![]() |
Surat Hasna (c) koleksi pribadi |
Lagi-lagi saya mendapat surat cinta dari Hasna, sulung saya yang berusia 8th. Isinya standar. Tapi saya yakin dia menulis itu dengan penuh perasaan dan keterbatasan kosa kata: maaf, Hasna sayang Bunda, terima kasih, dan semisalnya.
Bagaimana perasaan saya? Nyesss. Terharu. Kadang perasaan letih, tegang, dan perasaan sejuta bunda lainnya hadir tiba-tiba. Padahal, saya bergantian mendapat surat cinta dari Hasna atau Haedar. Kadang mereka tulis atas inisiatif sendiri, kadang dari tugas di kelas. Saya tak pernah kehilangan rasa haru itu.
Lalu apa yang saya lakukan? Standar: terharu –dan mungkin mata tiba-tiba rembes-, memeluk, kasih cium, bilang “terima kasih”, dan selanjutnya ... cekrek! Dokumentasi :D Mungkin sempat upload ke medsos? Ekspresi kebahagiaan. Saya bahagia. Tapi, bagaimana dengan kebahagiaan anak saya?
Saat teringat surat-surat yang dikirimkan sulung saya itu, saya sering merasa bersalah tiba-tiba. Teringat, saya sering membiarkan ia menangis sendirian. Padahal dalam tangisan itu dia mungkin juga sedang berpikir banyak hal tentang hubungan saya dengannya.
Saya menyadari saya sering putar otak dan mencari pengetahuan tentang bagaimana menumbuhkan anak yang juga menumbuhkan karakter dalam hidupnya sendiri. Ada peran dalam diri anak saya itu sendiri dan peran saya dengan banyaknya perlakuan yang saya berikan padanya. Anak saya bertumbuh emosi, pikiran, dan fisiknya secara bertahap di mana setiap tahap selalu membutuhkan kehadiran saya sebagai ibunya.
Faktanya, sebagai ibu saya juga adalah manusia yang juga menumbuhkan usia dan juga saya memiliki anak lebih dari satu. Secara emosi, pikiran, dan fisik, saya kadang merasa begitu terkuras. Dan saat ini terjadi, saya bukanlah ibu yang ideal untuk anak saya. Saya kadang menjadi tidak sabar dan emosional.
Saya ingat kadang Hasna lebih sering menangis untuk menarik perhatian saya. Terutama saat dia merasa saya terlalu memperhatikan adik-adiknya dan tidak memiliki waktu untuknya. Sedangkan praktis saya berpikir bahwa ia harusnya mengerti bahwa saya juga bisa lelah dan adik-adiknya memang membutuhkan perhatian yang lebih. Semakin kecil adiknya, semakin secara tidak langsung waktu saya terkuras untuknya. Bagi saya, jika dia sampai menangis, itu terasa tidak masuk akal. Apalagi saya sudah sering menjelaskan ini-itu bahwa saya melakukan semua itu bukan berarti saya tidak adil atau saya lebih menyayangi yang ini atau yang itu. Saya ingin Hasna memahami saya.
Kenyataannya? Itu tidak berjalan dengan baik. Hasna akhir-akhir ini makin sering menangis. Saya mulai berpikir dia sangat egois dan kadang saya menjadi berbuat lebih dari tak seharusnya saat saya merasa ingin marah. Saya menjadi sangat teriritasi dengan tangisan Hasna yang seolah begitu meneror: saya merasa menjadi ibu yang buruk.
Tapi saya sadar, Hasna butuh menangis. Saya tahu dia butuh mengeluarkan perasaan tertekan dan emosi-emosi lainnya yang tidak dapat diserap dengan baik. Jadi, seringkali saya menyerah. Karena, saya sendiri kadang merasa lelah dengan emosi yang dilontarkan anak-anak dan juga pantulan emosi saya sendiri. (Honestly, ini pentingnya mengapa seorang suami sebaiknya mampu berperan sebagai spon emosi. Yakni, saat ia mampu menyerap emosi yang dikeluarkan istrinya. Jika tidak, emosi istri akan memantul-mantul dengan keras dan mungkin kembali lagi pada dirinya sendiri. Seorang istri menjadi keras jiwanya.)
