu memilih baju-bajunya hampir di setiap mall!
Kamu biasa saja. Cantik, tidak. Jelek juga, tidak. Kamu pergi mengajar dengan senyummu yang selalu mengembang di balik pagar rumahmu yang kecil dan rapi ketika hendak melangkah keluar. Lalu kamu pulang kembali ke rumah dengan bibir yang masih juga penuh senyum meski wajahmu yang keruh tidak mengatakan demikian. Hm... Sorry, Mei, aku tidak tahan untuk tidak memperhatikan kamu.
Aku hapal gerakanmu ketika menaikkan kacamata minusmu. Aku tahu gaya berjalanmu dengan tas besar di lengan kirimu. Dan rasanya aku juga dapat merasakan betapa bahagianya kamu yang baru saja diterima mengajar di sebuah taman kanak-kanak plus di Bandung ini sehingga membawamu selalu hadir dalam setiap pagiku, di depan rumahku, di rumah tetanggaku, yaitu pamanmu!
Aku tersiksa,  Mei. Bayangkan saja! Aku bilang bahwa hatiku dapat bergerak menuju hatimu dalam waktu yang singkat untuk memintamu menjadi..., ehm..., calonku, meski jarak antara kita begitu jauuuhhh. Aku dapat bergerak cepat seumpama jet dengan kecepatan yang tidak hanya berkisar antara 140km/jam saja! Karena apa? Karena kukira aku adalah orang yang memesona! Tapi ternyata? Kamu hanya tersenyum saja menerima secarik kertas dariku itu dan membalasnya dengan secarik kertas pula keesokan harinya, lengkap dengan isinya: saya pikir Mas Ari tidak perlu boros menghabiskan bahan bakar!
Aku tahu itu adalah penolakanmu secara halus, Mei...
Tapi Mei?
Aku ini kurang apa? Kata orang aku pendiam dan baik hati. Aku seorang dosen muda di sebuah institut ternama di kota ini. Bahkan aku akan berangkat melanjutkan program doktorku di Jerman! Wajahku? Bukan karena aku jelek sehingga aku masih juga membujang di usiaku yang ke-dua-puluh-tujuh ini. Tapi karena gadis-gadis itu membuatku ketakutan dengan gaya hidupnya! Sedangkan kamu?
Kamu lain, Mei. Kamu begitu sederhana. Kamu terbiasa hidup di pesantren. Kamu baru saja lulus dari sebuah PGTKI dan mendapat kesempatan mengajar di sebuah taman kanak-kanak Islam yang cukup ternama di kota ini. Kamu selalu nampak anggun dengan jilbab lebar dan gaun panjangmu yang menurutku tidak terlalu kampungan. Mm... meski kamu orang kampung.
Aku yakin orang seperti kamu tidak akan banyak tuntutan. Aku yakin kamu orang yang pengertian, sabar, dan keibuan! Aku yakin aku akan menikmati dunia ini jika seorang sepertimu ada di rumahku. Pergi dengan iringan senyum dan kembali pulang dalam keadaan rumah yang damai. Lalu anak-anak akan terurus dengan baik dalam asuhanmu. Mengelilingiku selepas kerja dengan celoteh mereka tentang pelajaran di sekolah, tentang teman-teman yang jahil, juga tentu saja, tentang ibunya. Aku yakin cerita mereka tentangmu akan menyenangkan. Meski mereka mungkin akan mengeluh juga karena kau telah memaksanya untuk menghabiskan segelas susu dan tidur siang!
Wah, Mei...
Setiap pagi aku selalu terlihat bodoh memandangimu dari teras tingkat dua rumahku sebelum turun menuju mobilku dan melaju ke kampus. Ketika hampir siang aku selalu menebak-nebak aktifitasmu di depan kurcaci-kurcaci kecil itu. Setiap malam aku selalu merasa seperti pecundang membayangkan dirimu selalu hadir dalam setiap sudut pandangku ketika irama klasik milik Strauss, Bach, Coppin, Debussy, Bethoven, atau yang lainnya, mengalun lembut dari piringan hitamku. Oh ya, aku juga memiliki khusus karya Mozart sebagai terapi untuk merangsang pertumbuhan otak janin putra kita kelak. Putra? Ya,  andai kamu tidak menolakku. 
Ah, Mei...
Aku memang suka pada kesederhanaanmu dan sifatmu yang sangat religius. Tapi bukankah hidup tidak melulu sederhana? Terlalu naif kalau kamu hanya mengandalkan kesederhanaan dalam konsep kemapanan yang saat ini terlihat begitu diinginkan orang. Mereka berlomba Mei, demi eksistensi dirinya, meraih segala apa saja yang bisa membuat mereka merasa dihargai.
