Senin, 17 Oktober 2016

Parenting: Mental dan Spiritualitas Seorang Ibu


copyright Katie m. Berggren


Hai, apa kabar? ^^

Suatu hari saat saya bepergian ke luar rumah, saya bertemu dengan seorang perempuan lanjut usia yang sama-sama menunggu Commuter Line. Kami duduk sebangku. Kulitnya penuh keriput dengan rambut yang memutih seutuhnya. Dia terlihat sangat gesit dan sopan saat berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. Dia mengucapkan “maaf” saat harus menikmati makanan yang dibawanya sendirian. Tak sukar bagi saya untuk terlibat sebuah obrolan dengannya. Meskipun saya cenderung sangat individual tapi saya bukan anti-sosial. Oma, panggilan saya terhadapnya, berumur 74 tahun. Wow. Luar biasa. Saya yang berumur tigapuluhan ini kadang tidak berani membayangkan akan segesit itu di saat berumur tujuhpuluhan dengan gaya hidup yang saya jalani :D Ya Allah, sadarkan hamba XD

Commuter yang akan mengantar kami ke Depok dari Jakarta pada jam-jam tanggung menjelang siang biasanya memang lama datangnya. Saya dan oma pun mengobrol banyak sekali. Saya merasa oma yang berada di depan saya ini cenderung superior dan dominan. Terlihat bagaimana dia selalu mengambil alih semua pembicaraan dan mencoba membuat saya menyetujui semua pendapatnya. Sebagai orang yang lebih muda, saya cenderung mengalah dan mendengarkan.

Oma memiliki 11 anak yang tersebar di seluruh Indonesia. Hal yang kemudian saya tanyakan adalah kemungkinan dia mengikuti atau tinggal di rumah anak-anaknya secara bergantian. Saya tercenung oleh jawaban oma yang ternyata berbeda dengan alasan orang tua yang tidak mau tinggal dengan anaknya yang biasa saya dengarkan. Biasanya mereka akan beralasan, “Sebaik-baiknya rumah anak, lebih enak tinggal di rumah sendiri.” Alasan itu interpretasinya banyak. Namun, oma dengan jelas mengatakan alasannya. “Saya membesarkan 11 anak. Kemudian, mereka menikah. Ada 22 karakter yang harus saya temui. Ada saat karakter kita tidak bisa bertemu dan itu tentu akan menimbulkan ketidaknyamanan. Saya akan mengunjungi mereka tapi tidak untuk selalu membuat penyesuaian diri yang sangat melelahkan. Saya sudah tua. Mereka masih muda. Saya tidak mau mengganggu cara mereka hidup dan membentuk peraturan dalam rumah tangganya yang itu bukan rumah tangga saya.”

Oke. Mutlak, saya tersentuh. Saya secara reflek membayangkan seorang tua yang memiliki karakter dominan superior tentu tidak akan merasa nyaman jika “harus melihat saja” apa yang dibuat oleh anak-anaknya, apalagi anak menantunya yang bagaimana pun bukan darah dagingnya. Mengendalikan. Mengontrol. Mungkin, mungkin oma pernah merasa lelah dengan perasaan itu.


| ARTIKEL LAIN | Poligami Nasi Padang 


Apa yang membuat hati saya tersentuh? Kesadaran oma untuk mengalah. “Mengalah” ini bukan sebuah kelemahan namun justru menurut saya adalah sebuah keberanian yang luar biasa. Mengalah untuk menjadi pemenang. Menang dalam menundukkan diri sendiri. Karena saya membayangkan sebagai seorang ibu, dia memiliki hak atas anak-anaknya. Terutama anak laki-lakinya. Inilah ajaran dalam agama saya, Islam. Tapi dia tidak ingin lakukan itu. Dia yang merawat 11 anaknya dengan susah payah. Barangkali justru sifat superiornya menguat karena harus struggle membesarkan mereka semua. Dia memimpin semua anak-anaknya itu hingga ke gerbang kesuksesan.

Di dunia ini, seorang ibu yang bisa “melepas” anak-anaknya menurut saya adalah sosok yang luar biasa. Mereka menyadari bahwa anak-anak sekedar titipan yang akan melanjutkan peradaban manusia. Anak-anak sesungguhnya adalah calon manusia utuh itu sendiri, bukan properti ibunya yang merasa telah mengandung dan seenaknya diakui sebagai hak milik. Apalagi alasan-alasan “investasi” yang sebenarnya hanya menguntungkan bagi orang tua, bukan diri anak itu sendiri.

Menjadi seorang ibu adalah hal yang tidak mudah. Apalagi saat mereka sendiri sesungguhnya memiliki kompleksitas emosi akibat pengalaman di masa lalu. Pengalaman-pengalaman emosional ini terkadang membuat seorang ibu tidak memiliki kontrol ideal terhadap anak-anak. Over protective karena terlalu cemas, mengendalikan karena perasaan superior, menyiakan anak karena kemarahan yang tak pernah jelas, dll. Semua hal-hal yang bisa membuat anak-anak menjadi stress dan semakin mengembangkan pola komunikasi yang rumit dengan sosok ibunya. Salah satu contoh kasusnya bisa dibaca di Psychology Today ini.

Sebagai seorang ibu, saya ingin belajar untuk memandang anak-anak secara obyektif. Itu nyatanya tidak mudah. Saya bahkan sudah membayangkan bagaimana orang yang pantas kelak menemani hidup anak-anak saya. Padahal, bagaimana anak saya besar saja saya belum tahu :v Tapi memang benar, saya dan anak saya hanya memiliki ikatan darah dan segepok hak-kewajiban yang diatur dengan norma atau agama. Namun, kami tetap manusia yang berbeda yang memiliki takdir masing-masing.

Lalu, bagaimana caranya agar saya bisa mencapai tahap memahami bahwa hidup saya dan anak saya itu berbeda kelak? Bagi saya mudah, meski penerapannya tidak mudah. Yakni, karena hidup kami memang berbeda, maka nyata kami memiliki dua kehidupan. Itu adalah premis. Nah, apakah saya hanya akan berkonsentrasi dengan kehidupan anak-anak saja? Lalu kehilangan dunia saya dan menganggap bahwa dunia anak-anak adalah dunia saya? Dua jiwa dalam satu dunia? Itu bukan premis yang saya pegang. Ketergantungan hanya akan memicu hal-hal posesif yang merugikan kedua belah pihak.

Saya memiliki dunia yang juga harus saya kembangkan. Bagaimana? Bukankah sudah repot dengan anak-anak? Iya, tentu. Saya terus belajar untuk membuat prioritas dan memenej semua kekurangan dan kelebihan. Saya tetap melakukan hobi, mencari kegiatan yang bisa bersinergi dengan anak-anak yang saat ini menjadi fokus saya. Saya ingin mental saya sehat. Saya ingin kami bertumbuh bersama dengan kondisi yang sehat. Saya terus … ter … us belajar untuk semua ini. Begitu tidak mudahnya …. Namun, saya ingin kelak anak-anak menghargai dan menyayangi saya seutuhnya saat saya “membebaskan” mereka. Tanpa syarat. Selama saya mengajarkan kesalihan pada mereka, saya rasa cahaya Allah akan terus menerangi hati anak-anak saya untuk tidak lupa “pulang” pada saya. Tanpa paksaan. Tanpa syarat. Duh, mata saya kok rembes ya :')


| ARTIKEL LAIN | Mubadzir
 

Kembali pada oma tadi. Saat saya merasa kebesaran hatinyalah yang membuat ia bisa segesit dan sesehat ini di usia senjanya, iseng saya bertanya, “Apakah karena pikiran yang tenang yang membuat oma merasa selalu sehat?”

“Oh, nggak. Saya melakukan banyak hal dalam kehidupan. Baik dan buruk. Kalau saya sehat sampai sekarang itu alasannya cuma satu, tdak ada yang lain. Ini anugerah dari Tuhan.”

Speechless. Allah mengirim seseorang pada saya untuk menyaksikan bagaimana kekuatan mental dan spiritual membuat seseorang bisa nampak begitu cantik. Bahkan di usia senjanya ... 

Love you all ....
 

6 komentar:

  1. Melepas anak, duh...
    aku baru 2 tahun jadi ibu, blm bisa membayangkan gimana rasanya melepas anakkkk, wong semalam tidur tanpa anak saja saya belum pernah...

    BalasHapus
  2. Duh mewek deh😂 habis gimana... sampai srkarang masih merasa bahwa anak2 adalah separuh hidup.. separuh jiwa saya. Tapi bagaimanapun mang harus belajar utk bisa melepaskan sih... seperti juga dulu ortu kita melepaskan kita. Huuhuu... *mewek lagi*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya ya, Bun ... Dulu pun kayaknya kita ingin orang tua membebaskan kita untuk merah cita-cita ^^

      Hapus
  3. Jadi ingat Mbah, usianya 84 tahun, anaknya juga 11 orang. Mbah lanang meninggal saat anak yang paling kecil belum lagi masuk sekolah. Berjuang sendiri dalam membesarkan anak-anaknya. Alhamdulillah sampai sekarang masih sehat, udah punya banyak cicit. Tinggal di rumah sendiri, nggak ngikut salah satu anak, alasannya yah “Sebaik-baiknya rumah anak, lebih enak tinggal di rumah sendiri.” Banyak pelajaran tentang "melepaskan" yang saya dapatkan darinya. Termasuk saat menemaninya memandikan jenazah anaknya (sudah meninggal 2 orang) dan salah satu cucunya yang paling dekat dengannya. Ah... banyak sekali yang bisa saya tulis tentangnya, tapi yang keluar malah air mata...

    BalasHapus
  4. Seneng banget deh baca tulisan mba yg ini karena menguatkan prinsip yg sy pegang sekarang bahwa anak2 pny kehidupan sendiri.

    Sy merasakan sendiri mba bagaimana "terkekang" oleh orang tua. Di satu sisi sy tdk mau jd anak durhaka, tp di sisi lain, sy kurang merasa jd diri sendiri. Dan dg usaha yg cukup berat untuk ikhlas menerima keadaan.

    Krn pengalaman hidup sy yg pny ibu & ibu mertua yg "terlampau sayang" inilah yg semakin membuat sy tdk mau menjadi ibu yg "terlampau sayang" jg kpd anak2 sy. Sy berusaha mendidik anak2 jd anak yg mandiri, tau apa yg dia mau serta segala konsekuensiny, dan (bener banget kata mba) kesholehan. Krn anak yg sholeh pasti ingat Alloh & ajaranNya termasuk sayang pd orang tua.
    Semoga sy bener2 bs menjalankan prinsip ini. Krn klo sisi perasaan/emosional mulai dominan, susah deh mba..hihihi

    BalasHapus

Pengikut

Supporting KEB

Supporting KEB
Kumpulan Emak Blogger

Histats

Histats.com © 2005-2014 Privacy Policy - Terms Of Use - Check/do opt-out - Powered By Histats