Jumat, 04 November 2016

Ternyata Saya Salah Soal Konfrontasi


@billynale.org


Selama ini saya mengira, teman hang out, ngopi, arisan, ngegosip, nyalon, atau sekedar duduk-duduk nungguin anak sekolah menghindari konfrontasi karena kami ini adalah orang timur yang erat dengan budaya adem tentrem. Maka saat saya membaca sebuah bahasan di Psychology Today tentang get over the fear of confrontation, saya langsung menyadari bahwa terkadang soal seseorang menghindari konfrontasi ini buka semata berkaitan dengan kebudayaan tertentu. Apalagi sekarang kita hidup di jaman gobalisasi, bukan?

Dalam artikel tersebut dikatakan bahwa pengalaman dia menjadi seorang therapist –di negeri barat- menemukan pengetahuan bahwa ketakutan akan sebuah konfrontasi merupakan hal yang dialami banyak orang. Mereka menghindari konfrontasi dengan berbagai alasan padahal sebuah permasalahan –entah dengan teman, bos, pasangan, maupun masalah interpersonal lainnya- memilki kesempatan untuk diselesaikan jika orang-orang mampu mengatasi masalah itu secara langsung dan terbuka.

Saya jadi ingat, kadang saya merasa ewuh pakewuh jika harus melakukan konfrontasi. Seringkali keengganan itu karena ingin dianggap bahwa saya adalah “si pembawa damai”, “bukan tukang rusuh”, “bukan pengacau”, dan sederet label yang "pokoknya anak manis". Maka saat orang lain mungkin membuat humor kasar, atau nyampah sembarangan, merokok sembarangan, berpendapat semaunya, mudah menyalahkan, dll. saya memilih untuk diam. Mungkin juga: tertekan dan tetap bertahan.

Padahal, konfrontasi tidak harus dilakukan dengan kasar dan menekan. Kalau memang tidak suka, katakan saja. Yang jelas tujuan saya tidak mengajak perang, bukan? Selama hal yang saya lakukan itu tetap pada jalur, kenapa tidak?

Ada beberapa cara dalam artikel tersebut –yang saya kombinasikan dengan pikiran saya- yang bisa dilakukan untuk mengungkapkan pendapat secara langsung seperti misalnya:

  • Mencari sebab mengapa saya susah mengungkapkan pendapat secara langsung. Apakah saya pencemas? Apakah saya mudah gugup? Apakah saya cukup berpengetahuan? Apakah saya takut dijauhi? Apa saja yang menjadi penyebabnya, buat daftarnya dulu.

  • Dari daftar tersebut, pilihlah hal-hal yang bisa dirubah dan diatasi. Misalnya, saya khawatir berkonfrontasi karena tidak cukup pengetahuan. Carilah pemecahannya. Misalnya, saya sedang tidak nyaman dengan Z gara-gara masalah X. Saya lalu mencari informasi yang membuat saya memiliki argument yang kuat agar saya dapat mengakhiri rasa tidak nyaman ini. Teruslah pilih daftar yang bisa dirubah dan diatasi: praktekkan. Untuk yang kira-kira belum bisa diatasi, endapkan dulu. Belajarlah pada hal yang bisa dikonfrontasikan. Jika saya sukses melakukannya biasanya saya sudah mulai memiliki keberanian untuk mencoba daftar yang lebih sulit.

  • Rubah pola pikir bahwa konfrontasi adalah melulu berantem. Berhenti berpikir bahwa konfrontasi adalah hal yang mampu merusak hubungan interpersonal karena semua itu tinggal bagaimana cara saya membawa diri dan menyampaikan ketidaksetujuan secara langsung. Jika pun harus ada yang dikorbankan, maka itu bagian dari keberanian untuk mengambil resiko.

  • Fokuslah pada kata “saya” daripada “kamu” saat mengemukakan ketidaksetujuan secara langsung. Fokus kepada “saya” artinya saya mengungkapkan apa yang sedang saya rasakan dan pikirkan. Tapi, fokus kepada “kamu” seringkali jatuhnya seperti menyalahkan.

  • + Saya merasa kita selalu berantem untuk hal-hal yang tidak penting  
    - Kamu selalu memancing untuk berantem soal hal-hal yang ngga penting 
     
  • Menjadi tegas tidak harus menjadi agresif dalam berkata-kata. Dalam kalimat yang tenang, saya bisa menunjukkan ketegasan saya tanpa menyakiti.

Saya sendiri dasarnya bukan orang yang memiliki kecemasan untuk berkonfrontasi. Saya adalah orang yang cenderung ekspresif. Namun saya bukan seorang yang ahli dalam berkonfrontasi dengan elegan. Kadang saya bisa lepas kontrol dan menjadi kasar. Namun saya terus melatih diri karena berhubungan dengan orang lain adalah soal seni dan estetika. Teori saja tidak cukup. Saya butuh untuk terus berlatih dan mendapatkan pengalaman terbaik bagaimana saya harus bersikap pada orang lain dan bagaimana saya harus bersikap tenang saat mengharuskan berkonfrontasi. Banyak latihan akan membuat saya tahu kapan saya perlu bicara, bagaimana saya berbicara, dan yang paling penting kalaupun saya harus berkonfrontasi maka saya harus melakukannya dengan efektif.

Efektif? Ya. Pengalaman saya menunjukkan, saya tidak perlu melakukan konfrontasi betapapun saya merasa ingin menyuarakan sesuatu kepada:

  • Orang-orang yang tidak memiliki satu persepsi karena tentu cara pandangnya jelas akan berbeda yang bisa menyebabkan kesulitan untuk menemukan titik temu.

  • Orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan akan sebuah permasalahan.

Nah, demikianlah pengalaman saya. Bagaimana pun bersikap rasional dan efektif adalah salah satu hal untuk menuju hidup yang berkualitas dan mendamaikan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Supporting KEB

Supporting KEB
Kumpulan Emak Blogger

Histats

Histats.com © 2005-2014 Privacy Policy - Terms Of Use - Check/do opt-out - Powered By Histats