![]() |
(c)WikiHow.com |
Seorang sarjana psikologi selalu dikira bisa membaca orang. Nyaris, semua pekerjaan seorang cenayang seolah sama dengan psikologi :D Mahasiswa psikologi tentu merasa aneh kalau orang-orang menyangka mereka bisa meramal atau “membaca orang” begitu mudahnya. Tapi, ada pula yang mungkin merasa bangga dengan sangkaan itu: hati-hati, saya bisa baca kamu.
Di Amazon ada buku yang mengaku mampu mengajari seseorang untuk “membaca orang” lain semudah membaca buku. Beneran, nih? Saya langsung lari ke bahasan isu-isu menarik di Psychology Today dan menemui bahwa para ahli pun mengakui kompleksitas akan kemampuan “membaca orang” ini. Bahasa tubuh sendiri bukankah sesuatu yang mudah diinterpretasikan. Padahal, “membaca orang” tentu melibatkan banyak hal seperti ekspresi muka dan emosi juga. Tentu saja, ada praktisi dan ilmuwan yang akan meragukan bahwa kemampuan “membaca orang” itu semudah membaca buku. Misalnya, Anda bisa membaca Reading Body Language: It’s not Easy, But You Can Improve.
Berarti, “membaca orang” itu tidak mungkin dilakukan? Mungkin. Namun perlu latihan. Pada kalangan expert, memerlukan banyak teori dan praktek. Pada kalangan awam pun bisa dilatih. Selain banyaknya teknik, pengalaman seseorang dapat membantu mempertajam insting, lho. Misalnya, seseorang yang lama berada dalam laboratorium atau dalam pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan sedikit komunikasi verbal namun lebih banyak menggunakan bahasa nonverbal. Mereka terlatih memiliki kemampuan untuk membaca bahasa tubuh, ekspresi, dan emosi.
Kemampuan “membaca orang” adalah pekerjaan yang tidak hanya mengandalkan logika, namun juga intuisi. Seseorang harus benar-benar bebas dari prasangka dan ikatan emosional untuk mampu menjadi obyektif/netral dalam menerima informasi. Apakah ada tekniknya?
Saya akan membagi bacaan, salah satunya adalah Three Techniques to Read People: the art of reading people to ignite your super-senses. Tentu saja, Anda bisa mengembangkan pengetahuan ini dengan lebih baik lagi dari sekedar tiga teknik yang ada.
Teknik Pertama: Mengamati Bahasa Tubuh
Kecenderungan orang lebih banyak berkomunikasi dengan menyertakan bahasa tubuh daripada dengan suara. Misalnya, mengangguk, mengangkat jempol, mengangkat kedua bahu, dll. Dalam membaca tubuh, seseroang tidak perlu terlalu intens atau penuh analisis. Tetap lakukan dengan santai sambil mengamati. Ingat, tanpa prasangka: obyektif.
Perhatikan penampilannya. Apakah mereka memakai baju branded, tas, sepatu mahal, dll. sebagai tanda kesuksesan, tanda ambisi, atau yang lain? Apakah mereka memakai pakaian kasual karena merasa nyaman dan santai atau mereka salah kostum? Pemilihan pakaian seksi dengan belahan dada atau paha bertujuan untuk menggoda? Apakah mereka memakai simbol-simbol seperti kerudung, salib, bunga di telinga sebagai nilai spiritual?
Perhatikan postur tubuh. Apakah mereka selalu menegakkan kepala sebagai bentuk percaya diri? Apakah mereka berjalan dengan ragu-ragu atau sungkan menandakan mereka memiliki kepercayaan diri yang rendah? Apakah mereka menunjukkan keangkuhan dengan selalu memajukan dadanya?