Saya sering membiarkan Hasna menangis agar ia merasa puas. Dan saya meninggalkannya .... Dan justru ini pointnya: saya meninggalkannya. Itu sebenarnya tidak baik untuknya. Saya sering mengingat di masa kecil saya sering menangis sendirian. Apa boleh buat, ibu saya struggling sendirian dan ia harus bekerja meninggalkan saya. Nah, sekarang saya selalu ada di rumah. Apa jadinya kalau saya mengulangi apa yang terjadi pada saya dahulu?
Hasna menangis karena ia belum bisa mengekspresikan perasaannya. Dan dia membutuhkan saya untuk memberikan rasa aman dan rasa percaya bahwa dia tidak sendirian. Anak saya tidak sepatutnya merasakan trauma akan perasaan takut karena merasa sendiri. Itu kebutuhan dasar manusia. Bagaimana bisa saya melewatkannya? Dengan alasan bahwa saya juga memiliki masalah sendiri? Halo, ibu, apakah Anda belum selesai dengan diri sendiri sehingga waktu untuk anak menjadi sebuah beban? :D
Lalu, kapan saya tidak boleh membiarkan anak saya menangis sendirian? Ada sebuah referensi yang bisa digunakan untuk bersama-sama belajar bertumbuh dengan baik bersama anak-anak. Selama kita tidak ada untuk mereka, mereka akan bertumbuh semakin terluka.
Tanda anak membutuhkan kita untuk tidak membiarkannya sendiri:
- Dia sering melanggar peraturan dan dia seolah menantang untuk ribut dengan kita
- Setiap kali anak menjadi begitu menuntut, kaku, dan tidak pernah merasa puas
- Saat anak selalu membuat kita atau orang lain berada di situasi yang tidak menyenangkan
Saat anak terus menangis dan sejujurnya butuh ditemani namun kita malah menganggapnya sebagai anak yang cengeng dan memarahinya karena dia telah bersikap egois, maka jangan pernah bermimpi bahwa kita sedang mengajarkannya untuk mengelola emosi. Bahkan hukuman ringan seperti “time out” tidak akan berguna saat ia sebetulnya membutuhkan kehadiran kita. Kenalilah tanda, dan pahami bahwa anak hanya menginginkan rasa aman dan perasaan yang dekat dengan kita. Anak merasa terhubung dengan kita yang sangat dicintainya. Jika itu terjadi, ia akan siap diajak bicara soal pengelolaan emosi.
Bagaimana caranya?
Menjadi ibu yang baik namun tegas
Jika kita memiliki peraturan tertentu dan ingin anak mematuhinya, maka katakanlah dengan tegas tanpa memaksakan. Hindari meng-cut dengan fisik (memukul, mencubit) ataupun teriakan yang menandakan bahwa kita adalah penguasa.
Perasaan terhubung dan empati
“Bunda tahu kamu tidak suka adekmu mencoret bukumu .... Bunda tahu kamu sedang marah dan sedih. Bukumu jadi jelek sekali.” Perasaan telah dipahami akan meredakan energi kemarahan dan membuat anak merasa tenang sehingga ia tidak menumpuk perasaan di balik kemarahan, kesedihan, perasaan kecewa, tidak berdaya, dan ketakutan. Kita akan terlihat sangat buruk jika kita bersikap, “Kamu ngga perlu nangis. Dikit-dikit nangis. Kamu bisa ganti bukunya, kan?”
Selamat datang air mata
Alih-alih kita menjadi teiritasi karena anak menangis terus, kita harus ingat bahwa kita sedang membantu anak untuk merasa aman dan dicintai. Jika dia menceritakan sesuatu dan menurut kita sepele dan tak perlu menangis tapi dia terus menangis maka sudut pandang bukanlah lagi milik kita. Anak mungkin benar-benar merasakan emosi yang menakutkan baginya. Kita cukup menyaksikan dia menangis dan menemaninya, “Kadang orang merasa marah atau sedih. Kadang kita menangis. Tapi Bunda cinta sama kamu. Ada bunda di sini.”
Ngga papa “drama”
Kadang kita mungkin merasa tingkah anak sudah berlebihan. Over reaktif. Tapi pakailah sudut pandang dia. Mungkin itulah caranya untuk mengeluarkan tekanan dalam dadanya.