Dengar, Mei...
Seharusnya kamu bangga telah dicintai orang sepertiku. Kamu seperti Cinderela and The Third Wave. Barangkali keromantisan Cinderela terjadi pada peradaban gelombang satu, ketika secara struktur sosial dipisahkan oleh sistem kelompok masyarakat atau kelas. Nah, sungguh beruntung si putri abu ini dipersunting seorang pangeran yang notabene bangsawan kelas atas. Masyarakat elite. Betapa beruntungnya si Cinderela yang mendapatkan kemurahan dan yang lebih penting: kesempatan, untuk memperbaiki nasib. Jadilah kedudukan seorang Cinderela yang miskin menjadi seorang yang berkedudukan tinggi. Kata orang: anugerah.
Nah! Relevansinya? Masih dalam konsep gelombang peradaban, Mei. Dalam gelombang ketiga ini, ada indikasi bahwa keputusan dimiliki oleh pemilik pengetahuan. Strukturnya adalah melebar ke samping dalam bentuk interaktif. Sub sistem sosialnya terwujud dalam masyarakat pekerja ilmu pengetahuan dan informasi, mengacu pada pemenuhan kebutuhan pengakuan dan aktualisasi diri. Bla bla bla... Intinya barangkali, status sosial tertinggi adalah orang-orang  yang menguasai ilmu pengetahuan. Itulah kalangan elitis masa gelombang ketiga.
Kalau ilustrasinya seperti itu, coba pikir Mei! Apakah aku tidak termasuk sang pangeran itu? Kata orang aku brilian, aku lulus cum laude dari sebuah insitut teknik ternama, menjadi dosen, dan mendapat banyak kesempatan untuk meneruskan program doktoralku di banyak negara maju. Dan aku pikir, di dunia ini mungkin banyak jeritan atau impian sang Cinderela gelombang ketiga yang ingin sekali disapa pangeran dari peradaban gelombang ketiga, sang bangsawan ilmu pengetahuan.
Hm..., Mei.
Aku juga bukan orang yang sombong kan? Meski kau biasa-biasa saja, bahkan hanya seorang guru TK baru yang hanya tamatan PGTKI yang tidak terkenal, aku mampu memandangmu secara luar biasa. Aku yakin aku mampu memberimu banyak kebahagiaan kelak. Utamanya kemapanan. Manusia mana yang tidak menginginkan finansial yang memadai? Kamu kira buat apa pasar modal ramai mengadakan transaksi saham dan obligasi setiap hari dengan kening para emiten dan investor yang berkerut-kerut di balik kursi-kursi mereka? Buat apa orang-orang rela menjadi pekerja kasar di negeri- negeri asing dengan meninggalkan keluarga mereka? Buat apa orang-orang rela mengeluarkan rupiah untuk sebuah kursi jabatan yang bahkan kadang tidak sepadan dengan moral yang harus digadaikan?
Kenapa, Mei?
Aku hanya memintamu untuk menunggumu barang dua sampai tiga tahun saja. Setelah program doktorku selesai. Setelah aku yakin bahwa kemapanan benar-benar nyata ada di depan mata. Itu juga demi masa depan kan? Kamu juga akan merasakan kebahagiaan jika kamu memiliki banyak uang dan menyumbangkannya untuk kegiatan sosialmu. Lagipula, dakwah, oh, ini istilah dari pesantrenmu ya? Lagipula dakwah Islam mustahil juga berjalan tanpa dukungan finansial. Bukankah lebih baik memberi daripada menerima? Kamu bisa zakat, hibah, shodaqoh, dengan kelapangan yang luar biasa jika kamu telah mapan.
Di samping itu, perkembangan sebuah pergerakan juga membutuhkan pemikiran yang cemerlang. Aku sanggup membuatmu berpikir luas. Kita bisa berbagi cara pandang dan cara pikir. Bahkan kita bisa mengonsep semua impianmu tentang kemandirian anak-anak jalanan dan telantar itu, tentang dakwah Islam, tentang betapa harusnya teknologi itu mampu mempersembahkan yang terbaik bagi jamannya, kemudahan akses dakwah, tentang apa saja. Karena memang hidup harus selalu ada dalam konsep keteraturan dan sistemik. Bersamaku, kamu akan melihat dunia yang begitu luaaas. Melihat betapa rumit segala pernak-pernik di jaman ini. Bersamaku kamu akan menjadi seorang pemikir, bukan kuli!
