Memahami konsep Frankl harus memahami pula
jiwa manusia atau dimensi spiritual yang
ada dalam eksistensi manusia sebab dalam artikel singkat Profesor Paul T. P.
Wong, Ph.D, dikatakan bahwa menurut Frankl (1986), manusia terdiri dari tiga dimensi: somatik,
mental, dan spiritual. Ketiganya adalah satu-kesatuan yang komplek sehingga
membutuhkan pemahaman yang komprehensif. Spiritualitas itu sendiri adalah
dimensi yang unik bagi manusia. Sekarang, kita akan ngobrol soal spiritualitas.
Apakah spiritual itu?
Spiritual adalah sesuatu yang berhubungan
dengan jiwa atau rohani.
Nah, dalam Logoterapi dikatakan bahwa sesungguhnya
roh manusia itu adalah inti sehat kita. Jiwa manusia mungkin dibatasi oleh
penyakit biologis atau psikologis, tetapi roh itu sendiri akan tetap utuh. Semangat
manusia tidak perah sakit, meskipun secara biologi atau psikologi, manusia itu
sedang sakit.
Bagian dari roh manusia itu sendiri adalah
kesadaran. Kesadaran yang mengalami tekanan akan mengalami suatu keadaan yang
hampa. Nah, disinilah analisis eksistensial berusaha untuk menghapus tekanan
itu dan membawanya kepada kesadaran untuk hidup bermakna.
Spiritualitas itu bukan agama. Namun agama
termasuk dalam konsep spiritualitas. Nah, Frankl membedakan antara jiwa
(spiritual) dan spiritualitas agama. Artinya, jiwa selalu akan menginginkan
makna dan itu bisa dipenuhi dengan berbagai cara yang sudah kita bicarakan di
obrolan-obrolan sebelumnya dan tentu saja bisa dicapai melalui nilai-nilai
agama.
Masih dalam artikel Profesor Wong, dalam
sebuah wawancara dengan Matthew Scully (1995) ketika Frankl sudah berusia 90,
secara eksplisit ia mengatakan pentingnya pentingnya peran agama dan iman dalam
Logoterapi. Frankl mengatakan bahwa ia datang untuk mendefinisikan agama
sebagai ekspresi, manifestasi dari tidak hanya kepentingan manusia menemukan
makna melainkan sebagai kerinduan manusia atas makna yang tertinggi. Inilah
sesungguhnya makna yang komprehensif yang tidak lagi komprehensif karena ini
menyangkut masalah kepercayaan daripada rasionalisasi pikiran, ini masalah
keyakinan daripada intelektual. Orang yang beragama akan mengenali supermakna
ini sebagai sesuatu yang berhubungan dengan super-ada. Dan, siapa super-ada
itu? Tuhan.
Frankl menekankan agar seseorang menemukan
makna yang khusus pada sebuah kondisi daripada makna yang bersifat umum.
Terapis atau seseorang yang ingin menolong orang lain untuk menemuan makna
hidupnya dapat membimbing dan mengarahkan orang yang mengalami frustrasi
eksistensial pada keadaan-keadaan atau kemungkinan-kemungkinan yang bisa
diciptakan dalam menemukan makna hidup.
Namun, Frankl juga mengingatkan untuk tidak menggunakan pencarian makna
tertinggi, yakni super-makna kecuali orang yang mencari makna itu terbuka
terhadap nilai-nilai agama. Ingat, kita pernah membahas bahwa makna hidup itu tidak selalu merupakan persoalan agama namun juga bisa dan sering merupakan persoalan hidup yang sifatnya sekuler.
Nah, bagaimana dengan kita yang notabene manusia-manusia beragama? Tentu saja kita sudah tahu apa yang kita tuju. Super-makna. Siapa itu? Allah.
Nah, bagaimana dengan kita yang notabene manusia-manusia beragama? Tentu saja kita sudah tahu apa yang kita tuju. Super-makna. Siapa itu? Allah.
Setuju?
Saya Adalah Makhluk Allah
Saya menyetujui bahwa kreatifitas, nilai etis,
nilai pengalaman hidup mampu membawa manusia dalam menemukan hidup yang
bermakna. Namun, saya juga percaya bahwa nilai-nilai manusiawi itu bersifat sangat
terbatas.
Nah untuk hidup yang lebih komprehensif (ini
apa, sih, komprehensif sebenarnya?), menyeluruh, bisa mengkaver semua nilai,
maka saya kembalikan semuanya kepada Allah. Saya belum pernah merasa cukup
hanya dengan menggunakan produk pikiran manusia. Syukurlah, Allah memang
menghendaki manusia untuk hidup dalam dimensi vertikal dan horisontal. Allah
suka kita menjadi orang yang shalih secara spiritual dan sosial. Oleh sebab
itu, saya bisa meraih makna hidup saya dengan mengoptimalisasi nilai-nilai
ilahiyah dan kemanusiaan yang ada.
(5) Dia mengajarkan manusia apa yang tidak
diketahuinya. (6) Sekali-kali tidak! Sungguh, manusia itu benar-benar melampuai
batas, (7) apabila melihat dirinya serba cukup. (8) Sungguh, hanya kepada
Tuhanmulah tempat kembali.
(QS. Al-'Alaq: 5-8)
Memang, proses seseorang dalam memandang dan
menghadapi masalah serta cara "mengembalikan" masalah itu sendiri
berbeda-beda. Sesungguhnya, jika setiap permasalahan dikembalikan kepada Allah,
maka hati akan menjadi lapang.
(155) Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan
sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (156) (yaitu)
orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, "Innalillahi wa
inna ilaihi roji'un (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami
kembali.)" (157) Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari
Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.
(QS. Al-Baqarah: 155-157)
(109) Dan milik Allahlah apa yang ada di
langit dan apa yang ada di bumi, dan hanya kepada Allah segala urusan
dikembalikan.
(QS. Ali 'Imran: 109)
Menurut saya, terkadang kita memerlukan makna
hidup yang rasional yang selaras dengan kondisi kita pada saat itu. Makanya
tingkatan makna Frankl selain pada super-makna itu juga dikatakan bahwa manusia
perlu menemukan makna hidupnya (yang khusus) pada saat menghadapi kehampaan
itu.
Super-makna, yakni yang diartikan sebagai
agama (eksistensi Tuhan), akan menjawab semua pertanyaan tentang hidup kita
secara komprehensif. Maka, dalam beragama diperlukan komitmen yang tinggi.
Chamberlain dan Zita (dalam Bailey, 1997) menyatakan bahwa orang yang memiliki
komitmen pada agama yang tinggi akan menemukan perasaan bermakna (sense of
meaning) daripada orang yang memiliki komitmen yang rendah terhadap agama.
Namun, tidak berarti orang yang sekuler tidak bisa memiliki makna yang tinggi.
Makanya, kita hanya harus fokus dengan makna hidup yang selaras dengan
nilai-nilai spiritual yang kita yakini.
Dijelaskan lebih lanjut lagi (Britton, 2003:
233-234) bahwa manusia yang memiliki nilai relijius memercayai adanya pemikiran
bahwa hanya kebaikan absolut (Tuhan) yang memiliki kekuatan. Dari sini muncul
konsekuensi bahwa kehidupan yang bermakna adalah kehidupan yang berorientasi
pada nilai-nilai relijius dan kekuatan Tuhan merupakan jaminan untuk mencapai
kehidupan yang bermakna sehingga mereka cenderung berkesimpulan bahwa semua
yang terjadi dalam kehidupan ini datangnya dari Tuhan. Jika menemui situasi
hidup yang memunculkan tantangan sekaligus permasalahan, maka selain berusaha
untuk mengatasinya, mereka akan cenderung mengembalikannya (tawakal) kepada
Tuhan pemilik kekuatan (laa haulaa wa laa kuwwata illaa billaah). Wah
keren, ya, jika kita semua bisa berpikiran seperti ini?
Sebenarnya kita bisa menenangkan pikiran dan
hati kita ketika sedang dilanda masalah sebelum kita begiiitu panik mencari
jalan keluarnya. Kita tinggal mengingat nikmat yang telah diberikan Allah!
(18) Dan jika kamu menghitung nikmat Allah,
niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha
Pengampun, Maha Penyayang.
(QS. An-Nahl: 18)
Nah, benar, bukan? Bagaimana kita tidak
senantiasa bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan? Ck ck ck... memang,
ya? Nggak pernah puas kita yang bernama manusia ini. Maunya adaaa terus. Kita
juga harus ingat, Allah memberi kebebasan kepada manusia untuk terus
mengusahakan hidupnya. Manusia diberi kebebasan untuk berusaha dan memilih
untuk kehidupannya yang lebih baik.
(11) .... Sesungguhnya Allah tidak akan
mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri. ...
(QS. Ar-Ra'd: 11)
Kadang sebagai ibu saya ngrasa capek, lalu saat doa memperotes Tuhan, sepertinya saya lelah... #malahcurcol
BalasHapusApa dgn memprotes itu spiritual saya pantas dipertanyakan ya...
Kita sering kelelahan, kadang ^^ Dalam proses, kita selalu up and down. Lebih baik memperbaiki diri daripada menyalahkan diri sendiri, Bun ^^ IMHO. Thanks.
Hapusterkadang manusia memang suka lupa dengan nikmat yang Allah berikan karena mengharapkan sesuatu yg lebih :D
BalasHapusSetuju, Bun ^^ Begitulah ...
Hapus