Jika anak terjebak dalam kemarahan, ciptakan rasa aman yang lebih
Di balik rasa marah, selalu ada rasa takut dan sakit hati. Jika anak berteriak, lihat apakah dia merasa lebih aman dan rileks karenanya. Lembutkan diri kita dalam menghadapinya dan yakinkan bahwa kita ada untuk menawarkan kasih sayang. Raihlah dia jika rasa marahnya mulai mereda.
Jika anak tidak bisa menangis
Kadang anak tidak mau merasakan emosinya. Mereka benar-benar terluka dan mereka mencoba untuk bertahan. Ambillah nafas dan tawarkan kasih sayang karena sebetulnya anak itu dekat dengan air mata dan ketakutan. Kita bisa mengatakan, “Maaf kalau ini terasa sulit. Ada bunda di sini. Kamu akan baik-baik saja.”
Jika anak melarikan diri, tetaplah bersamanya
Kita tahu mereka sedang terluka. Jika ia menyuruh kita untuk pergi, tetaplah tinggal. Jangan sampai anak berpikir, “Aku tahu Bunda akan meninggalkanku.” Kalau dia terlihat sungguh-sungguh menyuruh pergi maka kita bisa mengatakan, “Bunda dengar kok. Bunda mundur dua langkah nih ... tapi Bunda ngga akan ninggalin kamu sendirian dengan perasaan sedih dan marah.” Anak sering menginginkan kita untuk tinggal meskipun mereka berteriak bahwa mereka membenci kita.
Dekatkan diri pada anak
Setelah emosi anak mereda, mereka akan siap berhubungan kembali dengan kita. Jangan paksa mereka untuk menceritakan bagaimana perasaan atau emosi mereka. Mereka sendiri mungkin tidak mengerti mengapa mereka begitu marah atau sedih. Perasaan dikorek membuat anak merasa kurang aman dan mencurigai ketulusan kita. Kita hanya perlu meraih, memeluk, mengatakan bahwa anak sudah melewati hal yang sulit, meyakinkan bahwa kadang-kadang orang perlu mengeluarkan emosi, dan jangan lupa katakan bahwa kita mencintai anak apapun adanya mereka.
Pada prinsipnya, memiliki peraturan di rumah itu sah-sah saja. Namun seringkali memang kadang ada peraturan kita yang keliru, atau keadaan emosional kita sendiri yang bermasalah atau hal-hal lainnya yang memicu anak untuk marah dan membuat kita menjadi frustrasi dan kelelahan. Lalu, yang paling parah adalah meninggalkannya dan merasa bahwa kita sudah berbuat banyak dan anak tidak memahami apa yang kita mau. Jadi pastikan, saat kita membuat peraturan, kita harus menyesuaikan dengan usia, kita juga harus mengontrol emosi kita sendiri, dan kita juga menawarkan bantuan pada anak untuk memahami peraturan.
Sungguh, di saat saya kadang menjadi seorang ibu yang alpha, tapi seringkali anak saya malah merasa bersedih saat melihat saya menangis karenanya hingga menulis surat cinta yang kadang membuat saya meleleh, sungguuuhhh ... saya patut bersyukur akan kebeningan jiwanya. Jangan rusak ia semakin jauh dengan kelelahan saya. Saya tak ingin terus membuatnya merasa bersalah dengan dirinya padahal seringkali saya sendiri lepas kontrol.
Mungkin memang saya tidak selalu berada dalam kondisi ideal. Seperti anak-anak saya yang kadang merasa bersalah dan menulis surat cinta untuk meminta maaf, saya juga berpikir bahwa mungkin akan terasa indah bila saya juga sesekali menulis surat untuk mereka sebagai bentuk apresiasi dan rasa sayang saya. Berbahasa secara non-verbal kadang membuat sebuah rasa meresap begitu sempurna dalam hati daripada berbicara secara verbal.
Referensi:
Laura Markham, Ph.D.: When Your Child Is Hellbent on Misbehaving. @PasychologyToday.com. posted Oct 30, 2013
Referensi:
Laura Markham, Ph.D.: When Your Child Is Hellbent on Misbehaving. @PasychologyToday.com. posted Oct 30, 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar