Hi, Maks!
Apa kabar? ^^
Pagi hari tadi saya membuka Facebook, sebuah sapaan melebarkan bibir membentuk senyuman. “We’re All Smiles! Spread the joy and make someone happy today. Happy World Smile Day!”
Jadi ada Hari Tersenyum se-Dunia? Ada –hasil searching-. Dimulai tahun 1999 dan diperingati setiap hari Jumat minggu pertama bulan Oktober. Karena pagi tadi Facebook yang menyapa saya, saya langsung teringat status-status rekan-rekan wanita di friendlist: gonjang-ganjing versus-versusan, postpartum depression, moralitas anak-anak muda yang mengancam anak-anak, puji-puji terhadap para motivator yang pintar melambungkan hati seorang istri, kecemasan, kesepian, ... hingga politik. Dari yang bernada tenang penuh maksud sampai yang to the point ngamuknya. Riuh-rendah.
Selalu timbul tanya: mereka yang aktif di Facebook ini bagaimana kehidupannya di dunia nyata? Betulkah kehidupan maya hanyalah soal kebutuhan yang berhubungan dengan Internet Marketing daripada kebutuhan personal akan sebuah pergaulan? Bagaimana dengan "ia tidak banyak mendapatkan kasih sayang dari pasangan"? Atau, hidup di dunia maya lebih colorful dan seseorang bebas memilih circle yang disukai daripada bersibuk-sibuk diri untuk bersabar dengan berbagai macam karakter dan perbedaan sudut pandang? Ah, ibu-ibu di komplekku ngga asyik orangnya. Ah, tetanggaku gitu deh ... makanya aku ... bla bla bla. Padahal sih jadinya kesepian. Meskipun teman-teman di dunia maya memiliki banyak perbedaan dan tak jarang bikin berantem setidaknya ada pilihan unfollow, unfriend, atau block. Selesai urusan. Facebook somehow memanjakan orang untuk merasa nyaman dengan pikirannya sendiri.
Saya pun teringat akhirnya pada berita di sebuah koran tentang instalasi seni piano jalanan seniman Inggris, Luke Jerram, yang dimulai tahun 2008 dan berkeliling dunia. Ada puluhan piano dengan hiasan atau lukisan dari para seniman lokal yang ditempatkan di jalanan terbuka. Tujuannya selain agar akses publik pada kesenian (akses bermain piano) adalah agar setiap orang bisa tertarik untuk berhenti dan berinteraksi dengan lingkungannya, berjumpa dengan orang-orang di sekitarnya, dan saling berbagi. Misalnya, pernah di suatu tempat, sekelompok anak sekolah bergantian memainkan piano sambil bernyanyi bersama. Maka, terdengarlah lagu Adele, Hello, yang dinyanyikan dengan sangat antusias dan memancing orang untuk mendekat. Piano untuk kegembiraan hidup.
Bisakah berharap melihat kerumunan ibu-ibu nyanyi bareng dengan ekspresi santai dan bahagia, yang berusaha untuk hidup bareng dan saling melepaskan beban pikiran bukan malah nyinyir dan sibuk menasehati? Bisa. Tapi saat melihat Facebook, entah bagaimana saya berpikir masih banyak ibu-ibu yang merasa tak nyaman dengan lingkungan nyatanya dan memilih bergaul di dunia maya dan memilih teman, memilih circle di mana ia bisa bergaul sesuak hatinya. Tinggal add friend, follow, unfollow, unfriend, block. Makin jauh dengan pergaulan nyata.
Para pengguna Facebook bebas menulis apa saja di status mereka. Apa kepentingan mereka dengan status? Tentu saja, memperoleh tanggapan dari teman-temannya. Bayangkan, saat seseorang memasang status bahwa ia sedang sakit, maka satu-dua, belasan, bahkan puluhan orang akan menyampaikan empatinya. Saat seseorang pasang status bahagia, maka semua temannya akan memberi ucapan selamat dan sebagainya. Ketika seseorang menuliskan minatnya di status, orang-orang akan segera meresponnya dan membagi minta yang sama. Betapa banyak orang yang begitu mendengarkan dan memperhatikan. Bahkan, orang yang tadinya sama sekali asing bagi kita menjadi akrab melalui Facebook!
