Artist Chloe Mayo painted a picture of her perfect husband
Berdamai dengan Pelanggaran Eksistensi
Wow! Perlukah kita berdamai dengan pelanggaran
eksistensi? Kadang. Lho? Bukannya kita sudah bersusah payah menegakkan
"pentingnya memperlakukan individu sebagai subyek"? Iya. Lalu, apa
maksud "berdamai" ini? Please, ya, jangan buat pusing orang!
Membuat pusing? Tentu tidak! Sebelum kita
mengobrol lebih jauh, saya ingkatkan sesuatu. Yakni, tentang sepi. Manusia mana
yang mau hidup dalam rasa sepi? Sesungguhnya, dalam sepi seseorang mengalami
keterputusan dengan sesamanya, dengan alam sekitarnya, bahkan dengan Tuhannya!
Ia berhubungan dengan dirinya sendiri. Nah, seseorang bisa saja mengalami
ketidakpuasan berhubungan dengan dirinya sendiri. Anda pernah merasa puas hidup
dengan diri sendiri?
Itulah mengapa, seperti yang telah saya
singgung sebelumnya, kita perlu "mengada" dengan orang lain. Tentunya
dengan segala konsekuensinya, termasuk untuk tidak mengobyekkan orang lain.
Masalahnya menjadi rumit kemudian jika
eksistensi kita bentrok dengan eksistensi orang lain. Ambil contoh, eksistensi
suami-istri. Ini tentang rumah tangga saya. Terkadang, ada saat kita tidak bisa
mengontrol diri untuk menganggap orang lain obyek. Pendapat orang lain jadi
tidak kita perhatikan dan memandang bahwa pendapatnya sendiri yang paling
benar.
Suami saya pernah begitu. Sebagai contoh, pada
suatu kali, saya ingin pergi menghadiri sebuah acara dimana saya berdandan
dengan jilbab yang saya pasang sedemikian rupa membentuk suatu model yang lagi booming.
Saya suka model itu. Pikir saya, selama saya memakainya masih memperhatikan
syariat, yakni menutup dada, why not, sih? Rupanya nggak begitu dengan
suami. Suami saya benci setengah mati dengan model itu. Pikir saya, please,
deh, apa urusannya dengan suami? Saya bahkan tidak melanggar syari'at agama!
Saya pun membandel. Hingga beberapa kali memakai model itu, saya temui suami
saya masih tidak rela dan marah kepada saya. Kami bahkan pernah
"marahan" soal model jilbab ini.
Alasan suami begitu sederhana: tidak suka saya
berdandan yang eye catching. Saya berpikir bahwa suami saya sungguh
tidak menghargai saya yang utuh secara pribadi yang memiliki kehendak yang
kehendak itu tidak merugikan siapa-siapa, membuat saya lebih percaya diri dan
kelihatan luwes, bahkan kehendak itu tidak berbenturan dengan syari'at (jilbab
harus menutupi dada). Kehendak itu hanya berbenturan dengan kehendak suami.
Artinya, suami telah menganggap saya sebagai obyek yang diajaknya berbicara.
Obyek tak pernah mendapat ruang untuk memiliki kehendak, bukan?
Saya juga berpikir, kebersamaan itu memang
ciri dari keberadaan manusia. Gimana kita akan "mengada" jika kita
hidup sebagai makhluk tunggal? Ada bagi siapa? Maka, kebersamaan itu akan
memiliki makna jika kita melakukan interaksi yang baik. Suami-istri adalah
kebersamaan yang berkonsep Aku-Kamu. Coba kita ingat-ingat, ada apa dengan
relasi Aku-Kamu ini? Dalam relasi Aku-Kamu, hendaknya individu tersebut saling
membuka diri, memberi ruang, saling percaya, sekaligus memelihara partner
cintanya itu sebagai pribadi yang utuh, sebagai subyek.
Namun, lama saya berpikir, suasana yang tidak
nyaman ini tentu saja memengaruhi interaksi kami. Kualitas hubungan saya dan
suami otomatis menjadi terganggu. Padahal, masyaAllah, begitu sepele
urusan model jilbab itu. Kenapa, sih, tidak merelakan saja apa yang menjadi
keinginan suami? Saya berdamai dengan perlakuan suami yang tidak memahami apa
yang saya inginkan.
Nyatanya, setelah saya berdamai, hubungan saya semakin berkualitas. Saya paham, selera orang dalam berpenampilan memang berbeda-beda. Saya paham, meskipun yang tampil itu diri saya sendiri, tapi itu telah melukai selera suami. Maka saya menyimpulkan bahwa berdamai dengan pelanggaran eksistensi orang lain tak selamanya keliru sebab:
Nyatanya, setelah saya berdamai, hubungan saya semakin berkualitas. Saya paham, selera orang dalam berpenampilan memang berbeda-beda. Saya paham, meskipun yang tampil itu diri saya sendiri, tapi itu telah melukai selera suami. Maka saya menyimpulkan bahwa berdamai dengan pelanggaran eksistensi orang lain tak selamanya keliru sebab:
- Eksistensialisme menghendaki adanya kebebasan. Maka memilih untuk berdamai dengan eksistensi orang lain atau tidak itu sendiri adalah sebuah kebebasan.
- Pada hakikatnya, tidak ada kebebasan yang tidak memiliki batasan.
Kehidupan saya yang tenang dengan suami
sungguh merupakan sebuah kebahagiaan. Suami juga telah membuat hidup saya tidak
menjadi sepi. Barangkali, Anda punya
punya versi sendiri tentang berdamai dengan pelanggaran eksistensi ini.
Wake Up, Be Awesome! -1- | -2- | -3-|-4- | -5- | -6- | -7- | -8- | -9- | -10- | -11- |
ya memang kadang hal yang sepele malah bikin kita berbead pendapat. meamng berdamai itu hal yang sulit , dua-duanya harus mau melepaskan ego masing2
BalasHapus... mau melepaskan ego masing-masing ... ^^
HapusKalo aku minta suami yg pilihin baju yg mau kubeli daripada dia ga suka :D
BalasHapusWaduh, aku sangat beda selera sama suami xixixixixixi Tapi kami saling minta pendapat karena aku juga suka ngomel kalau ga suka baju suami
HapusDamai itu memang indah ya bun. Tapi terkadang perjuangan untuk berdamai itu yg ehm...sesuatu. Hehehe..
BalasHapusNah itu dia ... bingiiiittt xixixixixixixi Suami juga harus belajar menghargai istri di saat istri mencoba menghargainya ya, DJ
Hapuskalo saya dan suami, sama-sama memahami...jadi tak ada yang merasa terpaksa berdamai karena eksistensinya di langgar...
BalasHapusCakeeeeep ^^
Hapus