Rabu, 02 November 2016

Apakah Anak Saya Terpapar Pornografi?



@weknowyourdreams.com


Beberapa waktu lalu beredar di beranda saya status seorang ibu mengenai seorang anak kecil yang sedang bermain pipis-pipisan. Digambarkan seorang anak laki-laki pura-pura pipis dan menyuruh seorang anak perempuan jongkok di depannya. Saya berharap ada adegan semisalnya, si ibu tidak membuat anak-anak itu lari karena “merasa terpergok” tapi malah ngajak ngobrol: kenapa mereka melakukannya. Saya penasaran dengan jawaban sang anak. Apakah itu benar dia telah terpapar pornografi atau dia hanya melihat anak-anak laki-laki yang lebih besar lainnya yang bermain terlewat batas misalnya yang saling melihat burung dan tertawa dan itu menginspirasi dia. Atau, imajinasi anak itu memang ke mana-mana dalam mengeksplore tubuhnya.

Saya juga tidak mengetahui dengan pasti berapa usia anak-anak itu. Penulis hanya menyatakan keprihatinannya bahwa anak-anak itu sudah bisa meniru adegan seksual orang dewasa yang entah kenapa saya berpikir: itu keputusan sepihak atau memang ibu penulis status mengenal anak-anak tersebut sehari-hari sehingga yakin anak-anak tersebut sudah pernah melihat adegan persenggamaan alih-alih imajinasi mereka saja yang kebablasan dalam bercanda.

Apakah saya sedang menyalahkan ibu penulis status? Tidak. Saya ulangi, tidak. Paparan pornografi dewasa ini memang sudah sangat mengkhawatirkan. Saya tidak memungkiri bahwa bahkan di komplek perumahan pun ada anak-anak yang mulai menggerayangi tubuh anak-anak lainnya. Bisa jadi, apa yang menjadi kekhawatiran ibu penulis status itu benar, bisa jadi tidak. Saya tidak bisa memutuskan. 

Bagaimana Pendapat Saya Mengenai Adegan Itu?

Satu hal yang saya pahami. Saya tidak bisa berpikir pesimis mengenai lingkungan saya. Bahwa, semua gerakan anak-anak yang berbau seksualitas adalah hal-hal yang sudah pasti terpapar pornografi. Kalau benar karena paparan pornografi, maka harus dididik. Apa yang saya khawatirkan sebenarnya? Cara mendidik yang keliru. Bahwa, anak-anak yang melewati fase normal pun gara-gara kekhawatiran terhadap pornografi menjadikan seorang ibu tidak bisa menilai obyektif dan khawatir berlebihan.

Dalam mengatasi pengaruh lingkungan bagi anak-anak, saya tidak bisa memberikan fokus yang berlebihan pada “hal-hal menakutkan di luar sana”. Fokus saya adalah:

  • Di luar sana ada hal-hal yang merusak, ada yang baik.
  • Menyikapi hal-hal yang merusak, sejauh mana saya harus waspada? Saya perlu untuk membaca lingkungan.
  • Menjadi paranoid terhadap banyak hal mengindikasikan saya sendiri berada dalam kecemasan. Saya khawatir, saya menjadi tidak obyektif.
  • Berpikir obyektif dan tenang hanya bisa dicapai dengan pengetahuan yang tepat.
  • Saya tidak bisa bergantung pada satu figur pendidik untuk mendapatkan obyektifitas karena pengalaman masing-masing menjadikan mereka memiliki fokus tertentu. Atau, betapapun bagus figure pendidik tersebut, barangkali ilmu yang disampaikannya belum bisa mengkaver semua kebutuhan saya akan pengetahuan.

Anak-Anak Memiliki Perkembangan Seksualitas

Anak-anak memiliki perkembangan seksualitas sejak dini. Saya tidak ingin salah menilai dan menyebabkan ketakutan bagi anak-anak yang sesungguhnya hanya mengeksplorasi diri sebagai bagian dari perkembangan seksualitasnya. Ada banyak referensi yang bisa ditemukan, salah satunya adalah ulasan dari kidshealth.org mengenai Understanding Early Sexual Development yang bisa dibaca secara keseluruhan.

Saya tentu saja, juga melewati masa di mana balita saya sangat suka telanjang dan tertawa melihat kelamin mereka yang selalu tersembunyi dan tidak terekspose dan bahkan menyentuh-nyentuhnya. Waktu itu saya sempat khawatir, namun saya segera teringat bahwa seiring perkembangan emosi dan kognitif, anak-anak juga memiliki perkembangan seksual. Apa yang saya lakukan kemudian? Saya tidak memarahi ataupun menyetujui perilaku itu.

Tak berhenti di situ, saya mengajak mereka bercerita soal bagaimana laki-laki dan perempuan itu berbeda dan bagaimana agar kita bisa menjaga kemaluan. Mereka langsung memahami? Tidak. Kadang mereka melakukannya lagi dan tertawa. Saya sempat khawatir dan jatuhnya marah, “Kan Bunda sudah bilang jangan main-main dengan elephant!” –saya memang belum mengenalkan nama asli pada balita- Anak saya langsung diam.

Anak-anak saya sudah mandi sendiri saat mereka sudah bisa memegang gayung, sabun, menyalakan keran air, mengambil air, menyiapkan handuk, dengan baik dan benar. Dan, saat itu juga saya sudah memisahkan mereka agar tidak mandi bersama. Ini saya lakukan saat usia mereka sekitar umur 4 tahun. Nah, kadang mereka melanggar larangan saya ini. Jadilah saya kadang marah. Pikiran saya sudah ke mana-mana.

