Hi, Maks!
Apa kabar? ^^
Anak saya yang nomor dua itu memang aktif luar biasa dan sangat ceria. Dia tipe kinestetik gitu deh dan usil. Tapi tidak agresif ya kecuali dalam rangka defense.
![]() |
when he was a baby :* |
Saya sering mendapat laporan tentang “kebandelan” dia dari guru kelasnya saat sekarang dia duduk di sekolah dasar. Hal ini berbeda saat dia duduk di taman kanak-kanak. Saya juga menyadari guru-guru Haedar sekarang juga masih muda-muda dan baru mengajar kalau yang di taman kanak-kanak itu anaknya sudah besar-besar.
Saya selalu berusaha memahami keluhan guru Haedar karena memang anak saya aktif luar biasa. Saya juga merespon keluhan itu untuk menjadi bahan diskusi di rumah dengan Haedar bahwa, “Le, Bunda harus memberitahumu bahwa Bunda akan ada dalam prosesmu bertumbuh. Sampai kamu siap dan mengerti betul apa itu “benar” dan “salah”. Selama itu pula Bunda akan selalu mengajakmu bicara. Semoga kamu tidak bosan.”
Jadi, suatu hari saya mendapat laporan bahwa Haedar “menularkan” temannya sebuah lagu yang mengandung unsur pornografi “sosis-telur-susu” sambil memegang bagian-bagian tertentu tubuh. Ortu teman Haedar melapor. Saya kaget. Luar biasa.
Saya bukannya lupa. Lagu itu diperoleh Haedar saat duduk di taman kanak-kanak dan waktu itu juga sama, saya melapor sama gurunya. Reaksi saya waktu itu? Kaget, kecewa, kesal karena selera “kampungan” ini kenapa harus ditularkan pada anak saya? Saya mendampingi anak saya 24 jam dan anak-anak tidak menonton televisi maupun bebas memegang gadget. Mereka memiliki jadwal bermain game dan hanya bebas mengakses komputer tanpa koneksi internet. Mereka bermain lego, menggambar, bermain peran, dll. Kok bisa harus “tercemar” dari luar segala jerih payah saya? Tapi saya berpikir: bisakah saya selalu membuat lingkungan anak saya menjadi steril? Jika steril, di mana anak saya akan berproses mengerti sebuah nilai? Belajar “salah” dan “benar”?
Langkah saya waktu itu adalah: oke, anak saya sudah tercemar. Untuk itulah saya ada. Mendampingi dia mengerti nilai. Saya tidak bisa serta merta menyalahkan lingkungan yang saya nggak paham apakah ortu teman-teman Haedar itu juga tertarik dengan isu parenting dan mengamalkannya? Atau, "bodo amat" dengan alasan malas, kerja, repot, sibuk, dll.? Itu bukan fokus saya karena saya tidak bisa mengontrol orang lain. Fokus saya adalah pendampingan terhadap anak saya. Bagaimana saya mampu membuat Haedar secara sadar memahami sebuah nilai dan bukan memaksanya dengan sebuah ancaman yang penting dia tidak lagi menyanyi lagu itu. Butuh proses.
Sebenarnya relatif lama lagu itu sudah tidak dinyanyikan Haedar sejak "kita berbicara" dan sekarang muncul lagi. Tandanya, saya memiliki PR kembali. Saya katakan kepada guru Haedar bahwa saya sangat apresiatif dengan laporannya dan mohon untuk tidak menjadi stigma buruk pada Haedar karena saya akan menyelesaikan masalah ini di rumah. Sebagai sarjana psikologi, yang saya khawatirkan bukan perkembangan Haedar itu sendiri karena saya insyaAllah dalam track parenting dan memantau tugas-tugas perkembangan yang harus dilalui anak-anak saya namun justru penilaian orang dewasalah yang akan mengganggu perkembangan anak-anak. “Oh, Haedar yang itu ya?”, “Oh, yang bandel itu ya?”, “Oh ...”, bla bla bla.
Senada dengan artikel dari Peggy Drexler Ph.D –seorang psikolog dan menulis untuk Psychology Today- yang saya baca setelah proses diskusi saya dengan guru Haedar, jika ada anak-anak yang tidak berperilaku sesuai yang diinginkan orang dewasa, maka akan ada pertanyaan: apakah anak itu tidak dididik dengan baik?
Selalu ada kecenderungan untuk menyalahkan orang tua mengenai perilaku anak-anak. Padahal, anak tumbuh dan berkembang dengan banyak pengaruh. Namun karena orang tua menjadi saling menilai tanpa asalan yang jelas, maka para orang tua sibuk “mendidik anaknya” dengan berbagai cara yang penting “tidak menjadi bahan gunjingan”. Akhirnya anak diperlakukan semaunya. Yang penting nurut, urusan selesai, dan tidak harus mendengar cacian “ibu macam apa dia?”
Seorang ibu menjadi demikian cemas terhadap perilaku buruk anaknya dan menjadi lapang jika seorang anak bisa berprestasi karena hasilnya adalah pujian. Ini yang membuat kadang anak-anak tidak mendapatkan pilihan dari orangtuanya: Bunda sudah berpengalaman, kamu tuh harusnya begini-begitu. Mendapat pelajaran tentang mengenal sebuah nilai “baik” dan “buruk” tidak dengan kesadaran tapi dengan kalimat “itu salah dan ini benar”. Kita sudah menyeret anak pada standar kita sebagai orang tua. “Nah, jangan kayak si A, dia anak ngga baik.”
Saya tentu berharap Haedar tidak mendengar kalimat semacam itu yang bisa memengaruhi konsep diri dia. Dan kalaupun dia harus mendengar kalimat semacam itu, ada saya. Selalu ada saya yang akan mendampingi dia. Saya adalah ibunya yang tidak ingin mematikan keceriaannya dan kreatifitasnya hanya karena saya khawatir mendengar gunjingan, “Apakah Haedar tidak dididik dengan baik di rumah?” Saya menyadari bahwa saya hanya harus mengenalkan nilai “benar’ dan “salah” yang akan selalu berkembang sesuai proses kognitifnya. Maklum anak umur 6th seperti Haedar masih dalam tahap Pra-Operasional di mana proses berpikirnya masih rendah sekali. Jangankan mengerti sbeuah nilai, mereka akan bertingkah laku sesuai dengan persepsi dia sendiri. Di sini posisi saya untuk menjadi perisai buat anak-anak sekaligus menjadi pendorong agar mereka tidak takut mengembangkan dunianya.
Sebagai ibu, saya akan memberi ruang bagi anak-anak untuk berkembang dengan sebuah kontrol. Kontrol itu bukan untuk mengekang tapi untuk mengarahkan perilaku hingga mereka bisa membuat keputusan untuk berperilaku dengan cara mengeksplorasi dunianya. Kelak mereka akan menemukan ide tentang diri mereka sendiri yang bisa membuat sebuah kepribadian menjadi utuh. Tentu saja ini tidak mudah. Bukan sekedar mengatakan, “Anak ibu begini.” Lalu, “Oke, saya akan buat dia tidak begitu.”
Semua butuh proses. Anak saya sedang bertumbuh. Ada saat anak-anak saya membuat sebuah kesalahan yang bahkan tidak jarang membuat saya malu. Malu, kecewa, kaget, dll. Tapi, lupakah ada saat mereka membuat saya tersenyum senang dan bangga? Bahkan, yang terakhir ini lebih sering? Meskipun pencapaian itu kecil sekali, seperti bagaimana dia bisa mengucap “terima kasih” setelah dibagi kue, dia mau membersihkan tempat tidur, menaruh piring kotor bekas makannya ke bak cuci, dll.
![]() |
Haedar bisa membereskan ranjang ^^ |
Menjadi panik, tentu bukanlah pilihan. Mendampingi perkembangan anak dengan semangat parenting adalah kewajiban saya. Saya tidak memilih sibuk lalu mengorbankan anak dengan jalan pintas karena waktu saya terbatas. Atau, saya menyalahkan orang lain atas lingkungan yang tidak steril. Betapun saya kecewa Haedar membawa pulang kata-kata “budeg”, “tikus kolong”, “ogah’, “bego”, dll. yah ... demikianlah dunia. Nilailah yang menjaga kita. Itu sebabnya kecerdasan dalam psikologi sebenarnya adalah tentang adaptasi. Saya tidak mau menjadi hakim untuk anak saya maupun anak orang lain. Namun, tentu menjadi PR bersama jika seorang anak terlalu diabaikan orang tuanya dan lalu menjadi sumber masalah bagi lingkungannya. Dan tentang Haedar, dia memang selalu menjadi PR saya. Bukan hanya dia, tapi juga kakak dan adiknya. Asal saya di track yang benar, saya tak perlu panik. Anak-anak akan selalu berbuat salah dan benar secara alami sampai mereka mengenal nilai. Saya akan ada bersama mereka. Selalu.
![]() |
Haedar suka mencium bunda hingga meleleh :') |
![]() |
damai ketika tidur :* |
![]() |
Anak-anak adalah tanggung jawab orang tua ^^ |
Baban juga aktif luar biasa, baru 3,5 tahun 2 playgroup dan PAUD blm sanggup handel Babam, jd Babam dirumah dulu, ia juga terlambat bicara, kekecewaan pasti muncul dikala teman-teman seusianya sdh bisa bercerita, kala ke paikolog n terapis juga kinestetiknya yg menonjol. tetap semangat mendampingi anak2 ya mak...
BalasHapusSiaaap. Thanks for sharng, Buuun
Hapushup hup,,, setuju banget yg penting itu soal hati kita sebagai ortu dulu ya mba yang mesti dipastiin ga tercemar.. saya lagi belajar banyak nih mba tentang parenting.. semoga bisa mengawal tumbuh kembang krucils.
BalasHapusYup. Setuju, Mbak. Ortu sebisa mungkin obyektif (tidak tercemar) dalam memandang segala sesuatu ^^
Hapusahhh meleleh bacanya..tisu..mana tisu... ? mendampingi anak melewati masa-masa perkembangannya memang selalu bikin dag dig dug...akupun begitu mak haedar :D
BalasHapusMasalah lagu "sosis-burger-susu" itu aku pun mendenarnya dirumah hihihii kaget luar biasa...yang bikin kaget bukan lirik lagunya sebenarnya tapi gerakan yang menunjuk pada bagian tubuh itu hahaha.... takut akhirnya jadi penyimpangan arti...:P
Tapi ya...namanya anak-anak toh...nggak ngerti mana "bener" mana "salah" disitulah kita hadir sebagai "emak"
Semangat emak Haedar :D
Betul, Umiiiiiiii. Itu untungnya Haedar ngga bawa pulang goyang dumang sama sambalado hahahaha Soalnya teman-temannya kadang aku dengar suka nyanyi itu.
Hapus