Kenapa Facebook begitu booming? Menurut analisis sederhana dari seorang ibu rumah tangga seperti saya, dengan kacamata eksistensialisme masyarakat modern cenderung sibuk dan invidualis. Masalah terbesar dari masyarakat modern ini adalah kesepian. David Riesman dalam bukunya The Lonely Crowd (dalam Koeswara, 1987), mengatakan bahwa manusia modern adalah manusia yang sepi di dalam keramaian dan kebisingan massa, yang menandai adanya kekosongan yang kian memuncak sejalan dengan pengalaman keterasingan yang sekain intens sebagai konsekuensi dari sistematisasi dan otomatisasi kerja. Nah, manusia-manusia modern ini pada kenyataannya mendapatkan kehangatan dan keramahan di dunia maya (baca: Facebook) yang nyatanya ampuh untuk mengusir rasa sepi.
Dulu, saya merasa bahwa orang-orang yang bermasalah di dunia nyata itu melarikan diri ke dalam dunia maya karena gagal melakukan coping stress, yakni sebuah usaha untuk menanggulangi permasalahan yang membuatnya tertekan baik secara internal maupun eksternal. Namun, ketika saya berdiskusi dengan salah satu teman saya di dunia maya, saya malah mendapati fakta lain tentang coping behavior ini. Sejatinya, coping behavior sendiri adalah usaha individu dalam melakukan interaksi dengan sekitarnya untuk menyelesaikan suatu masalah masalah. Nah, "interaksi dengan sekitarnya" itu tentu saja bertujuan untuk membuka kemungkinan-kemungkinan baru, membuka wawasan baru tentang bagaimana ia mampu mengatasi masalahnya.
Lebih jauh, saya berpikir bahwa pada dasarnya manusia memiliki kebebasan dalam berkehendak dan memilih. Manusia bebas membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang bisa ia usahakan baik di dunia nyata maupun dunia maya untuk mengatasi semua permasalahannya. Kenapa mesti dikotak-kotak? Sebuah contoh sederhana: ketika saya sempat merasa "jenuh" menjadi stay-at-home-bunda yang tidak memiliki banyak kenalan di dunia nyata saya yang baru (baru pindah tempat tinggal) dan juga terputus dengan dunia maya saya yang dulu. Seolah tak berdaya. Saya merasa mendapat "udara" ketika menemukan jejaring Facebook dan kembali berinteraksi dengan banyak orang. Walau hanya dunia maya.
Saat itu, saya begitu terlena dengan perhatian-perhatian yang hangat dan empatik dari teman-teman yang tidak saya dapatkan dari dunia nyata. Namun, seiring perkembangan aktifitas saya di Facebook dengan bertemunya saya dengan sekumpulan ibu-ibu rumah tangga dan komunitas penulis, saya justru menganggap jejaring ini adalah peluang pegembangan diri. Pikiran saya tidak lagi terpusat tentang bagaimana saya bisa memperoleh begitu banyak perhatian dan empati. Facebook hanya sebuah sarana dan ini adalah bagian dari perkembangan jaman.
Demikianlah, malam ini saya menutup hari dengan sebuah senyuman bahwa Facebook telah mengingatkan saya untuk tersenyum di World Smile Day. Facebook tidak pernah menyuruh saya untuk menyalahgunakan teknologi. Apalagi sekedar sebagai tempat pelarian lalu lupa diri untuk menyelesaikan persoalan hidup yang sesungguhnya hanya karena fokus pada perhatian yang ditawarkan teman-teman di friendlist. Saya hanya bisa tersenyum saat saya bisa berdamai dengan masalah yang ada, bukan dengan Facebook-an.
berbagilah halyang positif di fb bukan hal yg negatif atau hal yg bisa bikin debat panjang. Bikin semau bisa tersenyum bahagia karena status kita
BalasHapusBaru tahu ada hari tersenyum sedunia. Aku kurang update ya.
BalasHapusmenurutku fb memang tempat berbagi, terserah apa yang bisa kita bagi, baik kebaikan atau yang lainnya.
*senyum* :)
BalasHapus