pinterest.com (pinned from etsy.com)
Catatan
7:
MENJADI DIRI SENDIRI - KENALI APA YANG SAYA INGINKAN
- PILIH APA YANG INGIN SAYA LAKUKAN AGAR SAYA BAHAGIA
- FOKUS PADA PILIHAN
- BERTANGGUNGJAWAB KEPADA PILIHAN
- MEMAKNAI SETIAP PENDERITAAN DALAM HIDUP
- MENGEMBALIKAN SEMUA KESULITAN DALAM HIDUP KEPADA SUPER-MAKNA DAN SUPER-ADA: ALLAH
Saya tidak yakin apakah semua orang sepakat
dan menganggap keinginan saya bisa dikategorikan sebuah cita-cita. Apakah itu?
Menjadi ibu rumah tangga yang sukses! See? Apakah ratusan, ribuan orang
di luar sana akan berpikiran sama dengan saya, bahwa menjadi ibu rumah tangga
adalah sebuah cita-cita yang prestisius dan layak diperjuangkan? Apakah ini
bukan akal-akalan saya saja sebagai bentuk eskapisme ketidakmampuan saya
bersaing di dunia kerja? Di dunia karier yang begitu menggoda, dimana katanya
seorang wanita lebih memiliki ruang yang luas, ruang publik yang membuat mereka
memiliki bargaining yang kuat dalam beberapa hal dan kelihatan lebih powerful.
Lebih kinclong. Lebih wangi....
Wait! Sebelum kita mencari banyak justifikasi bagi
golongan yang tidak mengganggap bahwa pekerjaan sebagai ibu rumah tangga tidak
dikategorikan penting, sesungguhnya saya sudah lama memilih keluar dari
perdebatan itu dan memilih untuk berpikir positif bagi kepentingan diri saya
pribadi. Bagi saya, dunia publik dan domestik adalah sama baiknya selama kita
memilihnya dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab. Semua sama susahnya. Semua
sama butuh perjuangan.
Dulu, saya pernah ingin menjadi seorang dosen
yang memperjuangkan pendidikan terbaik bagi mahasiswanya. Pasti keren!
Berkutat dengan dunia akademis yang dinamis, yang dialogis, dengan update
ilmu setiap saat tren pemikiran berkembang atau bertindihan. Namun, faktanya?
Saya menikah bahkan sebelum lulus S1. Apa saya sudah begitu kebelet
nikah? Oh, no, ini masalah pilihan saja. Tiba-tiba saya takut lelaki
shalih yang ujug-ujug datang melamar saya kala itu akan lepas dari
lingkaran hidup saya selamanya. Memang waktunya tidak tepat, saya sedang bercita-cita,
pengen jadi dosen, tapi saya punya pertimbangan lain. See? Ternyata
sebuah pertimbangan prioritas dalam hidup mampu merubah cita-cita kita!
Artinya apa? Artinya, Anda mendapatkan
pelajaran pertama bahwa cita-cita adalah sesuatu yang memang benar-benar
merupakan prioritas hidup. Demikian dengan saya. Menjadi ibu rumah tangga
adalah prioritas bagi saya.
Mengapa saya sebut menjadi ibu rumah tangga
itu butuh perjuangan? O, please, deh, tidak mudah menjaga pikiran dan
persepsi kita tentang profesi ibu rumah tangga di tengah kompleksitas
modernisme dan kapitalisme. Hidup sekarang seolah tidak cukup dengan filosofi
sandang, pangan, papan semata, bukan? Perlu refreshing. Perlu entertaint.
Perlu eksis, bo! Duit darimana? Kapitalisme membuat persaingan kerja
makin berat. Gaji makin kompetitif. Hari gini, istri nggak kerja? Oke,
pertanyaan itu sungguh retoris. Anda sedang berhadapan dengan perjuangan
seorang ibu rumah tangga yang nomor satu.
Kemudian, pernahkah Anda membayangkan bahwa
pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan dengan "klien" benda mati
(setumpuk cucian, debu, piring kotor, dll.) yang harus diurusi dengan keahlian
khusus? Coba, apakah semua orang bisa mencuci dan menyetrika baju? Ini bukan
soal tenaga saja! Ini soal bagaimana memahami serat baju dan komposisinya agar
tak salah perlakuan ketika mencuci dan menyeterikanya. Ajaibnya, semua itu
"digaji" dengan konsep invisible payment. Kok invisible?
