Senin, 24 Oktober 2016

Benarkah Menjadi Ibu Rumah Tangga Tidak Bisa Bahagia?


source: Youtube


Bagi saya –seorang ibu rumah tangga-, menyetir di pagi hari mengantar anak-anak dengan menyalakan radio dan mendapati bahwa lagu favorit saya ada dalam daftar yang mereka putar tentu saja merupakan hal yang menyenangkan. Atau, mendengar olah kata Nycta Gina dan Desta yang ribut sendiri di radio Prambors di pagi hari saat mau belanja adalah kesenangan kecil yang membuat rileks.

Saya merasa: apa sih yang harus membuat saya merasa tidak bahagia? Apakah saya tidak bisa bersyukur? Positif. Saya menikmati hidup dan peran saya saat ini. Sangat. Meskipun sesekali saya sering membayangkan bagaimana enaknya tampil segar di pagi hari, bertemu banyak orang, dan meninggalkan jeritan anak-anak yang saya titipkan ke pengasuh, sekolah-sekolah, atau daycare. Tapi … saya segera membuang jauh bayangan itu karena terbayang mungkin saya tidak terlalu suka hidup dalam keadaan yang tertekan dan lelah oleh banyaknya tanggung jawab yang saya ambil: di luar dan di dalam rumah.

Lupakan soal perdebatan ibu bekerja vs ibu tidak bekerja. Fokus pada pilihan hidup kita masing-masing :D Setiap wanita memiliki kehidupan yang sangat personal dan sangat berbeda antara satu dan lainnya. Wanita memiliki kebutuhan yang berbeda-beda sehingga akan menghasilkan prioritas dan kompromi yang tidak pernah sama.

Mungkin banyak wanita yang galau karena kondisi kerjaan, jarak, support suami, waktu yang habis di jalan, sulitnya mendapatkan pengasuh, ekonomi, gaya hidup, anak berkebutuhan khusus, idealisme tertentu, dll. yang menjadi pertimbangan untuk memutuskan apakah ia mampu bekerja di luar rumah atau tidak. Feel free. Wanita hidup dalam budaya, keyakinan, sistem, dan geografis yang berbeda. Terlebih, wanita memilik kesempatan dan takdir yang berbeda.

Saya sendiri beberapa kali menghindari pekerjaan yang datang. Bukan tidak butuh duit, tapi saya tahu diri saya bahwa saya orang yang menyukai totalitas. Ini tentu menjadi ketakutan tersendiri jika saya menjadi lupa untuk pulang. Lalu, saya mencari alasan-alasan untuk merasionalisasi segala kesalahan dan kekhilafan yang mungkin akan timbul.

Pernah makan martabak telur? Pernah. Enak? Enak. Bagaimana seandainya Anda tidak pernah lagi bisa membelinya karena uang Anda tidak cukup lagi karena alasan tertentu? Anda mungkin berusaha untuk mencari uang tambahan. Hatta, itu untuk sekedar jajan. Atau, pernah mengalami masa kecil bertumbuh dengan merek susu terbaik dan merasa nelangsa karena tidak bisa memberikan yang sama untuk anak sendiri?

Saya juga kenal dunia glamour. Kadang saya tidak puas dengan hanya mencangklong tas ratusan ribu karena saya pernah bisa membeli lebih dari itu. Saya kadang merasa mobil sejuta umat saya tidak terlalu keren, apalagi jika sudah bertemu dengan teman-teman yang mampu membeli di atasnya. Sementara, saya menganggur di rumah. Tidak memiliki pemasukan apapun yang bisa menyenangkan hidup saya sendiri. Bla bla bla ….

Sedihkah saya? Itu sama saja dengan menjawab pertanyaan: sedihkah sekarang ngga pernah lagi makan martabak telur? Hahahahaha. Simple. Saya taruh martabak telur di lidah atau di hati? Hati? Mantan aja bisa dilupakan by the time, katanya?

Oleh sebab itulah, saya mampu tertawa saat membaca argumentasi di sebuah artikel Psychology Today hari ini yang menurut saya sangat sepihak dan mungkin … lebih tepatnya memang sangat kasuistik dan personal dari seorang personal couch? Dia mencoba untuk adu argumentasi dengan seorang wanita yang mengidealisasikan hidupnya sebagai seorang ibu rumah tangga.

Personal coach yang memiliki satu anak dan satu anjing mencoba berargumen bahwa: 
  • Banyak ibu rumah tangga yang mengalami kekosongan. Mereka menghabiskan waktu di kelas-kelas yoga, pilates, kelas seni, salon, tapi mereka tidak memiliki kontribusi dalam pekerjaan. 
  • Seseorang berhak memperoleh kesenangan tapi jangan sampai tidak memiliki kontribusi. Ibu rumah tangga yang dangkal ngga ngerti itu. Mereka hanya merasa senang dengan mengambil kelas seni atau bergosip dengan teman-teman wanitanya tentang siapa saja yang berselingkuh dan itu menyenangkan. Namun, itu perbuatan yang sangat sia-sia. 
  • Ibu yang bekerja akan bertumbuh lebih baik. Anak-anak mereka juga lebih baik dari ibu yang bekerja. Ibu penuh waktu yang berpusat pada anak-anaknya seringkali bertingkah seperti ibu helikopter. Anak-anak bertumbuh tanpa terbiasa untuk mengambil resiko karena ibu mereka overprotective
  • Anak dari ibu tidak bekerja juga lebih banyak menyaksikan ibunya menghias makanan yang sangat menghabiskan waktu dan energi karena tidak banyak yang bisa ia lakukan dalam hidupnya. Sebaliknya, seorang wanita yang bekerja secara profesional dan penuh etika serta pekerjaan yang signifikan lebih bisa dibanggakan anak-anak. Mereka bahkan bisa membuat makan dengan sangat cepat. Setelah pulang sekolah anak-anak langsung menuju ke day-care (mungkin untuk melatih kemandirian-pikir saya). 
  • Banyak ibu rumah tangga yang merasa otaknya sekarang sudah menjadi lembek

