“Jangan! Siapa nanti yang siapin baju?”
“Kalian kan sudah pada bisa ambil baju sendiri.”
“Tapi kadang pengen diambilin Bunda.”
“Siapa yang masakin? Siapa yang siapin Book Celebration di sekolah?”
“Minta tolong orang.”
“Siapa yang peluk? Terus siapa yang ada kalau kita pulang sekolah? Kalau kita mau cerita?”
“Kalau Bunda mau kerja, ya udah gentian aja sama ayah. Sehari kerja, sehari sama kita. Gitu, Bun …. Ya? Jangan, ya?”
Lalu setelah pada shock, mereka bergegas memeluk saya sambil nangis. Kadang saya merasa mereka drama banget. Balada ibu rumah tangga. Tapi, saya melihat keseriusan di mata mereka. Saya sudah kayak gadis yang ingin memastikan ucapan si dia itu serius ngga niat PHP Kemudian saya mengukur diri sendiri: ya, betapa dulu saya selalu merasa kosong saat mama saya berangkat kerja. Meski saya tahu, mama saya sayang sekali dengan saya. Selalu memberi apa yang saya minta.
Sering, saya merasa beruntung bahwa saya nurut sama suami untuk komitmen pada pembagian peran dalam rumah tangga. Ngga ada bayaran, kerja keras pasti. Saya cukup berada di rumah bersama anak-anak. No offense bagi wanita bekerja yang tidak sengaja membaca ekspresi ibu rumah tangga seperti saya. Bagi saya, wanita memiliki kehidupan pribadi masing-masing yang indah dengan ceritanya. Saya sudah menulis tentang Perempuan dan siapapun bisa membacanya.
Anak-anak sudah terbiasa sekali dengan keberadaan saya. Padahal saya ngga kayak ibu peri. Saya lebih mirip nenek sihir tentara yang mengatur ini itu dan tak segan berlalu keras kalau mereka tidak disiplin. Anehnya, mereka tidak pernah merasa saya seperti itu.
![]() |
(c) koleksi pribadi |
“Kalian sayang Bunda?”
“Sayang.” Kompak.
“Bunda jelek, suka marah?”
“Bunda cantik dan bunda marah kalau kita bandel saja.” Jawab yang gede.
“Iya.” Adek-adiknya ngikut.
“Bunda juga ngga banyak uang yang bisa beliin mainan dan jajan kalian lho?”
“Kan Ayah sudah punya uang?”
Ada banyak hal yang membuat begitu sering hari-hari saya merasa penuh syukur "terjebak" dalam balada ibu rumah tangga yang kadang justru suamilah yang meruntuhkan mood sehingga saya tidak bisa menikmati hari-hari bersama anak-anak. Mulai dari saya tak perlu merasa risau meninggalkan mereka saat sakit, saya tidak was-was karena harus meninggalkan mereka dengan orang lain, saya bisa mendidik mereka dengan nilai-nilai yang kami –saya dan suami- tetapkan, mengarahkan mereka setiap waktu setiap saat, hingga hal-hal kecil saat mereka merasa disayangi saat saya bisa terlibat dengan aktifitas di sekolah mereka. Ngga harus jadi anggota POMG juga padahal.
![]() |
(c) koleksi pribadi |
Di saat saya membaca artikel-artikel parenting dan mendapati sebuah artikel seperti: tips membuat anak tidak rewel saat harus berada di daycare, saya tidak merasa harus ikutan baper meski jujur saja secara hati kecil saya yang subyektif merasa sedikit nyeri. Dan, saya rasa mungkin perasaan nyeri ini bagi orang lain adalah drama itu sendiri. Saya punya banyak waktu untuk bersama anak-anak dan menelateni mereka.
Saat anak-anak masih kecil mungkin saya bahkan tidak bisa melakukan hobi saya karena waktu yang “terlalu sedikit” dan pekerjaan yang terlalu banyak. Namun kondisi itu tentu tidak terus-menerus. Bagi saya, kalau waktu masih habis buat gadget atau hal-hal yang sifatnya malas-malasan atau keluhan, jangan bilang saya tidak punya waktu untuk melakukan me-time atau mengerjakan hobi.
Kemerdekaan lainnya adalah saat saya bisa dengan bebas untuk istirahat kapan saja saya mau dan meminimalisir tekanan hati dan stress-stress dari luar diri dan keluarga yang bisa mengganggu kestabilan rumah tangga. Saya mungkin bukan tipe yang meyakinkan diri bahwa saya strong. Dalam hidup, saya memikirkan banyak hal: keluarga besar, suami, anak, dll., kalau harus ditambah dengan banyak hal lainnya saya tidak sanggup. Saya butuh untuk memilih fokus dan prioritas.
