Selasa, 26 Januari 2016

WUBA! -11- Tentang Suami


Artist Chloe Mayo painted a picture of her perfect husband



Berdamai dengan Pelanggaran Eksistensi

Wow! Perlukah kita berdamai dengan pelanggaran eksistensi? Kadang. Lho? Bukannya kita sudah bersusah payah menegakkan "pentingnya memperlakukan individu sebagai subyek"? Iya. Lalu, apa maksud "berdamai" ini? Please, ya, jangan buat pusing orang!
Membuat pusing? Tentu tidak! Sebelum kita mengobrol lebih jauh, saya ingkatkan sesuatu. Yakni, tentang sepi. Manusia mana yang mau hidup dalam rasa sepi? Sesungguhnya, dalam sepi seseorang mengalami keterputusan dengan sesamanya, dengan alam sekitarnya, bahkan dengan Tuhannya! Ia berhubungan dengan dirinya sendiri. Nah, seseorang bisa saja mengalami ketidakpuasan berhubungan dengan dirinya sendiri. Anda pernah merasa puas hidup dengan diri sendiri?
Itulah mengapa, seperti yang telah saya singgung sebelumnya, kita perlu "mengada" dengan orang lain. Tentunya dengan segala konsekuensinya, termasuk untuk tidak mengobyekkan orang lain.
Masalahnya menjadi rumit kemudian jika eksistensi kita bentrok dengan eksistensi orang lain. Ambil contoh, eksistensi suami-istri. Ini tentang rumah tangga saya. Terkadang, ada saat kita tidak bisa mengontrol diri untuk menganggap orang lain obyek. Pendapat orang lain jadi tidak kita perhatikan dan memandang bahwa pendapatnya sendiri yang paling benar.
Suami saya pernah begitu. Sebagai contoh, pada suatu kali, saya ingin pergi menghadiri sebuah acara dimana saya berdandan dengan jilbab yang saya pasang sedemikian rupa membentuk suatu model yang lagi booming. Saya suka model itu. Pikir saya, selama saya memakainya masih memperhatikan syariat, yakni menutup dada, why not, sih? Rupanya nggak begitu dengan suami. Suami saya benci setengah mati dengan model itu. Pikir saya, please, deh, apa urusannya dengan suami? Saya bahkan tidak melanggar syari'at agama! Saya pun membandel. Hingga beberapa kali memakai model itu, saya temui suami saya masih tidak rela dan marah kepada saya. Kami bahkan pernah "marahan" soal model jilbab ini.
Alasan suami begitu sederhana: tidak suka saya berdandan yang eye catching. Saya berpikir bahwa suami saya sungguh tidak menghargai saya yang utuh secara pribadi yang memiliki kehendak yang kehendak itu tidak merugikan siapa-siapa, membuat saya lebih percaya diri dan kelihatan luwes, bahkan kehendak itu tidak berbenturan dengan syari'at (jilbab harus menutupi dada). Kehendak itu hanya berbenturan dengan kehendak suami. Artinya, suami telah menganggap saya sebagai obyek yang diajaknya berbicara. Obyek tak pernah mendapat ruang untuk memiliki kehendak, bukan?
Saya juga berpikir, kebersamaan itu memang ciri dari keberadaan manusia. Gimana kita akan "mengada" jika kita hidup sebagai makhluk tunggal? Ada bagi siapa? Maka, kebersamaan itu akan memiliki makna jika kita melakukan interaksi yang baik. Suami-istri adalah kebersamaan yang berkonsep Aku-Kamu. Coba kita ingat-ingat, ada apa dengan relasi Aku-Kamu ini? Dalam relasi Aku-Kamu, hendaknya individu tersebut saling membuka diri, memberi ruang, saling percaya, sekaligus memelihara partner cintanya itu sebagai pribadi yang utuh, sebagai subyek.
Namun, lama saya berpikir, suasana yang tidak nyaman ini tentu saja memengaruhi interaksi kami. Kualitas hubungan saya dan suami otomatis menjadi terganggu. Padahal, masyaAllah, begitu sepele urusan model jilbab itu. Kenapa, sih, tidak merelakan saja apa yang menjadi keinginan suami? Saya berdamai dengan perlakuan suami yang tidak memahami apa yang saya inginkan.
Nyatanya, setelah saya berdamai, hubungan saya semakin berkualitas. Saya paham, selera orang dalam berpenampilan memang berbeda-beda. Saya paham, meskipun yang tampil itu diri saya sendiri, tapi itu telah melukai selera suami. Maka saya menyimpulkan bahwa berdamai dengan pelanggaran eksistensi orang lain tak selamanya keliru sebab:

  1. Eksistensialisme menghendaki adanya kebebasan. Maka memilih untuk berdamai dengan eksistensi orang lain atau tidak itu sendiri adalah sebuah kebebasan. 
  2. Pada hakikatnya, tidak ada kebebasan yang tidak memiliki batasan. 

Kehidupan saya yang tenang dengan suami sungguh merupakan sebuah kebahagiaan. Suami juga telah membuat hidup saya tidak menjadi sepi. Barangkali,  Anda punya punya versi sendiri tentang berdamai dengan pelanggaran eksistensi ini.


Wake Up, Be Awesome! -1- | -2- | -3-|-4- | -5- | -6- | -7- | -8- | -9- | -10- | -11- |

8 komentar:

  1. ya memang kadang hal yang sepele malah bikin kita berbead pendapat. meamng berdamai itu hal yang sulit , dua-duanya harus mau melepaskan ego masing2

    BalasHapus
  2. Kalo aku minta suami yg pilihin baju yg mau kubeli daripada dia ga suka :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waduh, aku sangat beda selera sama suami xixixixixixi Tapi kami saling minta pendapat karena aku juga suka ngomel kalau ga suka baju suami

      Hapus
  3. Damai itu memang indah ya bun. Tapi terkadang perjuangan untuk berdamai itu yg ehm...sesuatu. Hehehe..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah itu dia ... bingiiiittt xixixixixixixi Suami juga harus belajar menghargai istri di saat istri mencoba menghargainya ya, DJ

      Hapus
  4. kalo saya dan suami, sama-sama memahami...jadi tak ada yang merasa terpaksa berdamai karena eksistensinya di langgar...

    BalasHapus

Pengikut

Supporting KEB

Supporting KEB
Kumpulan Emak Blogger

Histats

Histats.com © 2005-2014 Privacy Policy - Terms Of Use - Check/do opt-out - Powered By Histats