Ya, iya. Bukankah pahala tidak pernah kelihatan? Oh, Anda sedang berhadapan
dengan perjuangan ibu rumah tangga yang kedua: keikhlasan.
Parahnya, ribuan kepala bersepakat bahwa
pekerjaan invisible payment ini adalah "wajar bagi kaum
wanita". Suami pulang kerja dan melihat situasi rumah yang aman dan
terkendali adalah hal yang sudah semestinya. Mekanisme rutin yang melibatkan
kaum wanita. Artinya apa? Artinya, melawan stereotip seperti ini adalah
perjuangan seorang ibu rumah tangga yang ketiga.
Well, bicara soal anak dalam sebuah keluarga,
bukankah anak-anak adalah aset yang berharga? Investasi dunia dan akhirat, kata
ustadz. Untuk itulah, orangtua harus mendidik mereka baik-baik. Lantas, siapa
yang 24 jam berada di rumah? Ibu rumah tangga. Maka, tugas ibu rumah tangga
selanjutnya adalah melakukan self upgrading untuk mendidik
putra-putrinya. Coba ingatkan saya, perjuangan nomor berapakah itu? Dan bisakah
Anda menyebutkan perjuangan-perjuangan seorang ibu rumah tangga lainnya?
Anyway, puncak dari seluruh perjuangan itu adalah
melawan rasa jenuh dan bosan! See? Butuh kecerdasan luar biasa untuk
menjadi seorang rumah tangga yang tak cukup diganti dengan rupiah. Maka, niat
yang baik, kesungguhan, keikhlasan, menjadi hal utama dalam mewujudkan sebuah
cita-cita....
Hal yang tak kalah asyik untuk Anda ketahui
tentang cita-cita saya adalah bahwa ketika kehidupan menjadi ibu rumah tangga
bermula hingga bertahun lamanya, ternyata cita-cita saya berkembang lagi, lho!
Saya ingin menjadi seorang ibu rumah tangga yang juga seorang penulis. Lantas
timbul pertanyaan, kenapa, sih, harus merepotkan diri? Bukankah perjuangan menjadi
ibu rumah tangga sudah sangat menyibukkan? Nah, ini dia permasalahannya.
Cita-cita ternyata membutuhkan dukungan aktifitas positif.
Bayangkah, saat saya mengalami rasa jenuh dan
bosan, saya merasa hidup saya mulai mengalami kekosongan. Saya pun mencari cara
supaya jiwa saya tidak terlalu lama mengalami kekeringan. Ternyata, menulis
membuat kehidupan saya menjadi bermakna. Jika hidup saya menjadi bahagia karena
menulis, maka energi positif itu akan mampu melancarkan cita-cita saya menjadi
ibu rumah tangga yang baik. Nah, pelajaran kedua ternyata begitu sederhana,
bukan? Sebuah cita-cita besar memerlukan pendukung aktifitas positif.
Pada akhirnya saya harus menyadari, apapun
yang menjadi cita-cita saya, selalu membutuhkan banyak energi untuk
mewujudkannya. Saya ingin suami saya sukses berkarier dan bersosialisasi, saya
ingin anak-anak saya tumbuh dengan benar dan bermanfaat, saya ingin rumah
tangga saya menjadi rumah tangga yang selamat di dunia dan akhirat.... Apa yang
ingin saya wujudkan itulah yang membuat saya terus berani menghadapi kehidupan
ini. Dengan bercita-cita, saya menjadi hidup. Hidup saya menjadi begitu
menyenangkan saat saya mendapati suami dan anak-anak saya tidak berkekurangan,
sukses, bahagia, sehat, dan ceria. Hidup saya juga sangat menyenangkan apabila
dapat menulis hal-hal yang bermanfaat dan kemudian dibaca oleh banyak orang....
So, menjadi ibu rumah tangga full time
tidak layak disebut sebagai cita-cita? Ah, Anda jangan bercanda!
Ya, inilah saya.... Seorang wanita yang
memilih berada di rumah untuk suami dan anak-anak selama duapuluh empat jam.
Inilah saya, seorang wanita yang meluangkan waktu untuk menulis. Inilah saya,
seorang wanita yang menyeduh teh dan menyediakan makanan kecil buat teman
ngobrol Anda semua.
Saya telah dan selalu berusaha untuk
"menjadi". Menjadi saya seutuhnya. Being Me! Being
"Me" yang seperti apa yang saya kehendaki. Saya kadang berpikir,
apakah hidup "hanya" menjadi seorang ibu yang duapuluh empat jam di
rumah adalah kondisi yang tanpa harapan? Saya, sih, tidak pernah merasa begitu.
Namun, kalau toh begitu, seperti kata Frankl, ketika kita tidak mampu mengubah
situasi, kita sendirilah yang ditantang untuk mengubah diri kita. Hidup ini pada
akhirnya adalah mengambil tanggungjawab sebagai konsekuensi dari pilihan yang
kita ambil untuk mengatasi dan menghadapi masalah-masalah yang terus menerus
ada pada kehidupan kita. Siapa, sih, manusia yang hidup tanpa masalah? Lepas
yang ini datang yang lain.
Memang, saya memilih, memilih menjadi ibu ruma
tangga, awalnya... namun..., (lho? Masih ada "namun"-nya?) saya
kadang bertanya-tanya juga: kenapa kadang saya masih mengalami kecemasan,
depresi, ketidakbahagiaan, bosan, menyendiri, dan tekanan emosi lainnya?
Bukankah saya telah memilih? Bukankah itu sudah menjadi pilihan saya?
Ternyata,
menjadi orang yang bebas memilih tidak menjamin orang jadi bijak memilih.
Pilihan itu terkadang tidak didasari oleh kesadaran penuh sehingga kita kurang
bertanggungjawab dalam menghadapi konskuensinya. Padahal, seperti kata Frankl,
kecemasan hadir karena rasa tanggungjawab yang tidak terpenuhi. Sebenarnya
menjadi apapun kita, tanggungjawab terhadap pilihan hidup akan mengantarkan
pada makna. Yang jelas, pilihan itu
haruslah bertujuan. Siapa bilang profesi ibu rumah tangga adalah "hanya?
Kelelahan yang berujung pada keikhlasan merupakan pengorbanan yang mulia.
Karena dalam diri saya ada rasa cinta untuk mereka. Bahkan, menjadi ibu rumah
tangga pun tetap bisa berkarya!
Bagi saya ternyata, melihat putra-putri saya
tumbuh dan berkembang sungguh merupakan saat-saat yang berarti. Bagi saya
ternyata, melihat suami yang pulang kelelahan karena urusan kerja atau membantu
orang lain, yang lebih suka dilayani oleh istri daripada orang lain, sungguh
membuat saya merasa berarti. Rasanya, saya memang harus memilih.... Pilihan
yang penuh kesadaran. Unwise choise dapat disadari dengan melihat
peluang eksistensi saya. Pilihan saya tidak harus betul dengan sendirinya,
namun dengan tindakan memilih itu sendiri telah menunjukkan eksistensi saya.
Saya menyadari satu hal, manusia yang otentik adalah yang memiliki kesadaran
dalam memilih di antara begitu banyak pilihan. Bahkan, memilih untuk
berpendapat bahwa hidup ini kadang tidak memiliki pilihan pun adalah sebuah
pilihan! Memilih, adalah awal untuk menjadi sesuatu.
Saya memilih menjadi seorang Istri dan Ibu.
Saya memilih untuk menjadi seseorang yang menemukan makna hidup dari
nilai-nilai spiritual yang saya yakini. Saya juga memilih untuk menjadi
seseorang yang menemukan makna hidup dari nilai-nilai kreatifitas melalui
kegiatan menulis, melalui perasaan cinta saya kepada keluarga, dan melalui
cinta-kasih kepada sesama.
Bekerja atau tidak bekerja secara formal, kita akan selalu cemas dan
tidak bahagia jika kita tidak percaya bahwa kita bisa bahagia. Beranilah memilih, baru kita bicara soal kebahagiaan :D
Hadiiiirrr. Tulisan yg khas tulisan dosen. Gak nyangka kalo yg nulis seorang ibu rumah tangga :D
BalasHapusLuaaarr biasaaaa mak.. *tepuk tangan.. suka sama tulisannya..super sekali mak santy...aku suka...
BalasHapusSemua sudah lengkap disini...setuju...hehe
BalasHapus