Kekurangannya? Saya mungkin tak selalu wangi dan rapi. Harus banyak menghemat meski harus melihat teman-teman yang lain bebas membeli outfit -head to toe- dan printilannya. Tidak punya banyak waktu dan duit untuk makan siang atau ngopi sering sama teman-teman sambil haha-hihi dan sejenak melupakan kerumitan dan kejenuhan pada apa yang dianggap tidak jelas. Tidak bisa banyak bicara soal “kekinian”. Dianggap remeh oleh orang dan bahkan dianggap warga kelas dua oleh sesama ibu rumah tangga sendiri yang merasa semua ibu rumah tangga itu sama seperti dirinya.
Yang pasti, menjadi wanita rumahan membuat saya lebih sederhana dalam berpikir –padahal saya tahu diri saya tidak begitu sederhana-, lebih jelas dalam memetakan masalah karena pengambilan fokus dan prioritas, dan lebih punya banyak waktu untuk melakukan hal-hal yang bersifat ideal. Saya seringkali tidak bisa kompromi dengan hal-hal yang pragmatis. Ini juga adalah subyektifitas belaka. Saya Pisces, saya pemimpi. Saya butuh ruang untuk mengekspresikan banyak hal tanpa gangguan siapapun yang cara pikirnya grusa-grusu. Kehidupan seperti ini menurut saya “cukup mahal” untuk ditukar dengan hal-hal yang bersifat materi. Aduh muai abstrak deh.
![]() |
(c) koleksi pribadi |
Dalam beberapa waktu terakhir ini, saya memiliki dua kesempatan untuk beraktifitas di luar alias bekerja. Full time ngantor. Belum dikerjakan saja saya sudah berpikir: anak-anak bagaimana? Kebayang repotnya mesti nyari baby sitter atau daycare. Tidak perlu berpikir lama saya tentu saja menolak. Itu bukan fokus saya. Kehidupan ekonomi yang baik bukan segala-galanya buat saya. Kredit ini-itu bukan prioritas. Saya sudah merasa cukup dengan gaji suami yang kadang tidak cukup untuk membeli gengsi. Anak-anak juga terbiasa hidup apa adanya. Lagipula, hidup dengan rutinitas pekerjaan tertentu sudah saya alami. Meskipun itu hanya part time. Saya merasa saat ini saya tak sanggup membagi waktu.
Apakah karena anak-anak, lantas saya menjadi ibu tipe helikopter seperti yang dituduhkan oleh seorang ahli yang menulis di Psychology Today di artikel yang saya tulis ini? Wohoo! Menjadi orang tua tipe helikopter atau tidak itu bukan semata-mata apakah ibunya seorang wanita bekerja atau tidak.
Saya sering melihat banyak ibu bekerja yang memanjangkan tangannya dengan banyak asisten. Baby Sitter dan saluran telepon.
“Tolong Kakak harus makan jam sekian, sekian. Gak boleh begini, begitu. Jagain. Jangan lupa vitaminnya, snacknya, Jangan sampai jatuh. Jauhkan dari si X yang bandel bla bla bla.”
Tak jarang, dia yang membaca buku parenting tapi susternya yang mendidik anak. Jangan-jangan ada juga yang saat susternya melakukan kesalahan lalu dia bilang: “Mbak, kamu gimana sih? Harusnya kan sama anak itu begini-begitu!” Lah yang lebih berpendidikan siapa?
Bekerja atau tidak bekerja, menjadi ibu dominan dan overprotective itu tergantung karakter. Anak saya, layaknya anak-anak lainnya, memiliki ikatan emosi yang kuat dengan ibunya. Namun, saya menghindari perilaku “dominan” dan “overprotective”.
Kalau ada ibu-ibu yang selalu berkata “YESS” untuk anak-anaknya dengan alasan “masih anak-anak”, “kasihan ntar nangis”, “daripada rewel”, itu juga bukan tipe saya. Mendidik anak itu susah-susah gampang dan memang butuh energi ekstra yang kadang membuat saya belum sempat memiliki waktu luang untuk diri sendiri. Konsistensi dan kreatifitas bukanlah persoalan sepele. Dan,nyata itu butuh waktu, pikiran, dan energi. Jaman serba instan, kadang membuat orang tergoda untuk males mengambil tantangan.