Perhatikan gerakan tubuh. Pada umumnya, orang akan bersandar ke arah orang-orang yang disukai dan cenderung menjauhi orang-orang yang tidak disukai. Demikian juga, orang yang menyilangkan tangan atau kaki itu bertujuan untuk menunjukkan sikap defensif, marah, merasa terancam, atau bagaimana. Jika misalnya orang itu merasa nyaman dengan seseorang biasanya mereka menyilangkan kaki dengan ujung jari-jari bergerak santai mengarah ke orang yang diajaknya bicara. Jika, seseorang bicara dengan menempatkan tangannya di pangkuan, saku, atau menyembunyikannya di belakang biasanya mereka bisa saja menyembunyikan sesuatu. Sedangkan orang yang bicara dengan menggigit bibir atau –mungkin- memijit ujung-ujung kuku bisa berarti ia merasa tidak nyaman dan berusaha menenangkan diri dalam situasi yang canggung.
Perhatikan ekspresi wajah. Emosi bisa tergambar dari garis-garis di wajah. Misalnya, kerutan yang dalam di kening menunjukkan seseorang sedang berpikir dalam. Tarikan bibir yang mengerucut bisa menunjukkan ketidaksukaan, kepahitan, sinisme, kemarahan. Rahang yang mengeras dan gigi yang bergemeletuk adalah tanda-tanda ketegangan.
Teknik Kedua: Mendengarkan Intuisi
Intuisi adalah apa yang dirasakan, bukan apa yang ada dalam pikiran, setelah melihat atau mengalami sesuatu. Memang, intuisi ini bisa bekerja dengan baik jika seseorang terbiasa melatih diri untuk mampu “merasa”.
Seseorang bisa membuat “checklist” saat “membaca” orang lain dengan intuisi sebelum berpikir ini-itu. Apakah kita merasa nyaman saat pertemuan pertama? Apakah kita merasa merinding saat-saat tertentu? Merasa de javu atau hal lain? Kadang dalam bicara, kita juga mungkin terbersit “ah-ha” atau “oh”. Ini juga adalah bagian dari intuisi.
Teknik Ketiga: Merasakan Energi Emosi
Emosi adalah ekspresi dari energi yang dimiliki seseorang. Ada orang yang jika kita berada di dekatnya, kita akan menjadi bersemangat dan berenergi. Sebaliknya, ada yang saat dekat dengannya justru kita sering merasa lelah. Energi kita seperti terkuras dan secara naluriah kita ingin menghindarinya.
Bagaimana strategi membaca energi emosi? Rasakan saat dia hadir, dunia terasa seperti tiba-tiba kelabu atau justru hangat dan menyenangkan. Lihatlah matanya dan temukan apakah ia sedang sedih, marah, cuek, menggoda, dll. Rasakan pula bagaimana cara mereka menjabat tangan, memeluk, atau menyentuh. Apakah kita merasakan kehangatan, ancaman, kenyamanan, kecanggungan, kepercayaan diri, dll. Lalu, jangan lupa untuk mendengarkan intonasi dan nada suara. Apakah suaranya menenangkan, sopan, manja, cengeng, marah, dll.?
Nah, jika kita sering melatih untuk peka terhadap hal-hal tersebut, maka artinya kita juga telah melatih diri untuk bisa cepat “membaca orang”. Tentu saja, latihan ini akan sangat berguna secara pribadi untuk mengontrol sikap dan perilaku kita kepada orang lain. Kita, dan siapapun juga, tentu menginginkan komunikasi dengan orang lain menjadi nyaman dan efektif. Dengan mengerti orang, maka kita akan mengetahui kapan kita memutuskan untuk tetap bergaul atau menghindar atau bahkan tetap terhubung namun dengan pemilihan sikap yang tepat karena mungkin saja ada beberapa hal yang saling menguntungkan di antara hubungan komunikasi tersebut.
Aku jadi inget Ahli psikologi di sidang nya jessica..
BalasHapusHihi
Nice sharing mba..
hai-ariani.com
tipsnya bermamfaat nih mbak..apalagi bagi saya yang kadang suka ga nyaman dengan lingkungan baru..
BalasHapus