Minggu, 16 Oktober 2016

Relationship: Bertahan atau Move On


wallpaperfolder.com


Hi, apa kabar? ^^

Cinta. Sebuah kata yang sangat kompleks. Saya sendiri bukan praktisi XD Di telinga saya praktisi cinta itu konotasinya negatif. Kesannya kayak pedagang yang melalui trial and error berusaha meraih keuntungan. Menguntungkan, ambil. Merugikan, ganti.

Sejujurnya saya tidak pernah pacaran. Saya mencari jodoh dengan alasan-alasan yang sangat rasional karena dulu saya sangat yakin bahwa cinta adalah sesuatu yang bisa diupayakan. Gimana, sih, cinta dengan alasan yang rasional itu? Ya misalnya saja: karena dia bebet-bibit-bobot-nya oke, karena dia sholeh dan kelihatannya sangat tangguh, karena dia ganteng dan kaya, karena dia intelek, karena dia jujur dan sederhana, karena dia punya jabatan, karena dia tidak pemalu dan sangat bertanggung jawab, dll. yang intinya sangat terukur dan bisa diperhitungkan bagaimana kira-kira jika kita menjalani hidup  bersamanya.

Mungkin jika tiba-tiba Tuhan kasih saya cinta dengan alasan emosional (tanpa sebab, tanpa alasan, tanpa campur tangan otak yang menimbang untung-rugi), saya bisa menjadi terkapar tak berdaya XD Untuk kemudian berpikir bahwa otak saya masih punya saringan. Dengan banyaknya pelajaran mengenai kehidupan percintaan orang-orang yang mampir ke saya, yang tentu saja sudah dibingkai dengan pernikahan yang mulia, alasan emosional maupun rasional ujungnya adalah: tanggung jawab. Apalagi jika anak-anak sudah hadir dalam pernikahan tersebut.

Dari banyaknya cerita-cerita pernikahan yang saya tampung, cara seseorang mencintai pasangannya ternyata memiliki hubungan dengan bagaimana kemampuan seseorang dalam membentuk hubungan yang stabil mulai dari bayi: bonding, rasa aman, rasa dicintai, dll. Seorang diri yang kokoh yang relatif puas dengan dirinya sendiri akan memiliki kepercayaan diri sebagai bentuk dari kesadaran mental seseorang bahwa mencintai orang lain bukanlah karena sebuah kebutuhan untuk mengisi yang kosong dalam dirinya. Tapi, mencintai orang lain karena cinta itu sendiri, kebutuhan untuk berbagi dan hidup bersama.

Alih-alih melakukan instropeksi, dia selalu saja merasa menjadi orang yang tidak dicintai, orang yang penuh kecemasan dalam pernikahan. Orang yang mengobyekkan dirinya dalam kehidupan pernikahan daripada mencoba menjadi subyek yang aktif untuk mempertahankan perasaan indah yang pernah ada.

Ambil contoh: Tuhan mungkin telah menganugerahkan cinta pada seseorang. Tanpa sebab tanpa alasan yang jelas. Emosional. Candu. Dll. Di mana orang itu pun memikirkan sebuah pernikahan suci untuk mengekspresikan kasih sayang (baik fisik maupun batin), perhatian, kenyamanan, kelembutan, kesenangan, dan bahkan harta. Sampai di sini, terdengar indah. Tapi sayangnya, riwayat masa kecilnya tidak membuatnya mampu menjadi percaya diri untuk mampu mencintai seseorang. Rasa tidak aman, kecemasan, dll. yang bisa menggoyahkan impian indah pernikahan. Menuntut pasangan menjadi seperti apa yang dia mau.

Jadi, alasan apapun sebuah pernikahan, ujungnya tetap: tanggung jawab. Saya sering mendapat cerita kehidupan pasutri yang hambar, datar, atau bahkan meledak-ledak saking tidak nyamannya. Tapi bagaimana cara mereka berpikir tentang “tanggung jawab” menjaga hubungan ini? Macam-macam. Aku sudah lelah, kita pisah saja. -mudah menyerah- Ya sudahlah, biarlah aku jalani saja. -menceburkan diri dalam rutinitas dan kehidupan yang serba pasrah- Apa boleh buat? –datar- Mari kita bersama-sama hidup di neraka. –brutal lalu main cinta di belakang- Dll. Dll. Habis bagaimana? Sulit memikirkan banyak pilihan kalau sudah ada anak.

