Kamis, 13 Oktober 2016

Parenting: Kemandirian Emosi


Emotion and Art
royalsolace.tk


Hi, Maks! 
Apa kabar? ^^

Cinta pada anak-anak memang nagih. Saya diam-diam merenung. Apakah karena saya mencintai mereka, saya akan membuat mereka memiliki ketergantungan emosional dengan saya? Ketergantungan emosional yang saya kokohkan karena saya sendiri juga menikmatinya?

Saya termasuk orang yang konsisten mendidik anak agar mandiri secara emosi. Saya tidak ingin kebahagiaan, kesedihan, kekecewaan, kemarahan, dll. anak-anak tergantung dengan saya. Misalnya, jika saya sedang pergi beberapa hari, anak-anak akan sedih luar biasa dan kehidupannya terganggu. Saya tidak bisa mengantar atau menjemput sekolah, anak-anak akan marah karena harus saya yang mengantarnya. Sebaliknya, saya akan sedih dan stress luar biasa sampai sakit saat anak-anak memiliki acara sekolah yang harus menginap beberapa hari. Tentu ini tidak sehat.

Untuk itulah, saya berusaha mendidik anak-anak untuk bisa hidup mandiri dan tidak mendramatisir keadaan yang kadang keluar dengan emosi yang tidak terkontrol. Jatuh? Mereka nangis, lari ke saya. Saya tidak serta merta memeluk atau berteriak panik. Sekiranya hanya jatuh biasa, saya hanya akan berkata, “Ayo, bangkit, Nak. It’s okay.” Anak kesusahan membuka penutup makanan dan menyodorkannya pada saya, langsung saya bilang, “Coba lagi sampai bisa.” Mereka datang pada saya dengan sedih-sedih manja menceritakan kenakalan temannya, saya pasti bilang yang intinya, “Kalau kamu punya masalah terus sama temanmu, coba kamu pikirkan dulu kira-kira apa yang membuatmu harus berteman dengan dia? Kamu beneran mau temanan sama dia? Kalau kamu mau temenan, coba cari hal baiknya. Kalau tidak ada, cari teman lain.” Nangis dan teriak ke saya untuk ambil makanan? “Hai, Nak, apa yang kamu tangisi? Kamu bisa ambil itu dengan menangis?” Dsb. Dll. Etc. Bergantung usia dan tingkat kesulitan.

Menumbuhkan kemandirian emosi tentu diiringi dengan berbagi emosi. Anak jatuh, sakit berdarah-darah. Saya langsung peluk, biarkan dia menangis. Dia marah karena saya memarahinya berlebihan, saya biarkan dia meluapkannya dan lalu mendatanginya untuk minta maaf dan sekedar meminta pelukan. Dia menceritakan perbuatan tak enak temannya, saya dengarkan dan mencoba mengukur kesungguhan serta menawarkan nasehat. Mereka sakit, saya ada untuk mendekap dan merawat. Begitulah.

Anak sulung saya yang berumur 8 tahun (Hasna) sudah menampakkan kemandiriannya. Dia sudah mulai bisa mengontrol emosinya dan terlihat easygoing. Dia mandiri dan relatif tidak menggantungkan kebahagiaan, kesedihan, kekecewaan, kemarahan, dll. pada saya, orang-orang di sekitarnya, maupun teman-temannya. Dia main sendiri, oke. Main sama teman, oke. Anak saya yang berumur 6 tahun dan 4 tahun masih memerlukan banyak pendampingan. Terutama yang laki-laki (6th). Untuk referensi apakah perempuan memiliki kecerdasaran emosi yang lebih baik dari laki-laki bisa baca artikel di Psychology Today ini.

Sebenarnya apa sih pentingnya anak-anak saya untuk mandiri secara emosional? Ya, agar mereka bisa melakukan adaptasi dengan segala keadaan. Terutama saat mereka kelak harus hidup mandiri. Anak perempuan terutama, biasanya kan suka terjebak pada permainan emosi yang ngga penting xixixixixixi Mudah-mudahan anak-anak perempuan saya bisa lebih rasional dan bergerak maju dengan fokus-fokus hidup yang lebih penting. Memenej emosi. Bisa? Bisa: dengan usaha dan doa. Baca The Truth About Women and Rivalry (Tripping the Prom Queen, Susan Shapiro Barash) tentang “kompetisi” di kalangan wanita membuat saya positif harus membuat anak-anak memiliki kemandirian emosional :v :v :v Saya langsung teringat debat versus-versusan atau saling mencoretkan gincu di balik selimut beludru *yang jadi perempuan mungkin paham rasanya hidup kayak gitu tuh nguras emosi bingit*

Eh ... nulis ngalir begini ... saya juga mikir, jika saya mengajarkan kemandirian emosional untuk anak-anak agar mereka bisa lebih struggle jika berjauhan dengan saya, apakah saya tidak butuh belajar juga? Tiba-tiba ... kebayang mereka pada pergi dari rumah mencari kehidupan versi mereka. Rumah kosong, lengang, ... bahagiakah saya? Sedihkah saya? Apakah saya harus “merantai” kaki-kaki mereka agar tidak pernah jauh dari saya supaya saya tidak sedih? Yakinkah saya apabila saya bahagia dengan keberadaan mereka di samping saya juga akan membuat hidup mereka bahagia? Dan kalau saya mati kelak mereka bahkan tidak bisa melanjutkan hidupnya?

Semua pertanyaan yang berusaha merantai-melepas anak-anak terus saja penuh di kepala. Dan saya pikir tak seharusnya saya menumbuhkan kemandirian emosional anak dengan keegoisan saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Supporting KEB

Supporting KEB
Kumpulan Emak Blogger

Histats

Histats.com © 2005-2014 Privacy Policy - Terms Of Use - Check/do opt-out - Powered By Histats