Kamis, 21 Januari 2016

WUBA! -10- Spiritualitas




Caption: Portrait of a woman holding a lit candle
Artist: ImageZoo




Memahami konsep Frankl harus memahami pula jiwa  manusia atau dimensi spiritual yang ada dalam eksistensi manusia sebab dalam artikel singkat Profesor Paul T. P. Wong, Ph.D, dikatakan bahwa menurut Frankl (1986),  manusia terdiri dari tiga dimensi: somatik, mental, dan spiritual. Ketiganya adalah satu-kesatuan yang komplek sehingga membutuhkan pemahaman yang komprehensif. Spiritualitas itu sendiri adalah dimensi yang unik bagi manusia. Sekarang, kita akan ngobrol soal spiritualitas.
Apakah spiritual itu?
Spiritual adalah sesuatu yang berhubungan dengan jiwa atau rohani.
Nah, dalam Logoterapi dikatakan bahwa sesungguhnya roh manusia itu adalah inti sehat kita. Jiwa manusia mungkin dibatasi oleh penyakit biologis atau psikologis, tetapi roh itu sendiri akan tetap utuh. Semangat manusia tidak perah sakit, meskipun secara biologi atau psikologi, manusia itu sedang sakit.
Bagian dari roh manusia itu sendiri adalah kesadaran. Kesadaran yang mengalami tekanan akan mengalami suatu keadaan yang hampa. Nah, disinilah analisis eksistensial berusaha untuk menghapus tekanan itu dan membawanya kepada kesadaran untuk hidup bermakna.
Spiritualitas itu bukan agama. Namun agama termasuk dalam konsep spiritualitas. Nah, Frankl membedakan antara jiwa (spiritual) dan spiritualitas agama. Artinya, jiwa selalu akan menginginkan makna dan itu bisa dipenuhi dengan berbagai cara yang sudah kita bicarakan di obrolan-obrolan sebelumnya dan tentu saja bisa dicapai melalui nilai-nilai agama.
Masih dalam artikel Profesor Wong, dalam sebuah wawancara dengan Matthew Scully (1995) ketika Frankl sudah berusia 90, secara eksplisit ia mengatakan pentingnya pentingnya peran agama dan iman dalam Logoterapi. Frankl mengatakan bahwa ia datang untuk mendefinisikan agama sebagai ekspresi, manifestasi dari tidak hanya kepentingan manusia menemukan makna melainkan sebagai kerinduan manusia atas makna yang tertinggi. Inilah sesungguhnya makna yang komprehensif yang tidak lagi komprehensif karena ini menyangkut masalah kepercayaan daripada rasionalisasi pikiran, ini masalah keyakinan daripada intelektual. Orang yang beragama akan mengenali supermakna ini sebagai sesuatu yang berhubungan dengan super-ada. Dan, siapa super-ada itu? Tuhan. 
Frankl menekankan agar seseorang menemukan makna yang khusus pada sebuah kondisi daripada makna yang bersifat umum. Terapis atau seseorang yang ingin menolong orang lain untuk menemuan makna hidupnya dapat membimbing dan mengarahkan orang yang mengalami frustrasi eksistensial pada keadaan-keadaan atau kemungkinan-kemungkinan yang bisa diciptakan dalam menemukan makna hidup.  Namun, Frankl juga mengingatkan untuk tidak menggunakan pencarian makna tertinggi, yakni super-makna kecuali orang yang mencari makna itu terbuka terhadap nilai-nilai agama. Ingat, kita pernah membahas bahwa makna hidup itu tidak selalu merupakan persoalan agama namun juga bisa dan sering merupakan persoalan hidup yang sifatnya sekuler.
Nah, bagaimana dengan kita yang notabene manusia-manusia beragama? Tentu saja kita sudah tahu apa yang kita tuju. Super-makna. Siapa itu? Allah.
Setuju?

Saya Adalah Makhluk Allah

Saya menyetujui bahwa kreatifitas, nilai etis, nilai pengalaman hidup mampu membawa manusia dalam menemukan hidup yang bermakna. Namun, saya juga percaya bahwa nilai-nilai manusiawi itu bersifat sangat terbatas.

(85) ....sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.
(QS. Al-Isra': 85)

Nah untuk hidup yang lebih komprehensif (ini apa, sih, komprehensif sebenarnya?), menyeluruh, bisa mengkaver semua nilai, maka saya kembalikan semuanya kepada Allah. Saya belum pernah merasa cukup hanya dengan menggunakan produk pikiran manusia. Syukurlah, Allah memang menghendaki manusia untuk hidup dalam dimensi vertikal dan horisontal. Allah suka kita menjadi orang yang shalih secara spiritual dan sosial. Oleh sebab itu, saya bisa meraih makna hidup saya dengan mengoptimalisasi nilai-nilai ilahiyah dan kemanusiaan yang ada.

