Rabu, 14 September 2016

Relationship: Istri yang Beruntung?




pinterest.com
Tittle: Colour Me Beautiful
-Pat Brennan (Corel Painter)
contemporary art #surreal fantasy beautiful female woman portrait digital painting




Hi, Maks!
Apa kabar? ^^

Sambil ngerjain kerjaan freelancer content writing ditemanin Facebook pagi ini, saya dikasih memori setahun yang lalu. Ini pas suami bertugas sebagai interpreter Presiden Jokowi di beberapa negara di Timur Tengah yang kemudian jadi headline koran lokal dan beberapa muncul di koran dalam negeri. Saya dapat tagging foto atau tag nama cuma untuk baca: beruntungnya kamu, Mbak.

Fine. I am breathing fine *narik nafas* xixixixixi Please, ya, itu emang bagian dari kerjaan dia dan ia bertanggung jawab dan sangat menghargai pekerjaannya. Saya support kerjaan suami. Jadilah saya dulu nulis status. Tapi ternyata curhatan saya ini kok terasa tak usang di telan jaman ya sesuai dengan teori eksistensi. *hayyah* Sampai setahun berjalan pun status ini masih meneguhkan siapa saya. Konsistensi nilainya terasa saat saya harus melihat kehidupan wanita lainnya.

Wahai Para Istri #eaaa, apakah Anda merasa beruntung mendapat suami Anda sekarang ini? Saya berkali-kali lahiran, yang dipuji-puji bayi saya. Saya belajar menjadi ibu yang baik, lalu dibilang: beruntung anaknya baik ngga susah diatur. Beruntung anaknya nggak susah makan, kalau anak saya sih susah. Mungkin Anda ngga telaten? Mungkin anak Anda memang memiliki masalah fisik (kesehatan)? Saya menemani suami hampir 12th, selalu, yang dipuji2 suami saya *puk puk pundak Eliz*

Apa yang disebut "beruntung" di telinga saya semacam: kamu memiliki banyak anugerah.Oke. Qodarullah. Alhamdulillaahilladzii bini’matihi tatimmushshaalihaat. Alhamdulillah alaa kulli haal. Lalu saya sebagai manusia ini apa?

Ooo ... saya cuma ingin dipuji?

Tidak. Konsep wanita di mata saya adalah BEING, not HAVING. Saya ngga merasa harus memikirkan berapa yang sudah saya dapat, miliki. Bagi saya, saya juga bukan "properti" suami. Bukan hiasan dalam rumah tangga lalu rejeki Allah datang begitu saja.

Dalam pernikahan, ngojekin anak, ngepel lantai, ngosek kamar mandi, lipatin baju, jagain anak sakit, nyiapin makanan, mijitin suami, dandan, menggulung mimpi, dll. adalah saya sebagai SUBYEK yang bertanggungjawab. So, saya melakukannya dengan hati senang walaupun tak punya uang xixixixixixi
Kerjaan semacam itu sama pentingnya dan setara dengan kerjaan lain saya: arguing, complaining, discuss, cubitin, marahin, palakin, dll. Ngga membuat saya jadi superior ataupun inferior. Ngga membuat saya merasa jadi obyek yang harus selalu menghitung diri soal kepantasan bersuara di depan laki-laki. Apalagi memendam, memendam, dan memendam, tanpa ada dialog.

Kami belajar bersama. Kami adalah SUBYEK yang aktif. Tidak ada yang lebih beruntung dari satu sama lain. Kami adalah satu kesatuan support system buat anggota keluarga. Kami saling memuji satu sama lain dan mengritik satu sama lain.

Sebetulnya, tidak terlalu penting bagi saya pujian dari orang lain: kamu istri yang baik, kamu suami yang baik, bla bla bla .... Tapi saya selalu berpikir, saat wanita (sering saya temui) mengucapkan, "kamu beruntung mendapat suami seperti itu", entah kenapa saya langsung merasa sedang berbicara dengan manusia yang meng-obyek-kan dirinya. Sebagai obyek, dia cenderung menerima apa yang ada dalam dirinya begitu saja. Begitu saja. Begitu saja. *langsung jadi echo* (Mudah2an ada yg memahami echo ini). Sehingga saya ingin bertanya: kawan, bahagiakah kamu?

Sebaliknya, jika ada laki-laki yang berkata, "kamu beruntung dapat suami seperti itu", di telinga saya seperti sedang mengobyekkan saya. Menyinggung sekali. Mas, Mas, Anda sedang bangga dengan maskulinitas dan budaya kepemilikan? Apalagi kamu, Mbak, ngga pantes kalau sampai merasa laki-laki itu adalah tuan dan Anda adalah pelayan. Hargai diri sendiri ya ^^

Jadi, sambil merenung saya mikir, ternyata ... patriarchy masih begitu dihayati. Sekat-sekat yg sexist sekali. Saya khawatir, beneran di luar sana banyak wanita yang belum bahagia. Sebab bahagia bukan berarti tidak pernah sedih. Sebab yang bisa merasai sedih atau bahagia adalah SUBYEK. Kebahagiaan bagi OBYEK bahkan adalah pemberian. Apalagi sedihnya. HAVING. Nyesek banget, kan? Live your life!

Hasbunallah wani'mal wakiil.

6 komentar:

  1. Setuju, mba, dengan prinsip "being" not "having". Dengan begitu, we're proud of what we have :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, Mbak ... jadi kita ngga akan capek juga menjalani sesuatu yang bukan keputusan kita :D makasih sudah mampir

      Hapus
  2. keren ni pemkirannya :).. selama ini aku juga ngerasa, masih HAVING, belum being.. walopun kalo dipikir2, iya juga, aku dan suami itu 1 kesatuan.. kita berdua saling melengkapi.. g ada yg lebih beruntung siapa... :).. mungkin org2 ngeliatnya krn suami lbh sabar, lbh ngemong, jd pada mikir aku yg beruntung bersuamikan dia.. tapi toh, kalo g ada istri yg bawel dan cerewet serta lihai dalam mengatur keuangan kyk aku ;p, suamiku pasti kelabakan :D ..

    jadi stop mikir kalo kita ini hanya objek ya ;).. bagus tulisannya mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih sudah mampir, Mbak. Manisnya sajian kue adalah satu kesatuan. Tidak mungkin gula atau tepung atau mentega merasa lebih unggul dari satu sama lain ^^

      Hapus
  3. Bener Mbak, pernah merasakannya juga dan pengen nanya juga ke mereka, kawan, bahagiakah kamu?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kadang orang ngga sadar kalau ucapannya bisa merupakan proyeksi dari pengalaman batinnya :D Makasih, Mbak Oci.

      Hapus

Pengikut

Supporting KEB

Supporting KEB
Kumpulan Emak Blogger

Histats

Histats.com © 2005-2014 Privacy Policy - Terms Of Use - Check/do opt-out - Powered By Histats