![]() |
(c) koleksi pribadi |
Kalau ada ibu-ibu yang selalu berkata “YESS” untuk anak-anaknya dengan alasan “masih anak-anak”, “kasihan ntar nangis”, “daripada rewel”, itu juga bukan tipe saya. Mendidik anak itu susah-susah gampang dan memang butuh energi ekstra yang kadang membuat saya belum sempat memiliki waktu luang untuk diri sendiri. Konsistensi dan kreatifitas bukanlah persoalan sepele. Dan,nyata itu butuh waktu, pikiran, dan energi. Jaman serba instan, kadang membuat orang tergoda untuk males mengambil tantangan.
- Menemani anak untuk menghadapi tantangan makan agar tidak menjadi picky eater
- Toilet training
- Melatih disiplin untuk tahu kapan “YESS” kapan “NO”
- Membersihkan diri, sampah, dll.
- Dan seabrek tugas-tugas perkembangan anak lainnya
Mama saya dan beberapa keluarga atau teman kadang menilai saya “ratu tega” sama anak-anak. Tapi tak jarang yang mengapresiasi. Misalnya saat anak saya jatuh, saya memastikan kondisinya. Jika bisa ditoleransi dan tidak berbahaya, saya tidak akan menolongnya. Saya akan menyuruhnya bangkit sendiri. Kehidupanmu kelak akan menemui hal-hal yang jauh lebih terjal dan menyakitkan, Jendral. Setelah dia bangkit, saya akan bertanya, “Are you okay?” Anak saya kalau ngga nyengir biasanya jawab, “Ya, ngga papa kok.” Maka jangan mudah bilang, “Wah anaknya kuat ya,” sebelum kita mengajarkan bagaimana caranya agar menjadi kuat. Kecuali kalau anak jatuh berdarah, saya rasanya seperti mau pingsan.
Perilaku anak itu tidak begitu saja jatuh dari langit. Saya terus terang kurang menyukai anak yang mudah bereaksi dengan tangisan, mengancam dengan tangisan, dll. Anak menangis itu biasa. Kadang saya harus bersabar dengan tangisan mereka, tapi saya tidak ingin memupuknya. Menangis itu bisa menjadi hal yang biasa atau menjadi hal yang sesungguhnya hanya berupa kebiasaan: “Ya udah deh asal tidak menangis.”
Saya sendiri bukan tipe ibu tegaan. Kalau saya menahan untuk tidak memeluk itu bukan tanpa perjuangan. Saya sendiri menahan hati saat harus menumbuhkan kebiasaan berdisiplin. Bukan dramatis, tapi mendidik anak dengan nilai jelas bukan perkara mudah “asal kamu hidup dan nanti juga kamu dewasa akan mengerti sendiri, ibu dulu juga begitu”. Menjadi ibu, bukan persoalan yang menurut saya mudah apalagi "nanti kamu juga bisa sendiri" jika berhubungan dengan nilai dan karakter.
Itulah sebabnya, saya merasa banyak beruntung bisa berada di rumah sepanjang hari bersama anak-anak. Apalagi jika dibandingkan dengan ibu-ibu lain yang bahkan harus keluar rumah karena untuk makan saja tidak cukup, untuk kehidupan standar saja tidak cukup: kalau niatnya betul, insyaAllah pahalanya berlipat ganda.
![]() |
(c) koleksi pribadi |
Namun keberuntungan ini jika tidak disertai doa dan pengharapan kepada Allah hanya akan menjadi sia-sia belaka. Kadang, kebeningan dan ketulusan hati seorang ibu hanya Allah yang bisa menimbangnya. Anak bisa jadi neraka, bisa jadi surga yang menyejukkan.
Mama saya wanita bekerja yang sangat overprotective, dibalik kekurangan dan kelebihannya, saya bisa dan bahkan sangat mencintainya. Meski mungkin ada beberapa poin yang tidak ingin saya warisi, namun saya mengaguminya. Dan, saya tahu anak-anak saya juga memiliki kesan pribadi mereka terhadap saya. Saya tidak ingin, jika kelak mereka bahkan menjadi marah atau tidak puas terhadap diri saya. Bahkan, mereka mulai melupakan saya. Rasanya itu tergantung bagaimana kejujuran hati seorang ibu dan tentu saja, kemurahan Allah semata.
Mama saya wanita bekerja yang sangat overprotective, dibalik kekurangan dan kelebihannya, saya bisa dan bahkan sangat mencintainya. Meski mungkin ada beberapa poin yang tidak ingin saya warisi, namun saya mengaguminya. Dan, saya tahu anak-anak saya juga memiliki kesan pribadi mereka terhadap saya. Saya tidak ingin, jika kelak mereka bahkan menjadi marah atau tidak puas terhadap diri saya. Bahkan, mereka mulai melupakan saya. Rasanya itu tergantung bagaimana kejujuran hati seorang ibu dan tentu saja, kemurahan Allah semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar