http://isites.harvard.edu/fs/docs/icb.topic1007300.files/6/giacometti_piazza.jpg
Ada beberapa poin dalam psikologi eksistensial (Koeswara: 1987):
Pertama, psikologi eksistensial menolak hukum sebab-akibat dalam mengatasi persoalan kehidupan manusia. Why? Karena, eh, karena, eksistensialis memandang bahwa manusia itu adalah subyek yang dinamis. Oleh karena itu, konsep motivasilah yang relevan untuk mengatasi persoalan manusia.
Pikirkan analogi "JENDELA". Jendela itu bisa terbuka oleh angin dan juga oleh kita sendiri. Wah, pintu kamar tidak ditutup, sih, wajar, dong, dorongan angin yang masuk dari arah pintu mengakibatkan jendela itu terbuka. Tapi, jendela itu bisa terbuka juga jika kita menghendakinya. Dan untuk membuka sebuah jendela, kita pasti punya alasan, misalnya, mencari udara segar atau sekedar ingin memanggil tukang kue yang lewat. Apa saja yang kita inginkan.
Kedua, psikologi eksistensial berprinsip bahwa pengalaman atau tingkah laku manusia adalah hasil dari manusia itu sendiri sebagai suatu totalitas yang berkehendak. B-E-R-K-E-H-E-N-D-A-K. Manusia tidak bertingkahlaku karena dorongan-dorongan, naluri, atau stimulus-stimulus eksternal semata.
Ketiga, psikologi eksistensial mencurigai teori. Artinya, teori-teori itu tidak bisa selalu dibenarkan karena banyak di antaranya yang terlalu mempersoalkan hal-hal yang tidak bisa diamati dan menganggap hal-hal tersebut sebagai penyebab munculnya hal-hal yang bisa diamati.
Psikologi eksistensial tidak pernah menginginkan memandang manusia seperti memandang batu atau pohon. Psikologi eksistensial juga tidak mau memperlakukan manusia layaknya obyek yang bisa dimanipulasi. Ada beberapa konsep dasar dalam pemikiran para eksistensialis.
Ada – NonAda
Koeswara mengambil pendapat Sartre (1976) bahwa "ada" (being) adalah ukuran bagi keberadaan manusia, yakni suatu dimensi yang mengarah ada subyektifitas manusia. Dengan meng-ada, manusia hadir, menampakkan diri, mengalami dirinya sebagai subyek yang sadar, aktif dan berproses.
Non-Ada adalah ukuran ketiadaan manusia, yakni suatu dimensi yang mengacu kepada keobyekan. Dengan tidak meng-ada, manusia melakukan pengingkaran terhadap keberadaaannya dan mengalami dirinya sebagai obyek.
Ada-Dalam-Dunia
Konsep ini diperkenalkan oleh Martin Heidegger yang mengandung arti bahwa manusia hidup atau mengungkapkan keberadaannya dengan meng-ada dalam dunia. Keberadaan ini tidaklah sama dengan keberadaan beras dalam karung atau baju dalam lemari. Keberadaan ini adalah suatu totalitas yang menjali relasi dialektis yang menunjukkan bahwa keberadaan dan perkembangan manusia tidak terlepas dari keberadaan dan perkembangan dunia. Jadi, manusia akan berkembang jika dia mengembangkan dunianya.
Relasi Aku-Kamu
Di dalam relasi Aku-Kamu, seseorang sadar dan menghargai orang lain sebagai subyek seperti dirinya, subyek dengan dunianya sendiri, subyek yang selalu berproses, dan subyek yang memiliki perasaan, pikiran, dan keinginannya sendiri. Jika Relasi Aku-Kamu dijalankan dengan benar, maka setiap orang akan mampu berempati terhadap orang lain karena ia selalu sanggup mencoba untuk membayangkan apa dan bagaimana dunia orang lain itu. Sebaliknya, jika seseorang menjadikan orang lain sebagai obyek, maka ia tidak akan bisa menumbuhkan empati dalam dirinya.
Otentik dan Tidak Otentik
Keberadaan yang tidak otentik adalah keberadaan yang cenderung mengukuhkan dirinya melalui usaha mencari kesuksesan. Yang dimaksud kesuksesan di sini adalah kesuksesan yang membutuhkan "tepuk tangan penonton". Keberadaan yang tidak otentik cenderung rapuh karena ia hanya mengalami pengukuhan diri jika ada orang yang menopangnya, mengakuinya, dalam lain kata, ia masih membutuhkan manusia lainnya dan sangat bergantung manusia lainnya.
Keberadaan yang otentik adalam keberadaan yang tidak membutuhkan ketergantungan kepada orang lain. Justru ia menyadari bahwa setiap orang memiliki tujuan-tujuan mereka sendiri. Keberadaan yang otentik selalu mampu merealisasi kemungkinan-kemungkinan dari keberadaannya.
Kesadaran Diri
Kesadaran diri adalah kapasitas yang memungkinkan seseorang untuk hidup sebagai pribadi yang utuh yang mampu mengamati dirinya sendiri, mampu menempatkan diri, mampu menempatkan diri dalam dunia orang lain atau mampu memahami orang lain.
Kebebasan dan Tanggungjawab
Kebebasan adalah ciri eksistensialisme. Namun, manusia adalah bebas sekaligus bertanggungjawab untuk membuat sebuah keputusan atau memilih tindakan dalam rangka mewujudkan keberadaannya dan arah hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar