Selasa, 22 November 2016

Disiplin Bukan Membuat Anak Merasa Bersalah


Elizzat (4th) coret-coret sprei lagi? Haduuuhhh itu baru beli.

Kalau pikiran sedang longgar biasanya saya geleng-geleng kepala, tarik nafas, dan ngajak bocah kecil itu ngobrol tentang apa yang dilakukannya. Atau kalau pas lagi seneeeng banget hati ini kayak misalnya habis dibelikan baju suami, saya cuma tertawa lalu ngajak bocah kecil itu ngobrol tentang apa yang dilakukannya. Mengajarkan disiplin pada anak dengan dialog. Tapi kalau lagi ada gangguan kejiwaan #eaaa ..., saya bisa ngamuk. 
“Kenapa Eliz coret spreinya???” Volume sekian-sekian.

Anak saya rata-rata percaya diri kalau harus berargumentasi dengan bundanya. “Eliz cuma gambar.”

“Gambar tempatnya bukan di situ! Pikir dong. Eliz tahu kan di mana tempat menggambar?” Lalu saya rampas spidol di tangannya. Dia harus tahu kalau saya benar-benar marah dan tidak suka dia coret-coret sprei. Eliz menunduk lalu keluar kamar saya, masuk kamar kakaknya, banting pintu. Dan saya merasa puas karena tahu dia pasti merasa bersalah.

Puas? Ilusi. Saya menyesal sudah membuatnya merasa buruk atau merasa bersalah. Apakah harusnya saya biarkan saja? Toh, dia masih kecil. Saya kan tidak boleh marah sama anak?

disiplin bukan membuat anak merasa bersalah
Peraturan saya, ini bukan perilaku disiplin. Anak-anak harus tahu bahwa ada barang yang bebas dibuat mainan
dan ada yang tidak. Mereka sudah memunyai area bermain.

Tidak. Itu bukan fokus saya. Saya tidak menyukai perilaku permisif. Eliz harus disiplin. Tapi apa sih disiplin itu?

Disiplin, dalam usia berapapun, adalah proses mengoreksi dan membimbing anak ke arah perilaku yang tepat dan sesuai. Mengajarkan disiplin pada anak bukan untuk menciptakan pikiran bahwa anak saya bersalah dan bandel. Disiplin bukan proses yang membebaskan saya untuk memberi hukuman. Disiplin bukan proses yang mampu membuat anak merasa malu dan bersalah pada dirinya.

Yang terpenting pula, disiplin membutuhkan konsistensi dalam diri saya. Tidak bisa saya melakukannya suka-suka tergantung mood. Inkonsistensi hanya akan membuat anak bingung mengenai perilaku yang saya “inginkan”. Kadang marah, kadang tertawa, kadang lembut pada satu hal yang seharusnya membutuhkan kedisiplinan adalah perilaku yang keliru. Dengan begitu, saya justru mengajarkan ketidakdisiplinan itu sendiri.

Baiklah. Sekali waktu saya memang lepas kontrol. Saya marah pada hal yang membuat anak saya harusnya tidak melakukan sesuatu yang konyol. Saya bersikap secara adil. Untuk kemarahan saya, saya meminta maaf pada anak saya. Tapi soal, perilaku yang tidak disiplin, saya tetap harus berbicara padanya.

Nah, masalahnya yang paling berat adalah jika otak saya lagi blank kemudian di tempat umum, anak saya misalnya tidak sengaja mendorong temannya hingga jatuh dan luka. Saya harus mampu mengontrol rasa kesal. Apalagi jika sebelumnya saya sudah memberinya peringatan, “Tolong jangan mainan lari-larian yang berbahaya.”

Sekali lagi, disiplin pada anak bukan tentang rasa marah, pukulan atau hukuman fisik lainnya, bahkan hukuman nonfisik seperti teguran yang membuat anak merasa malu. Saat saya berteriak, “Kan tadi sudah dibilangin jangan main lari-larian?”, mungkin saya akan merasa mampu menghilangkan rasa malu saya dan rasa bersalah saya terhadap orang tua teman anak yang terdorong tadi. Tapi, apa untungnya saya melayani rasa malu saya dan mengabaikan rasa malu anak saya? Saya sudah tahu nilai salah dan benar. Anak saya belum. Toh, mereka bermain bersama-sama dan itu kecelakaan yang tidak disengaja. Maka, sebisa mungkin saya memilih tidak berteriak dan marah.

Tentu susah berada dalam posisi malu dan serba salah dan saya harus bertahan untuk tidak mempermalukan anak saya. Berusaha bersikap seperti ibu peri dan mencoba berbicara baik-baik dengan orang tua teman anak yang terdorong tadi. Tapi saya memilih melakukannya. Saya meminta maaf kepada orang tua teman anak saya dan meminta anak saya untuk meminta maaf kepada temannya. Saya tahu anak saya tidak sengaja, tapi ucapan maaf adalah ekspresi dari rasa penyesalan terhadap sesuatu yang bisa dicegah untuk tidak terjadi. Setelah itu, barulah saya akan bicara dengan anak saya secara pribadi, bukan di tempat umum.

Saya perlu sekali menjaga pertumbuhan mental anak saya karena anak-anak cenderung tidak bisa membedakan apakah “saya marah pada perilakunya saat itu” atau “saya marah pada dirinya”. Anak akan cenderung berpikir bahwa saya tidak menyukai dirinya. 


disiplin bukan membuat anak merasa bersalah
Anak-anak memiliki area khusus di mana mereka bebas berkreasi dan bebas berantakan.
Ada banyak foto yang lebih berantakan lagi tapi belum sempat nyari xixixixi

Dengan dialog, saya juga akan mampu menemukan alasan kenapa dia melakukan itu. Please, Nak, kamu bukan anak-anak yang ingin meminta perhatian dari bunda kan? Bisa dibayangkan tidak seandainya seorang anak susah dibilangin, susah didisiplinkan, karena ternyata mereka melakukannya di luar sadar mereka yang menginginkan perhatian dari orang tuanya? Tapi, bukannya perhatian yang didapat melainkan rasa marah atau hukuman dari orang tua yang membuatnya semakin merasa bersalah dan tidak berguna?

Disiplin yang dilakukan dengan menghadirkan perasaan bersalah, malu, atau tidak berguna dikhawatirkan akan menekan seorang anak untuk bersikap seperti yang orangtua inginkan. Seorang anak yang menjalankan disiplin dengan perilaku tertekan cenderung menyimpan banyak kecemasan atau sebetulnya rasa marah (tidak terima) yang belum bisa ia ungkapkan. Jatuhnya, anak tersebut akan melakukan pemberontakan saat ia merasa bisa melakukan banyak hal.

Padahal, tujuan disiplin adalah membuat anak tahu perilaku mana saja yang memerlukan pengendalian dari dalam diri sendiri bahwa perilaku tersebut tidak tepat. Membuat seorang anak memahami batasan-batasan dengan cara berdialog akan membantu mereka mampu mengelola reflek mereka dalam menumbuhkan perilaku yang bisa diterima. Dengan disiplin, anak menjadi lebih kooperatif dan tidak semaunya sendiri. Itu sebenarnya yang saya harapkan.

Bisa instan? Nggak dong. Banyak ujian? Pasti. Pas suatu saat dulu pernah, di sebuah perkumpulan tidak resmi, saat saya sedang keluar ruangan sebentar banget untuk mengambil sesuatu lalu kembali ke ruangan itu, saya mendapati seorang istri pejabat sedang memarahi anak saya yang berumur 3 tahun lebih yang naik ke meja dan lalu segera saya ambil dan saya meminta maaf. Saya segera memangku anak saya sambil mendengar omelan ibu itu kepada ibu-ibu semua, “Didiklah anak-anak dengan benar. Well-manner. Naik meja dan ada banyak orang tua itu tidak sopan. Walaupun anak kecil, tetap harus diajarkan disiplin. Ngga boleh dibiarkan.”

Dalam hati saya nelangsa dan pengen balik mengomel, “Siapa yang tidak mendidik anak? Kucing peliharaan Anda, Bu?” Tapi ... siapa saya? Pas cerita sama suami dengan baper banget, suami nasehatin, “Ya sudah, mengapa perilaku orang lain yang kita anggap negatif harus memengaruhi pendapat kita terhadap diri sendiri?”

Yah, begitu .... Dalam mendidik anak, fokus kita kadang terpecah: mungkin karena mood kita atau mungkin karena orang lain. Anggap aja itu ujian. Semakin baper, semakin kita merasa tidak layak sebagai orang tua dalam mendidik anak, semakin serba salah pikiran kita. Tapi sebagai ibu, tentu saya ingin menjadi pribadi yang pantang menyerah. Kadang salah, kadang benar. Berjuang terus yuuuk!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Supporting KEB

Supporting KEB
Kumpulan Emak Blogger

Histats

Histats.com © 2005-2014 Privacy Policy - Terms Of Use - Check/do opt-out - Powered By Histats