Saya merasa argumentasi di atas sangat subyektif. Dan sayangnya, itu harus saya baca di Psychology Today. Kalau dibahas satu-persatu, akan menjadi sangat panjang karena menyangkut beberapa dimensi.

Singkatnya, apa sih kontribusi itu? Bahkan, anak-anak juga menjadi bagian kontribusi orang lain (ex. day-care)? Apakah saya harus berargumen pada ibu-ibu rumah tangga yang memang menikmati kelas yoga atau kelas seni setelah ia berkontribusi pada anak-anak dan suami demi kesehatan mentalnya bahwa kehidupan mereka itu sia-sia? Dan, dedikasi kepada keluarga lebih rendah nilainya daripada ikut berkontribusi pada perekonomian? Saya tidak mencoba membuat dikotomi selagi memilih keduanya juga memiliki resiko.

Apakah seorang ibu rumah tangga yang berdedikasi akan rela menghabiskan waktu untuk bergosip dan tidak bisa belajar untuk menjadi ibu yang memiliki emosi yang matang sehingga tidak perlu menjadi ibu tipe helikopter? Apakah menjadi ibu rumah tangga harus menjadi bego?

Hal-hal subyektif beginilah kadang yang membuat perang tidak penting itu terjadi. Kenapa harus memberikan penilaian yang subyektif kepada ibu rumah tangga padahal mereka banyak yang hidup berbahagia? Coba cari cermin dan sungguh berkaca, semembanggakan itukah kehidupan ibu bekerja di luar sana?

Argumentasi itu banyak kemungkinannya kenapa bisa ada. Karena, sekali lagi, wanita hidup dalam perbedaan. Tapi sayangnya, demi merasionalisasi pilihan, wanita kadang suka mengambil pendapat secara serampangan. Misalnya, apakah argumentasi dunia barat bisa begitu saja diberikan pada dunia timur? Yang bahkan, argumentasi seperti ini juga mungkin menyulut kontroversi di barat itu sendiri.

Masalah kekosongan, kemandirian emosi, dan update pengetahuan memang menjadi PR yang cukup berat bagi sebagian ibu rumah tangga. Namun saat melihat banyaknya pihak yang sangat concern dengan pendidikan perempuan, saya masih optimis persoalan itu bisa diurai. Apalagi ibu rumah tangga yang saya jumpai di Facebook (tempat main, Cyiiin) banyak yang cerdas dan kreatif.

Jujur, saya meragukan bahwa masalah kekosongan dan kemandirian emosi hanya dimiliki oleh ibu rumah tangga saja. Memangnya ibu bekerja itu bukan manusia yang memiliki berbagai dinamika? Justru saya yakin, wanita -apapun pilihan hidupnya-, dapat hidup dengan kondisi yang berbahagia dan baik-baik saja jika mereka melakukannya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. 


ARTIKEL LAIN: 
10 Mantra Wanita Cantik 
Stay at Home Mom Galau Bekerja? (Bagian 1) 
Stay at Home Mom Galau Bekerja? (Bagian 2) 
Catatan Tentang “Memilih dan Mengada” (Eksistensialisme)

5 komentar:

  1. sangat bermanfaat mbak..aku juga terkadang pingin kerja lagi..tetapi kalau melihat anak2 suka ga tega. dinikmati saja mbak.

    BalasHapus
  2. Apalagi ibu rumah tangga yang saya jumpai di Facebook (tempat main, Cyiiin) banyak yang cerdas dan kreatif. --> ini pasti salah satunya aku 😂.

    BalasHapus
  3. Mbak, aku suka tulisan ini.

    Jujur aku jengah dengan setiap tulisan yang seakan membela pilihannya dengan menjelekkan pilihan orang lain. Apalagi kalau ditulis di media yang seharusnya menyampaikan tulisan netral dan berimbang.

    Tapi, (ini pikiran negatif saya saja sih) tulisan yang mengundang pro dan kontra seperti itu memang membuat post tersebut naik. Sangat disayangkan.

    BalasHapus
  4. Meskipun aku belum jadi seorang ibu, tapi aku termasuk yang beranggapan kalau pilihan jd ibu rumah tangga atau bekerja itu adalah pilihan yang sangat personal. Setuju saama penjelasan mbak di depan bahwa setiap wanita punya kebutuhan masing-masing sehingga punya pilihan dan prioritas yang berbeda dengan wanita lain adalah hal yang sangat wajar. Sayang ya, Psychology Today bahas itu tampak sepihak banget :( But, at the end enjoy with our choice aja hehehe. Salam kenal ya mbak

    www.ernykurnia.com

    BalasHapus

Pengikut

Supporting KEB

Supporting KEB
Kumpulan Emak Blogger

Histats

Histats.com © 2005-2014 Privacy Policy - Terms Of Use - Check/do opt-out - Powered By Histats