Apakah Reaksi Marah Itu Baik?

Saya merenung: apa sih manfaatnya kalau saya kebanyakan khawatir dan marah? Kemungkinannya adalah anak saya bisa mengembangkan perasaan malu dan perasaan bersalah. Bahkan, rasa penasaran yang tidak terjawab.

Anak-anak di usia 3 tahun mulai mengidentifikasi perbedaan sex dan gender. Pada usia 3-5 tahun, anak-anak akan mulai mengembangkan rasa yang kuat sebagai laki-laki atau perempuan dan juga penasaran dengan tubuh mereka. Tak jarang, mereka mulai menyentuh bagian-bagian tubuh yang dianggap aneh, seperti misalnya kelamin. Di usia ini anak-anak mulai mengamati bagaimana reaksi saya terhadap lawan jenis dan juga ketelanjangan. Mereka mulai bertanya-tanya tentang mengapa mereka memiliki atau tidak memiliki penis.

Ketika anak-anak saya saling menanyakan hal-hal sepert itu, saya menjawab jujur apa adanya agar mereka tidak merasa tertekan dan mereka juga mendapat jawaban yang benar untuk melepas segala rasa penasarannya. Saya menjawab secara jelas tapi tidak vulgar dan tidak menceritakan hal-hal yang rumit yang tidak perlu.

“Bunda, mengapa Eliz tidak punya elephant kayak Mas Haedar?”

“Allah menciptakan laki-laki dan perempuan, Mas. Makanya kamu beda sama Eliz. Laki-laki punya elephant, perempuan tidak.”

“Bunda, bagaimana Hasna bisa dilahirkan?”

“Bunda mengandung Hasna 9 bulan dan lalu melahirkan Hasna.”

“Lewat mana, Bun?”

“Lewat jalan lahir yang ada di bawah perut Bunda.”

“Ngga sakit, Bun???” Hasna takjub.

“Begitulah Allah memberi rahmat-Nya, Nak. Sakit sih, tapi alhamdulillah Bunda bisa. Makanya, seorang anak harus berbakti pada bundanya.”

“Hasna kira perut Bunda dibelah.”

“Ada yang begitu juga.”

Itu beberapa pertanyaan yang sering saya dengar dari anak-anak saya.

Rasa Penasaran Akan Semakin Berkembang

Nah, di kisaran usia 6-10 mereka akan memiliki rasa penasaran yang lebih tinggi. Kalau saya tidak bisa menjadi sumber rujukan yang terpercaya, mereka bisa mencarinya dengan teman-temannya atau bertanya kepada orang dewasa lainnya. Serem, dong. Kalau mereka tidak bertanya-tanya sedikit pun hal-hal yang menyerempet seksualitas, ada baiknya saya memulai dengan sedikit pancingan ringan untuk memastikan mereka di track yang benar. Apalagi jika mungkin mereka tidak sengaja melihat kucing liar melakukan aktifitas seksual, mereka pasti akan penasaran luar biasa. Masa mereka ngga akan nanya ke saya?

Di usia ini mereka juga akan menikmati atraksi-atraksi dan bahasa yang jorok yang mereka ambil dari tayangan tv, bacaan, film, teman bermain, atau bahkan perilaku orang dewasa lain atau malah orang tuanya sendiri. Duh, hati-hati benar deh. Padahal, mereka tidak tahu betul apa yang sedang mereka lakukan. Mereka hanya merasa itu lucu dan mereka akan lebih suka lagi jika temannya bengong atau malah ikutan tertawa.

Nah, berat sekali menjadi orang tua ternyata. Menjadi terbuka dan menjadi pembawa informasi yang terbaik akan memudahkan saya untuk mengawal perkembangan seksualitas anak-anak. Sangat disayangkan jika karena sikap dan respon saya yang keliru malah akan membuat mereka tidak mau bertanya kepada saya karena perasaan malu atau perasaan bersalah telah membicarakan sesuatu yang “sepertinya terlarang”. Padahal, saat pubertas nanti mereka akan menghadapi waktu-waktu yang lebih berat lagi. Bukan mereka saja, tapi saya juga.

Menghadapi persoalan yang rawan bagi perkembangan seksualitas ini, jika saya melihat ada anak-anak yang memperlihatkan perilaku tertentu yang saya anggap buruk, mungkin saya akan lihat umurnya dan jika memang saya yakin anak-anak itu sedang mengembangkan perilaku keliru maka saya akan mengajaknya bicara bahwa apa yang mereka lakukan itu tidak pantas tanpa membuat mereka menjadi takut. Anak-anak berhak mendapatkan suasana yang sehat dan adil bagi perkembangan seksual mereka. Dengan cara seperti ini, saya sudah mencoba “menyelamatkan” kehidupan di sekitar saya dan khususnya anak-anak saya. Rasa malu, rasa bersalah, dan rasa penasaran, adalah kombinasi yang tepat untuk belajar seksualitas dari sumber-sumber yang keliru. Bahkan, ngumpet-ngumpet

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Supporting KEB

Supporting KEB
Kumpulan Emak Blogger

Histats

Histats.com © 2005-2014 Privacy Policy - Terms Of Use - Check/do opt-out - Powered By Histats