Mei...
Sungguh aku tidak bisa mengerti apa maumu. Oke, Mei... Hanya dua tahun. Padahal hanya dua tahun saja, tidak jadi tiga,  kuminta kamu mau mengisi hatiku dan menungguku untuk kelak menjadi pendampingku. Tapi kenapa kamu menolakku?
Aku mencintaimu, Mei... Aku tersiksa dengan perasaan ini. Aku bukannya ingin cinta seperti yang digambarkan oleh Shakespeare, Chateubriand, atau pengarang-pengarang film India itu yang begitu dramatis. Sebab cintaku tidak serumit itu.
Namun, dengan cinta ini aku juga tak ingin berpikir irasional. Dan aku tak ingin menggunakan emosi dalam memeliharanya. Aku harus bisa bersikap realistis! Aku tak bisa menikahimu begitu saja tanpa memikirkan masa depan, tanggungjawab, karier, dan lain sebagainya!
Aduh, Mei...
Aku ingat beberapa bulan yang lalu kamu juga pernah hampir mati terserempet mobil di depan mataku, di jalan besar depan kompleks kita, saat hendak menolong seorang pengemis tua menyeberang jalan. Kamu tahu Mei, betapa paniknya aku di dalam mobilku yang kebetulan tengah meluncur menuju pintu kompleks. Untung mobil itu tidak terlambat menginjak remnya meski dengan muka kusut yang membuatnya membuka jendela untuk memakimu dan juga yang membuatku keluar dari mobil untuk balas mengutuk.  Aku tidak rela pertolongan sosialmu diabaikan! Belum lagi kegiatan-kegiatan bakti sosialmu, pengajian remaja kompleks, mengajar, dan lain sebagainya yang menurutku... hanya biasa saja, sebab itulah menurutku. Kamu memang saaangat sederhana!
Sedangkan aku? Terkadang sangat gemas melihatmu yang seakan tidak juga paham akan kemapanan, harga diri, status sosial, pengetahuan, dunia ketiga, hi-tech, perjuangan, hegemoni, distorsi,... Apaaaaa saja yang membuatku hampir gila, segila sikapmu yang seolah tidak pernah mengacuhkan realita! Kamu mau jadi orang kecil saja? Yang setiap saat kenyang dipecundangi dimana-mana? Aku tidak mau orang-orang itu tidak menghargaimu! Aku tidak mau kejujuranmu, kepolosanmu, keluguanmu menjadi korban kenaifan dunia yang semakin bullshit!
Lalu, Mei? Apa ini? Kamu kirimkan sebuah kertas merah muda untuk menghancurkan impianku?!
Kuletakkan cangkir kopiku dan kupandangi lagi kertas merah muda di tangan kananku. Ada namamu dan seorang nama laki-laki di sana. Minggu depan kalian akan menikah!
Ha...ha...ha... Kamu menerimanya?! Menerima seorang laki-laki yang kudengar hanya seorang penulis freelance di sebuah majalah baru? Apa yang kamu harapkan dari dia, Mei?! Apa?!
Ha...ha...ha... Kamu mau mengolokku, Mei? Kamu akan mengatakan bahwa aku terjebak dalam konsep kemapanan yang semu dalam dunia ideal seperti yang kamu katakan ketika menolakku beberapa bulan yang lalu? Lalu apa? Menurutmu aku seorang yang penakut? Atau pengecut? Begitu?! Kamu salah! Tidak semuanya kamu benar.
Kamu mungkin tidak tahu jika saat ini emosiku sangat memuncak, Mei! Menatap kosong cermin di kamar yang memantulkan bayanganku. Pria dewasa yang selalu berpikir sangat mapan.
Lalu kesederhanaan itu berputar-putar dalam ruang pikirku. Menari-nari seperti badut-badut yang berpesta di sebuah restoran merayakan ulang tahun para kurcaci.
Aku menjadi tidak tahu lagi siapa yang lebih realistis di antara ideku dan idemu, Mei. Namun aku menyadari satu hal: kamu sudah demikian jauh berjalan, bahkan berlari, sedangkan aku masih mengharap...
Kamu tahu, Mei? Kupikir, mungkin aku memang cocok menjadi politisi picisan yang doyan kampanye mengumbar janji-janji sepanjang hari... Ha...ha...ha...a...duh Mei! = 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Supporting KEB

Supporting KEB
Kumpulan Emak Blogger

Histats

Histats.com © 2005-2014 Privacy Policy - Terms Of Use - Check/do opt-out - Powered By Histats