(5) Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (6) Sekali-kali tidak! Sungguh, manusia itu benar-benar melampuai batas, (7) apabila melihat dirinya serba cukup. (8) Sungguh, hanya kepada Tuhanmulah tempat kembali.
(QS. Al-'Alaq: 5-8)

Memang, proses seseorang dalam memandang dan menghadapi masalah serta cara "mengembalikan" masalah itu sendiri berbeda-beda. Sesungguhnya, jika setiap permasalahan dikembalikan kepada Allah, maka hati akan menjadi lapang.

(155) Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (156) (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, "Innalillahi wa inna ilaihi roji'un (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.)" (157) Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.
(QS. Al-Baqarah: 155-157)

(109) Dan milik Allahlah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan hanya kepada Allah segala urusan dikembalikan.
(QS. Ali 'Imran: 109)

Menurut saya, terkadang kita memerlukan makna hidup yang rasional yang selaras dengan kondisi kita pada saat itu. Makanya tingkatan makna Frankl selain pada super-makna itu juga dikatakan bahwa manusia perlu menemukan makna hidupnya (yang khusus) pada saat menghadapi kehampaan itu.
Super-makna, yakni yang diartikan sebagai agama (eksistensi Tuhan), akan menjawab semua pertanyaan tentang hidup kita secara komprehensif. Maka, dalam beragama diperlukan komitmen yang tinggi. Chamberlain dan Zita (dalam Bailey, 1997) menyatakan bahwa orang yang memiliki komitmen pada agama yang tinggi akan menemukan perasaan bermakna (sense of meaning) daripada orang yang memiliki komitmen yang rendah terhadap agama. Namun, tidak berarti orang yang sekuler tidak bisa memiliki makna yang tinggi. Makanya, kita hanya harus fokus dengan makna hidup yang selaras dengan nilai-nilai spiritual yang kita yakini.
Dijelaskan lebih lanjut lagi (Britton, 2003: 233-234) bahwa manusia yang memiliki nilai relijius memercayai adanya pemikiran bahwa hanya kebaikan absolut (Tuhan) yang memiliki kekuatan. Dari sini muncul konsekuensi bahwa kehidupan yang bermakna adalah kehidupan yang berorientasi pada nilai-nilai relijius dan kekuatan Tuhan merupakan jaminan untuk mencapai kehidupan yang bermakna sehingga mereka cenderung berkesimpulan bahwa semua yang terjadi dalam kehidupan ini datangnya dari Tuhan. Jika menemui situasi hidup yang memunculkan tantangan sekaligus permasalahan, maka selain berusaha untuk mengatasinya, mereka akan cenderung mengembalikannya (tawakal) kepada Tuhan pemilik kekuatan (laa haulaa wa laa kuwwata illaa billaah). Wah keren, ya, jika kita semua bisa berpikiran seperti ini?
Sebenarnya kita bisa menenangkan pikiran dan hati kita ketika sedang dilanda masalah sebelum kita begiiitu panik mencari jalan keluarnya. Kita tinggal mengingat nikmat yang telah diberikan Allah!

(18) Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.
(QS. An-Nahl: 18)

Nah, benar, bukan? Bagaimana kita tidak senantiasa bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan? Ck ck ck... memang, ya? Nggak pernah puas kita yang bernama manusia ini. Maunya adaaa terus. Kita juga harus ingat, Allah memberi kebebasan kepada manusia untuk terus mengusahakan hidupnya. Manusia diberi kebebasan untuk berusaha dan memilih untuk kehidupannya yang lebih baik.

(11) .... Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri. ... 
(QS. Ar-Ra'd: 11)
Wake Up, Be Awesome! -1- | -2- | -3-|-4- | -5- | -6- | -7- | -8- | -9- | -10- |
 

4 komentar:

  1. Kadang sebagai ibu saya ngrasa capek, lalu saat doa memperotes Tuhan, sepertinya saya lelah... #malahcurcol

    Apa dgn memprotes itu spiritual saya pantas dipertanyakan ya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kita sering kelelahan, kadang ^^ Dalam proses, kita selalu up and down. Lebih baik memperbaiki diri daripada menyalahkan diri sendiri, Bun ^^ IMHO. Thanks.

      Hapus
  2. terkadang manusia memang suka lupa dengan nikmat yang Allah berikan karena mengharapkan sesuatu yg lebih :D

    BalasHapus

Pengikut

Supporting KEB

Supporting KEB
Kumpulan Emak Blogger

Histats

Histats.com © 2005-2014 Privacy Policy - Terms Of Use - Check/do opt-out - Powered By Histats