
Children's Theatre
Oil Canvas Reproduction | by: Tadeusz Makowski
Hi, Maks!
Apa kabar? ^^
Kembali diingatkan Facebook akan status setahun yang lalu. Beginilah kerjaan content writer yang selain browsing info juga mondar-mandir di Facebook :D Nggak papa juga sih …. Status yang telah berlalu kadangkala ikut melumerkan hati kembali.
Setahun yang lalu, ayahnya anak-anak bilang kalau kita sudah longgar waktunya untuk berdua saja, saya bisa jalan sendirian naik kereta menjemputnya pulang kantor dan kita ketemuan di Cikini. Ini saat saya suka bilang bahwa saya pengen merasakan kita nge-date tanpa berangkat bareng, bahwa kita memang tidak begitu saja menjadi satu dulunya. Dari Cikini, kita akan jalan ke TIM, nonton. Maklum, kami berdua belum pernah pacaran. Jadi sebenarnya saya juga pengen tahu rasanya :v
Sebenarnya agak mengagetkan saat ayahnya anak-anak mengajak saya pergi ke TIM karena setahu saya dia bukanlah penikmat karya seni dan budaya. Kami bahkan nyaris tidak pernah nonton film berdua ataupun menyanyi bersama. Terlalu datar, serius, dan logis. Emosinya sangat stabil. Ini berbeda dunia dengan penikmat karya seni yang cenderung memiliki kekayaan emosi. Saya berpikir, mungkin kehidupan dunia diplomatik yang bersinggungan dengan banyak orang, banyak kepentingan, dan juga banyak budaya telah memberikan perspektif baru untuknya.
Kembali diingatkan Facebook akan status setahun yang lalu. Beginilah kerjaan content writer yang selain browsing info juga mondar-mandir di Facebook :D Nggak papa juga sih …. Status yang telah berlalu kadangkala ikut melumerkan hati kembali.
Setahun yang lalu, ayahnya anak-anak bilang kalau kita sudah longgar waktunya untuk berdua saja, saya bisa jalan sendirian naik kereta menjemputnya pulang kantor dan kita ketemuan di Cikini. Ini saat saya suka bilang bahwa saya pengen merasakan kita nge-date tanpa berangkat bareng, bahwa kita memang tidak begitu saja menjadi satu dulunya. Dari Cikini, kita akan jalan ke TIM, nonton. Maklum, kami berdua belum pernah pacaran. Jadi sebenarnya saya juga pengen tahu rasanya :v
Sebenarnya agak mengagetkan saat ayahnya anak-anak mengajak saya pergi ke TIM karena setahu saya dia bukanlah penikmat karya seni dan budaya. Kami bahkan nyaris tidak pernah nonton film berdua ataupun menyanyi bersama. Terlalu datar, serius, dan logis. Emosinya sangat stabil. Ini berbeda dunia dengan penikmat karya seni yang cenderung memiliki kekayaan emosi. Saya berpikir, mungkin kehidupan dunia diplomatik yang bersinggungan dengan banyak orang, banyak kepentingan, dan juga banyak budaya telah memberikan perspektif baru untuknya.
Dulu sekali ... saya pernah mengajaknya hadir di sebuah diskusi
budaya di pelataran TIM. Karena acara sungguh malam dan batita kami (masih
satu) di rumah sendirian bersama asisten, kami memutuskan meninggalkan acara.
Selain itu, saya sendiri kurang menikmati diskusinya yang datar dan
suami pun nampak tidak enjoy. Lalu kami makan malam berdua di sebuah restoran
sunda servis buffet. Hmmm … melihatnya makan dengan lahap memang lebih mengasyikkan daripada
mengikuti diskusi budaya malam itu.
Saya memang menyukai kajian budaya dan filsafat. Dari dulu, jaman saya galau
dan luntang lantung saat kuliah. Saya punya beberapa sahabat untuk sekedar chat.
Dan salah satu sahabat saya pernah DO dari univ negeri keren di Jogja gara-gara ribut dengan dirinya sendiri.
Alhamdulillah sekarang dia berhasil menjadi dosen dengan menyelesaikan
masternya di sebuah institut yang macho, yang flamboyan, dan keren
di Bandung. Saya sendiri telah diselamatkan superhero yang sangat stabil,
visioner, dan realistis *halah* yang keningnya selalu berkerut kalau melihat
saya mulai berpikir dan berperilaku dramatis :p *itu kamu, Darl, yang ngga pernah mengajak pacaran*
Hidup
bersamanya, saya digiring ke kehidupan yang lebih nyata hingga perlahan pikiran
kompleks saya bisa lebih tertata satu persatu menginjak tanah. Meskipun itu
sangat debatable dan menguras hati, tapi rasanya ... dia ada benarnya.
Kami manusia langit yang menginjak bumi, bukan manusia langit yang tidak pernah
bisa membumi atau tidak pernah benar-benar mengerti bagaimana seharusnya hidup
di bumi. Hanya
karena saya begitu menggilai ide-ide.
Jadi ya sudahlah ... hidup membumi, menikmati budaya manusia di bumi,
mengapresiasinya .... Meski
mungkin cara kami mengapresiasi kehidupan di bumi itu selalu berbeda. Kami memang sangat berbeda selera
soal budaya hahahaha
Ya, suatu saat, kami akan nonton di TIM. Setelah kami ketemuan di
stasiun Cikini dengan saya yang rapi
jali menemui laki-laki berkemeja sederhana dan berkeringat. Lalu dengan alasan
belum puas ala pasangan baru kenal, saya akan memintanya apel ke kamar tanpa menunda-nunda rasa
penasaran ala pasangan yang sedang pacaran dan terbatasi oleh hal-hal yang
sangat normatif.
Saya akan mengajaknya
pergi menonton teater di malam minggu. Teater? Mmm ... seperti monolog
3perempuan yang diiklankan sebuah surat kabar Minggu kemarin? Bagus kan ya
kalau laki-laki mempelajari perbedaan sudut pandang lawan seksnya, memahami
isu-isu perempuan yang seringkali menyesakkan dada. Budaya, dan perempuan yang
bertumbuh di dalamnya.
Tentu saja, kami akan menikmati sebuah pertunjukan dari budaya.
Budaya itu sendiri. Wong nonton aja kok dilarang? *eh, emang ada yang melarang
orang nonton?* :p Memahami bagaimana manusia di bumi hidup dan
berperilaku dengan cara dan media apa saja,
termasuk melalui sebuah lakon di panggung. Kami tak hirau soal manusia
lain yang akan mencampuradukkan budaya bumi dan langit. Hasil pikiran manusia
dan Allah. Relatifisme dan Absolutisme. Keyakinan dan keimanan. Lalu mencoba
untuk menariknya: berkelindan kuat dan sangat kasar. Yang satu ekstrim dengan pengharaman, yang lain
ekstrim dengan kebebasan.
Kami bukan follower keduanya. Kami pun tak akan
mengkultuskan manusia berbudaya, lalu mencari siapa bapaknya lalu kakeknya dan
dengan begitu akan mengamini begitu saja pemikirannya. Atau paling tidak,
memaklumi perilakunya. Selama itu adalah budaya, kami akan mengkritisinya
sebagaimana pikiran manusia yang selalu dinamis. Di lain sisi, kami tak ingin mengkultuskan sosok
beragama lalu menjadi demikian buta.
Nah, saya
mulai menceracau lagi. Anyway, thanks buat ayahnya anak-anak yang sudah
menenggelamkan saya dalam segala ompol dan debu-debu rumah. Bahkan, menenggelamkan saya di dunia emak-emak yang
tak jarang absurd meski itu dalam pergaulan pribadi maupun organisasi. Lebih
absurd dari memahami dunia ide itu sendiri. Misalnya, saya boleh bengong
membaca pemikiran fenomenologi tapi saya bisa kehilangan ide sedikitpun saat
melihat seorang emak membawa sepeda motor dan tidak bisa menggunakan lampu sen
dengan benar. *padahal mah bapak-bapak lebih parah xixixixixi
Jadi begitu saja, ya. Saya akan selalu menagih janji untuk jalan berdua
ke TIM. Menonton manusia lainnya. Dan ternyata satu tahun berlalu, suami saya
masih suka bilanng, “Kalau kita sudah longgar waktunya untuk berdua saja, adek
bisa jalan sendirian naik kereta menjemput mas pulang kantor dan kita ketemuan
di Cikini.”
Nonton theater di TIM, saya dulu pernah dapet tiket gratis rasanya dari Femina, haha... Tema sosial dan budaya gitu sih.
BalasHapus