Apapun yang diputuskan oleh pelaku pernikahan, itu adalah bentuk “tanggung jawab” mereka. Bahagia atau tidak bahagia adalah sebuah kisah seribu satu malam. Yang penting “saya selamat”, “saya ingin waras”, dll. Begitukah?

Saya iseng mengikuti sebuah tes cinta di Psychology Today (dalam Bahasa Inggris). Sekedar ingin tahu, apa sih yang akan mereka katakan saat saya mengisi skor rendah (jawaban yang saya kasih telah saya perkirakan akan menghasilkan skor rendah) dalam sebuah pernikahan?

Baiklah, skor ngaco yang saya hasilkan adalah 33 (skala 100). Apa yang saya dapat?

Pengujian menunjukkan bahwa Anda mungkin kurang percaya diri dalam hubungan Anda. Anda melihat pernikahan Anda tidak stabil dan bisa runtuh kapan saja tanpa peringatan. Anda tidak yakin apakah hubungan Anda cukup kuat untuk mampu melewati badai dalam pernikahan yang umum terjadi. Mungkin ini adalah refleksi dari hubungan itu sendiri atau masalah pribadi Anda. Jika Anda merasa bahwa kondisi ini murni karena hubungan Anda, maka Anda harus berbicara serius dengan pasangan. Bicarakan baik-baik apa yang menjadi perhatian Anda dalam buruknya hubungan ini tanpa menyulut kemarahan dan cobalah untuk menemukan kekuatan yang bisa dibangun untuk mempertahanan hubungan ini. Namun jika Anda memiliki kecenderungan untuk menanyakan semua hubungan Anda, maka ada baiknya merenungkan kondisi yang selalu merasa tidak aman. Akar keraguan dalam mencintai seseorang kadang-kadang berasal dari ketidakpercayaan pada diri sendiri. Cobalah untuk melakukan pencarian jiwa karena jiwa yang mampu menghargai diri sendiri akan memiliki banyak kesempatan untuk mekar bersama pasangan.

Hasilnya: renungan ke luar dan ke dalam. Anda bisa melakukan tesnya di sini. Bukan bermaksud menggurui, jika hasilnya memang bukan dari diri kita namun dari hubungan itu sendiri, maka segala perhatian kita pada bagaimana cara memilih referensi (nasehat, bacaan, dll.) juga akan sangat berpengaruh pada akhir dari hubungan kita. Coba perhatikan lingkaran merah, hijau, dan kuning di foto berikut ini.





Jika dalam posisi retak, saya tentu akan menyarankan untuk menenangkan diri sebentar. Ibarat komputer yang bermasalah saat saya sedang mengetik, saya tentu punya opsi “turn off” atau “restart”. Saya berpikir mengenai kata apa yang harus saya klik kiri :D Kalau sudah begitu, saya mungkin akan mencari referensi terbaik dengan mendengar atau membaca tema-tema yang ada di lingkaran hijau daripada merah atau kuning. Bukan berarti tema yang berada di di lingkaran merah atau kuning itu keliru. Melainkan, aplikatif ngga dalam persoalan ini? Konteksnya apa? Masa iya kalau sudah terjadi pernikahan kita akan melambungkan otak untuk berpikir “seharusnya”, “seandainya”, dll. Apalagi yang mengawali pernikahan dengan alasan emosional: cinta. Anda pernah mencintainya, bukan? Sudahkah mencoba mempertahankannya?

Jika kita memang sudah beribu kali mencoba untuk mempertahankannya, ya … itu pilihan kita. Bahkan, keberanian untuk mengakui apakah kita bahagia atau tidak dalam pernikahan setara dengan keberanian untuk mengakui bahwa kita sudah berusaha mempertahankannya atau belum. Butuh keberanian untuk hidup dengan nyata. Kita bukan Wendy dan Peter Pan dari Neverland, bukan? Kalau memang bisa bertahan, bertahanlah. Kalau memang harus move on, pergilah dan kuatkan dirimu.

Love you all ^^

2 komentar:

  1. Berarti jangan kayak mbak isyana yang bilang: Bila memang harus berpisah, Aku akan tetap setia

    :D

    BalasHapus

Pengikut

Supporting KEB

Supporting KEB
Kumpulan Emak Blogger

Histats

Histats.com © 2005-2014 Privacy Policy - Terms Of Use - Check/do opt-out - Powered By Histats